Ruangan tengah dipenuhi ketegangan. Kami semua terdiam, menunggu penjelasan dari Detektif Rifqi yang sejak tadi membangun suasana seakan dia sudah menemukan jawabannya. Jantungku berdebar keras.
"Sebelum aku mengungkap pelakunya, aku ingin bertanya satu hal." Detektif Rifqi menatap Pak Yahya dengan serius. "Apa Anda benar-benar sudah membuang semua bom seperti yang saya perintahkan waktu itu, Pak Yahya?"
Pak Yahya terdiam sejenak. Dia terlihat gelisah, peluh keringat mulai mengucur di dahinya. "Aku sudah membuang semuanya seperti yang kau suruh. Aku yakin ada orang lain yang menyimpannya untuk mencelakai keluargaku lagi," jawabnya.
"Sayangnya, berdasarkan hasil penyelidikan, target utama dari ledakan bom hari ini bukanlah keluarga Anda, melainkan Maya." Detektif Rifqi melihat ke arahku dengan tatapan tajam.
Aku tersentak. "Apa? Kenapa aku?"
"Karena kau adalah saksi kunci dalam menemukan Fahmi," jawabnya.
Aku menelan ludah. Semua orang di ruangan itu menatapku. Aku merasakan pandangan mereka seolah bertanya-tanya kenapa aku begitu penting dalam kasus ini.
"Bagaimana bisa?" Aku berusaha memahami logikanya.
“Hanya kau yang mengetahui secara detail tentang kejadian saat Fahmi diculik, jadi pelaku berencana menyingkirkanmu sebelum identitasnya terkuak, benar begitu, Reynaldi? Atau ku sebut saja si penculik Fahmi" ucap detektif Rifqi santai, tapi matanya tajam menelisik Rey.
Suasana menjadi hening. Semua mata kini beralih ke Rey. Namun, alih-alih panik, Rey malah terkekeh kecil sambil mengangkat bahu.
"Wah, wah, aku jadi pusat perhatian, nih," ujarnya dengan nada bercanda. "Serius, kamu menuduh aku? Aku ini korban, tahu! Hampir mati kena bom di ruang bawah tanah!"
"Kau korban atau kau gagal dalam rencanamu sendiri?" Detektif Rifqi mendekatkan diri ke arahnya. "Kau terlalu santai, Rey. Aku tahu orang bersalah selalu punya dua reaksi: panik atau berusaha mengalihkan perhatian. Kau memilih yang kedua."
Rey tertawa kecil, tapi aku bisa melihat keringat mulai muncul di pelipisnya. "Oh ayolah, detektif. Kalau aku memang penculik, kenapa aku harus menjebak diriku sendiri di ruang bawah tanah? Itu tidak masuk akal."
"Memang benar, kecuali jika itu bukan bagian dari rencanamu," balas Rifqi cepat. "Kau memang berniat membunuh Maya dengan bom itu, tapi seseorang membuatmu ikut terperangkap di sana."
Rey tersenyum kecil, tapi aku melihatnya mulai menggigit bibirnya—sebuah tanda bahwa dia tidak nyaman.
"Alah, kau pasti bercanda" katanya, masih mencoba mempertahankan sikap santainya.
"Baiklah, mari kita bicara fakta," detektif Rifqi berkata sambil melangkah ke depan. "Kau bergabung menjadi ‘aktor’ atas dasar balas budi kepada Pak Yahya, karena dia sudah membebaskanmu dari suatu tuduhan, benar? Tapi setelah aku menggali lebih dalam, aku menemukan sebuah catatan kriminal atas nama—Tiar. Seseorang yang terlibat dalam penipuan dan penggelapan dana beberapa tahun lalu. Dan kau tahu apa yang menarik? Nama itu mengarah padamu.”
Rey mendengus kecil.
“Di dalam catatan kriminal tersebut, ada tahun kejadian yang menunjukan tahun sebelum kau bergabung dengan perusahaan pak Yahya". Lanjut detektif Rifqi.
