Read More >>"> Ketika Bom Menyulut Cinta (Bab 11: Mayat di Air Hitam Sebangau) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ketika Bom Menyulut Cinta
MENU
About Us  

Pak Fajar melajukan motornya cukup cepat, sehingga aku harus berpegangan erat pada pinggangnya. “Pegangan, Maya,” ujarnya. “Ya,” jawabku singkat. Pakaianku yang semula basah karena hujan kini mulai berangsur kering oleh terpaan angin malam yang lembab dan menusuk.

Hujan sudah reda malam ini, tetapi jalan utama dipenuhi warga yang ingin menyaksikan reruntuhan gedung yang dihancurkan bom pagi tadi. Di antara kerumunan, polisi tampak berjaga-jaga dan berkeliaran ke sana kemari. Aku berusaha merunduk, mendekatkan wajahku ke punggung Pak Fajar untuk bersembunyi.

“Jangan takut, kita pasti bisa menyelamatkan temanmu itu,” ucap Pak Fajar sambil fokus berkendara. Sepertinya ia salah mengira tindakanku yang menghimpitnya. Dia pasti berpikir aku cemas akan Fahmi. Padahal, ketakutanku lebih kepada kemungkinan polisi mengenaliku dan menangkapku, yang berarti aku tak bisa menyelamatkan Fahmi.

Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit karena jaraknya yang lumayan jauh, ditambah jalanan padat oleh warga. Setibanya di dermaga Rambang, suasana sangat sepi dan hening kontras dengan hari-hari biasanya yang ramai oleh pedagang dan pengunjung di sekitar dermaga. “Ini pasti akibat bom itu. Tempat ini jadi sangat sepi,” ungkap Pak Fajar. Aku hanya mengangguk setuju.

“Maya, coba kau perhatikan dengan teliti. Adakah perahu yang kau kenali?” tanya Pak Fajar sambil menunjuk sekumpulan perahu yang terparkir berantakan. Aku memicingkan mata, menelusuri satu per satu perahu yang ada, bahkan mendekati beberapa untuk memastikan.

Akan tetapi. 

“Ayolah, bagaimana ini?” gumamku, mulai panik. Sudah berkali-kali aku memeriksa, tetapi tidak ada satu pun perahu yang mirip dengan perahu yang membawa Fahmi tadi sore. “Ini gawat", peluh mulai mengalir di pelipisku. Aku kelelahan.

“Bagaimana, Maya? Ketemu?”

“Tidak ada. Aku tidak menemukannya!” teriakku kepada Pak Fajar, yang menunggu di undakan tangga atas sementara aku berada di dekat dermaga.

“Kalau begitu, bukan di sini tempatnya. Tapi ada satu tempat lagi.”

“Maksud Bapak, masih ada satu dermaga?” tanyaku setelah berjalan mendekatinya.

“Iya, dermaga Kereng Bangkirai. Kau tahu, kan?”

“Betul juga! Itu di lokasi wisata air hitam Sebangau kan? Aku tahu! Kalau begitu, ayo segera ke sana,” ujarku, bersemangat.

Namun, Pak Fajar tetap mematung meskipun aku sudah mendesaknya. “Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Sebaiknya kita tidak ke sana. Kau tahu, kalau sudah malam begini, sungai disekitaran lokasi Sebangau cukup berbahaya. Banyak kriminal di sana. Lebih baik kita ke sana besok saja.”

“TIDAK!” sergahku spontan. Nada bicaraku kasar, membuat Pak Fajar terkejut. “Maaf,” aku segera mengoreksi nada suaraku, merasa malu karena tak bisa mengontrol diri.

“Kalau kita tidak bergegas, Fahmi…” nafasku tertahan, “…Fahmi bisa saja tidak selamat. Dipukuli, disiksa, atau mungkin…” Kalimatku terhenti. Aku mulai terisak, air mata mengalir tanpa sadar. Emosiku tak tertahan lagi. Aku merasa hampa karena pencarian kami menemui jalan buntu.

Pak Fajar menghampiriku dan meraih pundakku, tatapannya penuh iba. “Maafkan aku,” ucapnya lirih. Aku menengadah, memandangnya dengan mata sembab.

“Fahmi, itu namanya, bukan? Apa dia begitu berarti untukmu?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil menyeka air mata. “Iya. Dia menyelamatkanku dengan mengorbankan dirinya. Kumohon, Pak, bantu aku.”

Pak Fajar terdiam sejenak, terlihat berpikir. Setelah hening beberapa saat, ia berkata, “Baiklah, kita ke sana. Tapi jika keadaan buruk, kita akan tunda pencarian Fahmi sampai besok.”

Aku mengangguk dengan wajah yang kembali cerah. Kami segera menaiki motor dan menuju Kereng Bangkirai. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Suasana semakin mencekam. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit lagi. Di kota sepi seperti Palangka, 30 menit berarti jarak yang jauh.

Kami melewati rumah-rumah warga yang tampak kosong, lampunya mati. Sesekali kami melewati kebun atau hutan yang gelap dan rimbun. Kekhawatiranku soal hewan liar muncul, tetapi aku mencoba mengabaikannya.

