"Celaka, bagaimana ini, Rey?" "Tenang, May."
Peluh keringatku terus mengucur deras, bukan hanya karena rasa takut akan terperangkap, tapi juga karena hawa panas yang semakin menyengat di ruangan pengap bawah tanah ini. Aku dan Rey meraba-raba dinding kasar yang dingin, berharap menemukan pintu atau apa pun yang bisa menjadi jalan keluar. Tapi nihil, tak ada pintu. Hanya ada sebuah lubang kecil di sudut ruangan yang tak kami tahu fungsinya.
Karena lelah kami terduduk di tengah ruangan. Cahaya redup dari senter ponsel Rey menjadi satu-satunya penerangan. Kami hanya bisa menunggu, berharap seseorang akan menyadari bahwa kami menghilang dan segera mencari kami.
Rey sudah mencoba menelpon dan mengirim pesan meminta tolong berkali-kali, tapi tidak ada sinyal. Di samping Rey, kotak mencurigakan itu tergeletak. Aku rasa, itu adalah bom. Sama seperti yang ditemukan Fahmi tempo hari. Kecurigaanku semakin menjadi jikalau masih ada yang ingin mencelakakan keluarga ini.
"Rey, yang kau temukan itu sepertinya bom lho" ucapku akhirnya, memecah keheningan.
Rey menoleh, matanya terlihat sedikit gugup meski bibirnya tetap tersenyum tipis. "Eh, iya kah? Kayaknya sih gitu. Ada indikator waktu sama kabel-kabelnya," balasnya santai, nyaris tanpa beban.
"Simpan saja di sana! Kenapa kamu bawa ke sini? Kalau meledak bagaimana!" bentakku.
"Bagus, kan? Jadi kita tahu kalau ini bom sungguhan. Hahaha."
"Ya ampun, Rey!" Aku mendesah, setengah kesal.
Rey memang selalu begitu—terlalu santai menghadapi hal-hal serius. Mungkin itu juga yang membuat kami cepat akrab. Tapi kali ini, tingkahnya sungguh membuatku ingin berteriak jengkel.
"Aku menyesal ikut denganmu, Rey," gumamku ketus.
"Eits, jangan begitu," balas Rey dengan senyuman jahil. "Aku kan sudah janji mau kasih tahu tuduhanku."
"Apa gunanya itu sekarang?" Aku memelototinya, kesal. Rey tetap santai seperti biasa, tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah atas situasi ini.
"Janji tetap janji," katanya, lalu duduk lebih dekat denganku. Dia mendorong bom menjauh dengan kakinya sebelum mulai bercerita.
"Dulu aku hanya seorang karyawan biasa. Engineer software manager di bank milik Pak Yahya. 2 tahun aku bekerja di sana tanpa masalah. Tapi suatu hari, saat aku ditugaskan memperbaiki salah satu software perbankan, aku dituduh memanipulasi dana nasabah."
Aku terdiam, mendengarkan dengan seksama. Wajah Rey yang biasanya ceria kini berubah serius.
"Secara teknis, aku memang bisa melakukannya," lanjutnya, "tapi aku tidak pernah punya niat. Kalau aku mau, aku bisa saja melakukannya sejak dulu. Tapi aku tidak melakukannya."
"Lalu?" tanyaku, penasaran.
"Aku mencoba segala cara untuk membuktikan kalau aku tidak bersalah. Tapi nasabah itu tetap menuntutku ke pengadilan dan mengancamku akan menjebloskan ke penjara."
"Berapa banyak uangnya?" tanyaku.
"Kurang lebih satu miliar."
"Ya ampun, banyak sekali Rey!" Aku menatapnya dengan mata membelalak.
Rey mengangguk pelan. "Pak Yahya menyelamatkanku, tapi dengan syarat. Aku harus menjadi 'aktor'—seperti dirimu."
Ceritanya membuatku semakin prihatin. Aku merasa kisahnya tak jauh berbeda dengan apa yang menimpaku. Sebelum aku sempat menanggapi, suara aneh mendadak menginterupsi kami. Sebuah bunyi alarm yang tidak biasa.
"Rey, suara apa itu?" tanyaku panik.
Rey celingukan ke kanan dan kiri, mencari sumber suara. Lalu, dengan wajah pucat, dia menunjuk ke arah bom di samping dirinya.
"Astaga, May! Bom nya aktif!"
"Tuh kan! Aku sudah bilang jangan bawa ke sini!". Lagi-lagi jengkel.
Kami berdua panik. Bom itu benar-benar menyala, dan detektor nya menunjukkan waktu yang tersisa: 60 detik. Hanya satu menit! Aku dan Rey segera bangkit, mencari jalan keluar sambil berteriak satu sama lain.