"Oh, jadi kau menuduh aku hanya berdasarkan nama palsu? Apa buktinya kalau nama itu mengarah padaku?"
"Buktinya adalah aksi kriminal yang berhasil disamarkan. Ada salah satu pihak di negeri ini yang punya kuasa untuk melakukannya. Dia adalah si bos tambang. Musuh Pak Yahya."
Ruangan menjadi semakin hening. Mata semua orang tertuju pada Rey. Aku bisa melihat otaknya bekerja keras untuk mencari celah dalam argumen detektif Rifqi.
“Karena namamu telah dibersihkan. Kau diperintahkan untuk mendekati pak Yahya dengan bergabung ke dalam perusahaanya. Cara kamu bergabung pun tidak wajar, tidak seperti karyawan normal pada umumnya".
“Tidak wajar?“ seru Rey heran.
“Betul, dari sekian banyak orang yang melamar, Tiba-tiba saja mereka mengundurkan diri dan tersisa dirimu seorang”.
"Jadi, menurutmu aku ‘mata-mata’ si bos tambang? Itu teori yang seru, tapi masih kurang bukti," katanya dengan nada santai.
"Baiklah, mari kita lanjut," Rifqi tersenyum kecil. “Berapa tahun setelah kau bekerja bersama pak Yahya, kau terjerat dalam kasus kriminal lagi. Namun kali ini bos Tambang tidak mau membantumu. Akibatnya kau marah dan mendendam. Lalu kau meminta pertolongan pak Yahya yang akhirnya dikabulkannya dengan syarat”.
Detektif Rifqi melirik ke arah pak Yahya yang sedang serius memperhatikan.
"Pak Yahya, tolong jelaskan kepada kami semua syarat yang Anda berikan kepada Rey."
Pak Yahya yang sejak tadi diam akhirnya menghela napas berat. Wajahnya terlihat menegang. "Selain syarat menjadi 'aktor', aku memang menyuruh Rey untuk memata-matai Bos tambang. Mr. James.”
Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk aku.
Rifqi melanjutkan. "Akibat dari syarat itu kau akhirnya menjadi agen ganda. Namun, kau memanfaatkan kebencian mereka berdua untuk membalaskan dendammu. Yaitu membuat skenario baru—menculik Fahmi untuk menambah kecurigaan Pak Yahya, lalu menggunakan bom untuk menghabisi Maya agar tidak ada yang bisa menyelamatkan Fahmi. Dengan begitu, mereka bisa saling terus membenci dan berujung pada skenario terburuk—pembunuhan. Tapi ada sesuatu yang tidak kau perhitungkan: Seseorang mengetahui rencanamu".
Rey akhirnya kehilangan sikap santainya. Wajahnya memerah. "Aku gak tahu apa yang kau bicarain."
"Oh, tentu kau tahu," Detektif Rifqi melangkah semakin dekat. "Kau memancing Maya untuk masuk ke ruang bawah tanah dengan bersandiwara agar tidak ada kecurigaan. Lalu kau berencana mengurung Maya disana. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Seseorang menjebak dan mengurungmu sebelum kau keluar. Itu artinya orang itu ingin menyingkirkanmu juga karena dia tahu tujuanmu sebenarnya."
Tangan Rey mengepal. Matanya melirik ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar. Aku bisa melihat tubuhnya mulai gemetar.
“Karena tidak ada pilihan, akhirnya kau menyelamatkan Maya karena itu juga bisa menyelamatkanmu”.
“Waduh, kalau emang gitu. Lalu siapa yang mengurungku?”. Kini Rey bertanya dengan nada serius. Wajah santainya sudah tak nampak lagi.
“Kolaboratormu sendiri”.
Aku terperanjat, penjelasan detektif Rifqi mengejutkan.
“Kau pasti bercanda, apa buktinya aku punya kolaborator?”.
