Read More >>"> Ketika Bom Menyulut Cinta (Bab 14: Ledakan, Ruang Pengap dan Rahasia yang Terungkap) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Bom Menyulut Cinta
MENU
About Us  

"Celaka, bagaimana ini, Rey?" "Tenang, May."

Peluh keringatku terus mengucur deras, bukan hanya karena rasa takut akan terperangkap, tapi juga karena hawa panas yang semakin menyengat di ruangan pengap bawah tanah ini. Aku dan Rey meraba-raba dinding kasar yang dingin, berharap menemukan pintu atau apa pun yang bisa menjadi jalan keluar. Tapi nihil, tak ada pintu. Hanya ada sebuah lubang kecil di sudut ruangan yang tak kami tahu fungsinya.

Karena lelah kami terduduk di tengah ruangan. Cahaya redup dari senter ponsel Rey menjadi satu-satunya penerangan. Kami hanya bisa menunggu, berharap seseorang akan menyadari bahwa kami menghilang dan segera mencari kami.

Rey sudah mencoba menelpon dan mengirim pesan meminta tolong berkali-kali, tapi tidak ada sinyal. Di samping Rey, kotak mencurigakan itu tergeletak. Aku rasa, itu adalah bom. Sama seperti yang ditemukan Fahmi tempo hari. Kecurigaanku semakin menjadi jikalau masih ada yang ingin mencelakakan keluarga ini.

"Rey, yang kau temukan itu sepertinya bom lho" ucapku akhirnya, memecah keheningan.

Rey menoleh, matanya terlihat sedikit gugup meski bibirnya tetap tersenyum tipis. "Eh, iya kah? Kayaknya sih gitu. Ada indikator waktu sama kabel-kabelnya," balasnya santai, nyaris tanpa beban.

"Simpan saja di sana! Kenapa kamu bawa ke sini? Kalau meledak bagaimana!" bentakku.

"Bagus, kan? Jadi kita tahu kalau ini bom sungguhan. Hahaha."

"Ya ampun, Rey!" Aku mendesah, setengah kesal.

Rey memang selalu begitu—terlalu santai menghadapi hal-hal serius. Mungkin itu juga yang membuat kami cepat akrab. Tapi kali ini, tingkahnya sungguh membuatku ingin berteriak jengkel.

"Aku menyesal ikut denganmu, Rey," gumamku ketus.

"Eits, jangan begitu," balas Rey dengan senyuman jahil. "Aku kan sudah janji mau kasih tahu tuduhanku."

"Apa gunanya itu sekarang?" Aku memelototinya, kesal. Rey tetap santai seperti biasa, tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah atas situasi ini.

"Janji tetap janji," katanya, lalu duduk lebih dekat denganku. Dia mendorong bom menjauh dengan kakinya sebelum mulai bercerita.

"Dulu aku hanya seorang karyawan biasa. Engineer software manager di bank milik Pak Yahya. 2 tahun aku bekerja di sana tanpa masalah. Tapi suatu hari, saat aku ditugaskan memperbaiki salah satu software perbankan, aku dituduh memanipulasi dana nasabah."

Aku terdiam, mendengarkan dengan seksama. Wajah Rey yang biasanya ceria kini berubah serius.

"Secara teknis, aku memang bisa melakukannya," lanjutnya, "tapi aku tidak pernah punya niat. Kalau aku mau, aku bisa saja melakukannya sejak dulu. Tapi aku tidak melakukannya."

"Lalu?" tanyaku, penasaran.

"Aku mencoba segala cara untuk membuktikan kalau aku tidak bersalah. Tapi nasabah itu tetap menuntutku ke pengadilan dan mengancamku akan menjebloskan ke penjara."

"Berapa banyak uangnya?" tanyaku.

"Kurang lebih satu miliar."

"Ya ampun, banyak sekali Rey!" Aku menatapnya dengan mata membelalak.

Rey mengangguk pelan. "Pak Yahya menyelamatkanku, tapi dengan syarat. Aku harus menjadi 'aktor'—seperti dirimu."

Ceritanya membuatku semakin prihatin. Aku merasa kisahnya tak jauh berbeda dengan apa yang menimpaku. Sebelum aku sempat menanggapi, suara aneh mendadak menginterupsi kami. Sebuah bunyi alarm yang tidak biasa.

"Rey, suara apa itu?" tanyaku panik.

Rey celingukan ke kanan dan kiri, mencari sumber suara. Lalu, dengan wajah pucat, dia menunjuk ke arah bom di samping dirinya.

"Astaga, May! Bom nya aktif!"

"Tuh kan! Aku sudah bilang jangan bawa ke sini!". Lagi-lagi jengkel.

Kami berdua panik. Bom itu benar-benar menyala, dan detektor nya menunjukkan waktu yang tersisa: 60 detik. Hanya satu menit! Aku dan Rey segera bangkit, mencari jalan keluar sambil berteriak satu sama lain.

"Rey, cepat pikirkan sesuatu!" desakku, aku hampir histeris.

"Astaga, ini bikin deg-degan saja," gumam Rey sambil menggigit bibirnya. Dia meraih bom dan mengangkatnya. "Mana lubang yang tadi kamu bilang, May?"

"Untuk apa?"

"Kita masukkan bom ini ke sana! Ledakannya mungkin bisa diredam!"

Tanpa berpikir panjang, kami berlari menuju lubang kecil itu. Tapi lubang itu dangkal, tidak cukup untuk menampung bom.