"Rey, cepat pikirkan sesuatu!" desakku, aku hampir histeris.
"Astaga, ini bikin deg-degan saja," gumam Rey sambil menggigit bibirnya. Dia meraih bom dan mengangkatnya. "Mana lubang yang tadi kamu bilang, May?"
"Untuk apa?"
"Kita masukkan bom ini ke sana! Ledakannya mungkin bisa diredam!"
Tanpa berpikir panjang, kami berlari menuju lubang kecil itu. Tapi lubang itu dangkal, tidak cukup untuk menampung bom.
"Ayo kita gali, May! cepat!" perintah Rey dengan nada mendesak.
Dengan tangan kosong, kami menggali sekuat tenaga. Detektor waktu terus berdetak, menunjukkan sisa waktu: 35 detik.
"Rey, kita tidak akan sempat!" aku hampir menangis ketakutan.
"Kalau begitu, kita mati! Cepat, May!" seru Rey dengan nada memaksa.
Tangan kami terus menggali meski kulit mulai terasa perih dan berdarah. Hingga akhirnya Rey merasa lubang itu cukup dalam. Dia memasukkan bom ke dalamnya dan menutupnya sebisa mungkin dengan tanah.
Sisa waktu: 10 detik.
"Tiarap, May!" Rey menarikku ke lantai, kami menutup telinga, berharap ledakan itu tidak cukup kuat untuk menghancurkan ruangan ini dan membunuh kami.
Dalam hati, aku terus berdoa. Rey, di sisi lain, mulai menyebut nama Tuhan dan orang-orang yang aku tidak kenal, dengan nada panik komat-kamit. Jika situasinya berbeda, mungkin aku akan tertawa. Tapi kali ini, aku hanya bisa gemetar ketakutan.
5... 4... 3... 2... 1...
BOOM!
Ledakan memekakkan telinga, membuatku hampir tuli. Puing-puing dan debu menghantam kami dari segala arah. Aku melindungi kepala dengan kedua tangan, menahan rasa sakit yang menghujam punggungku.
Ketika semuanya mereda, aku mencoba melihat ke arah belakang. Sebuah lubang besar menganga di tempat bom tadi tertanam. Cahaya terang dari luar menerobos masuk, memberikan secercah harapan.
"Rey?" Aku menoleh ke arahnya.
Rey terbaring diam. Aku mengguncang tubuhnya. "Rey, bangun!"
Rey pingsan.
Dengan susah payah, aku menyeret tubuhnya ke arah cahaya. Kudapati orang-orang di atas menatap kami dengan terkejut. Detektif Rifqi mengulurkan tangannya, menarikku keluar. Pak Yahya berdiri di belakangnya, wajahnya penuh keheranan.
Rey dibawa ke kamarnya, sedangkan aku dirawat di ruangan lain. Pak Yahya memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kami. Sementara itu, Detektif Rifqi tampak sibuk dengan penyelidikan. Aku masih terguncang, merasa nyawaku baru saja tertahan di ujung tanduk.
Tak lama, Detektif Rifqi dan kuasa hukumku, Pak Imam, datang ke kamarku. "Maya, bagaimana keadaanmu?" tanya detektif Rifqi.
"Tidak baik," jawabku lemah.
"Kenapa kau ada di ruang bawah tanah bersama Rey?" tanya Pak Imam, langsung ke inti tanpa basa-basi.
Aku menjelaskan semuanya dengan terbata-bata. Setelah mendengar penjelasanku, detektif Rifqi permisi keluar sembari menarik Pak Imam. Wajahnya terlihat tegang.
Beberapa jam kemudian, Rahmat mengetuk pintu kamarku. "Maya, kita harus berkumpul di ruang tengah."
Aku mengikuti Rahmat menuju ruang tengah, disana semua orang yang aku kenal sudah berkumpul, termasuk Rey yang tadi pingsang kini ada disana terlihat pucat. Detektif Rifqi memulai pembicaraan dengan nada serius.
"Maaf mengganggu istirahat kalian. Maya, Rey dan semuanya. Aku ingin sampaikan kalau bom yang meledak tadi memberi aku petunjuk penting. Aku sudah tahu siapa pelaku yang menculik Fahmi."
Jantungku berdebar kencang. Detektif Rifqi melanjutkan, "Ternyata sandiwara aktor ini berhasil memancing pelaku sebenarnya. Sekarang dia ada di antara kita"
Aku tercekat. yang benar saja, siapa dia? Akankah ini mengungkap keberadaan kejahatan yang selama ini terjadi? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku, menunggu jawaban dari detektif.