"Seperti yang pak Yahya bilang barusan kalau dia sudah menyingkirkan semua bom, tapi tiba-tiba ada satu bom di ruang bawah tanah. Bukankah itu berarti kalau ada orang lain yang membantumu mendapatkan bomnya?". Ucapan detektif Rifqi menusuk.
Rey menegang, wajahnya kini cemas.
“Kalian bekerja sama untuk bersandiwara namun berujung pengkhianatan. Mungkin hal Itu dia lakukan agar identitasnya tidak terungkap”.
Mulut Rey sempurna tertutup, kemudian dia celingukan ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu dengan panik.
"Jadi kolaborator Rey yang melakukan pengeboman? Siapa dia?". Pak Yahya bertanya dengan tergesa. "Sayangnya hanya Rey yang tahu". Ucap detektif Rifqi.
Rey melangkah mundur dengan wajah ketakutan. "Semua perkataanmu itu gak masuk akal detektif". Ucapnya.
"Dengan mengungkap identitasmu, aku bisa tahu dimana Fahmi dan siapa yang melakukan pengeboman". Detektif Rifqi melangkah maju sembari mengintimidasi.
"Jangan mendekat!" teriaknya.
"Akui saja Rey, kau sudah terpojok".
Rey terus melangkah ke belakang hingga menyentuh tembok. Sadar akan posisinya yang semakin tersudut, dia melakukan tindakan di luar dugaan.
"Kalian pikir bisa menuduhku begitu saja?!" teriaknya, matanya liar menatap kami satu per satu.
Dari balik bajunya, Rey seketika mengeluarkan pistol. Kami semua panik ketakutan.
"Rey, tenang," ucap Pak Imam mencoba meredakan situasi.
DOR!!
Suara tembakan menggema di dalam ruangan. Semua orang panik dan berteriak. Aku melihat Pak Imam mundur dengan bahu yang tertembak.
Pak Imam terengah-engah. Tubuhnya limbung dan terjatuh ke lantai.
Rey memegang pistol dengan tangan gemetar. "Jangan coba-coba menangkapku," bisiknya. Tapi sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, para pengawal pak Yahya langsung berdatangan mendengar suara tembakan. Mereka mencoba menyerang dan melumpuhkan Rey.
Aku terdiam. Nafasku tercekat. Semua ini terlalu cepat.
Detektif Rifqi mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, itu benda yang sama seperti Rey. Sebuah Pistol. “Sudah kuduga akan begini”. Bisiknya.
Lalu suara tembakan kedua terdengar di udara.
DOR!
Saling menembak tidak terelakan. Mereka saling menembak dengan puluhan peluru.
Aku tiarap, begitupun dengan semua orang yang tidak memiliki senjata.
Suasana di ruang tengah menjadi mencekam. Pak Yahya dan istrinya diselamatkan oleh beberapa pengawal yang semakin banyak berdatangan. Aku tak kuasa meminta pertolongan agar diselamatkan juga. Seorang pengawal menghampiriku dan melindungiku untuk dapat keluar dari ruangan. Namun tak berapa lama, dia menjadi sasaran tembakan Rey.
Aku berteriak ngeri.
Ku lihat detektif Rifqi begitu gigih melancarkan serangan ke arah Rey, berharap salah satu pelurunya dapat melumpuhkan Rey.
Tak berselang lama peluru pistol Rey habis. Disaat itulah Rey berbalik arah melarikan diri. Namun naas, salah satu peluru detektif Rifqi berhasil menembak betis kakinya. Dia terjatuh dan tersungkur kesakitan.
Detektif Rifqi datang menghampiri dan segera memborgol tangan Rey. "Kau pikir kau bisa lolos heh? Dimana Fahmi dan siapa kolaboratormu?"
Rey hanya menyeringai. "Cih, Cari tahu saja sendiri."
Aku menggenggam tanganku erat. Masih ada misteri besar yang belum terungkap.