"Ayo kita gali, May! cepat!" perintah Rey dengan nada mendesak.

Dengan tangan kosong, kami menggali sekuat tenaga. Detektor waktu terus berdetak, menunjukkan sisa waktu: 35 detik.

"Rey, kita tidak akan sempat!" aku hampir menangis ketakutan.

"Kalau begitu, kita mati! Cepat, May!" seru Rey dengan nada memaksa.

Tangan kami terus menggali meski kulit mulai terasa perih dan berdarah. Hingga akhirnya Rey merasa lubang itu cukup dalam. Dia memasukkan bom ke dalamnya dan menutupnya sebisa mungkin dengan tanah.

Sisa waktu: 10 detik.

"Tiarap, May!" Rey menarikku ke lantai, kami menutup telinga, berharap ledakan itu tidak cukup kuat untuk menghancurkan ruangan ini dan membunuh kami.

Dalam hati, aku terus berdoa. Rey, di sisi lain, mulai menyebut nama Tuhan dan orang-orang yang aku tidak kenal, dengan nada panik komat-kamit. Jika situasinya berbeda, mungkin aku akan tertawa. Tapi kali ini, aku hanya bisa gemetar ketakutan.

5... 4... 3... 2... 1...

BOOM!

Ledakan memekakkan telinga, membuatku hampir tuli. Puing-puing dan debu menghantam kami dari segala arah. Aku melindungi kepala dengan kedua tangan, menahan rasa sakit yang menghujam punggungku.

Ketika semuanya mereda, aku mencoba melihat ke arah belakang. Sebuah lubang besar menganga di tempat bom tadi tertanam. Cahaya terang dari luar menerobos masuk, memberikan secercah harapan.

"Rey?" Aku menoleh ke arahnya.

Rey terbaring diam. Aku mengguncang tubuhnya. "Rey, bangun!"

Rey pingsan.

Dengan susah payah, aku menyeret tubuhnya ke arah cahaya. Kudapati orang-orang di atas menatap kami dengan terkejut. Detektif Rifqi mengulurkan tangannya, menarikku keluar. Pak Yahya berdiri di belakangnya, wajahnya penuh keheranan.

Rey dibawa ke kamarnya, sedangkan aku dirawat di ruangan lain. Pak Yahya memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kami. Sementara itu, Detektif Rifqi tampak sibuk dengan penyelidikan. Aku masih terguncang, merasa nyawaku baru saja tertahan di ujung tanduk.

Tak lama, Detektif Rifqi dan kuasa hukumku, Pak Imam, datang ke kamarku. "Maya, bagaimana keadaanmu?" tanya detektif Rifqi.

"Tidak baik," jawabku lemah.

"Kenapa kau ada di ruang bawah tanah bersama Rey?" tanya Pak Imam, langsung ke inti tanpa basa-basi.

Aku menjelaskan semuanya dengan terbata-bata. Setelah mendengar penjelasanku, detektif Rifqi permisi keluar sembari menarik Pak Imam. Wajahnya terlihat tegang.

Beberapa jam kemudian, Rahmat mengetuk pintu kamarku. "Maya, kita harus berkumpul di ruang tengah."

Aku mengikuti Rahmat menuju ruang tengah, disana semua orang yang aku kenal sudah berkumpul, termasuk Rey yang tadi pingsang kini ada disana terlihat pucat. Detektif Rifqi memulai pembicaraan dengan nada serius.

"Maaf mengganggu istirahat kalian. Maya, Rey dan semuanya. Aku ingin sampaikan kalau bom yang meledak tadi memberi aku petunjuk penting. Aku sudah tahu siapa pelaku yang menculik Fahmi."

Jantungku berdebar kencang. Detektif Rifqi melanjutkan, "Ternyata sandiwara aktor ini berhasil memancing pelaku sebenarnya. Sekarang dia ada di antara kita"

Aku tercekat. yang benar saja, siapa dia? Akankah ini mengungkap keberadaan kejahatan yang selama ini terjadi? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku, menunggu jawaban dari detektif.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Chapter Dua – Puluh
2844      1302     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Apakah Kehidupan SMAku Akan Hancur Hanya Karena RomCom?
3544      1031     1     
Romance
Kisaragi Yuuichi seorang murid SMA Kagamihara yang merupakan seseorang yang anti dengan hal-hal yang berbau masa muda karena ia selalu dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya akibat luka bakar yang dideritanya itu. Suatu hari di kelasnya kedatangan murid baru, saat Yuuichi melihat wajah murid pindahan itu, Yuuichi merasakan sakit di kepalanya dan tak lama kemudian dia pingsan. Ada apa dengan m...
My Selenophile
622      418     2     
Short Story
*Selenophile (n) : A person who love the moon Bagi Lasmi, menikmati keheningan bersama Mahesa adalah sebuah harapan agar bisa terus seperti itu selamanya. Namun bagi Mahesa, kehadiran Lasmi hanyalah beban untuk ia tak ingin pergi. \"Aku lebih dari kata merindukanmu.\"
Words Unsaid
587      330     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
Meet You After Wound
239      202     0     
Romance
"Hesa, lihatlah aku juga."
Sebuah Musim Panas di Istanbul
358      253     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
12 Kenangan Shilla
492      337     4     
Short Story
Cerita tentang Shilla di hari terakhir di masa sekolahnya. Mau tau tentang 12 kenangan Shilla pada masa sekolah? Simak cerita ini!
Untuk Reina
23835      3458     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Bus dan Bekal
2339      1103     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
Old day
526      385     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.