Sesampainya di dermaga, kami berdua terkejut. Apa yang kami duga ternyata salah. Tempat ini justru dipenuhi kerumunan polisi. “Astaga,” aku tercekat. Polisi adalah musuhku kali ini. Namun, Pak Fajar malah mendekatkan motornya ke salah satu polisi. Aku hanya bisa menyembunyikan wajah agar tidak dikenali.

“Ada apa ini, Pak? Kok ramai-ramai?” tanya Pak Fajar tanpa ragu.

Polisi itu menoleh sesaat ke arah kami, tetapi pandangannya tertuju agak lama padaku. Lalu ia menjawab, “Ditemukan mayat lelaki mengapung di sungai.”

Deg. Jantungku serasa copot mendengarnya. Fahmi? Apakah itu Fahmi? Otakku lebih dulu menjawab tanpa informasi tambahan dari polisi.

“Kami boleh melihatnya, Pak?” tanya Pak Fajar santai.

“Tentu saja tidak! Pulanglah! Ini area terlarang sekarang,” jawab polisi itu tegas.

Aku kembali tak punya harapan.

“Tapi kami sedang mencari seseorang—lelaki—yang hilang. Kami khawatir kalau itu dia,” sergah Pak Fajar, mencoba meyakinkan. Aku tersenyum tipis di balik punggungnya, merasa sedikit lega atas usahanya.

“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya polisi curiga.

“Dia suami anak saya ini,” jawab Pak Fajar sambil menunjuk ke arahku.

Apa, suami? Aku tersentak mendengar kebohongannya. Walaupun begitu, aku menyukai cerita karangannya. Pak Fajar menyuruhku menyapa polisi dihadapan kami dan tak perlu malu. Dengan ragu, aku memperlihatkan wajahku seperti yang diminta Pak Fajar.

Polisi itu menatapku lama, lalu tiba-tiba dia berkata, “Hei, kau wanita pembunuh yang kemarin sempat aku tangkap! Kenapa kau bisa ada di sini?”

Astaga dia mengenaliku, ternyata dia polisi yang waktu itu meringkusku di bangunan terbengkalai bersama Fahmi. Ya ampun kenapa dunia ini begitu sempit. Dari banyaknya polisi kenapa orang ini yang aku temui.

Aku Panik. aku turun dari motor dan bergegas melarikan diri tanpa peduli apapun.

“Hei, tunggu!” teriak polisi itu. Tapi siapa yang mau berhenti kalau akhirnya hanya akan ditangkap? Aku berlari menghindari kerumunan polisi, mencari tempat untuk melihat mayat yang ditemukan. 

Lariku gontai, kelelahan karena belum istirahat. Terkadang aku berjalan disaat kaki ini merasa sakit, namun aku tidak boleh tertangkap.

Polisi menghadangku di kanan dan kiri, namun dengan sigap aku berhasil mengelabui dan melewati mereka.

Aku mencari tempat yang pas untuk melihat mayat itu. Walau teriakan polisi saling sahut menyahut menyuruhku berhenti, namun aku tidak berhenti, aku memanjat rumah-rumahan yang di bangun di atas kayu-kayu menyerupai menara pengawas. "Cocok". aku bergumam dan bergegas menaiki menara di dermaga.

Dari atas, aku bisa melihat seorang mayat sedang dievakuasi. Tubuhnya membeku, wajahnya tak terlihat, gelap. Aku mencondongkan tubuhku kedepan dan memicingkan mata agar penglihatanku lebih jelas. 

“Tidak, aku tidak bisa melihatnya, siapa mayat laki-laki itu? Tidak mungkin itu Fahmi”. Jantungku berdegup kencang, amat khawatir dan ketakutan dengan semua pikiran burukku. Aku harus segera memastikannya. 

Aku segera berbalik untuk turun dari menara, tetapi polisi  mengepungku.

“Berhenti! Jangan bergerak!” seru mereka.

Aku membeku, pasrah. Aku mengangkat tangan tanda menyerah. Takut-takut mereka akan meringkus ku dengan kasar. Namun alih-alih mendekat ke arahku, salah satu polisi menghubungi seseorang melalui handy talky, mungkin atasan mereka. Aku hanya berharap kalau mayat itu bukan Fahmi. Itu saja yang aku pikirkan.

“Tetap ditempat!” hardik polisi.

“Kumohon, katakan padaku, siapa mayat yang kalian temukan?” tanyaku putus asa.

Polisi itu tidak merespon, dia hanya terdiam seperti menunggu sesuatu. sampai seseorang muncul menaiki menara. Astaga, aku mengenalnya. “Detektif Rifqi?”.

“Halo, Maya. sungguh kebetulan aku bisa menemukanmu disini. Kami memang sedang mencarimu” ucapnya tajam, penuh intimidasi.

Aku melongo. Detektif Rifqi tidak terlihat bersahabat. Ada sesuatu yang aneh di matanya. 

“Kau harus mengatakan semua yang kamu ketahui. Dimana Fahmi? “

“Hah? Aku tidak tahu, justru aku kesini untuk mencarinya”.

Aku bingung, kenapa dia bertanya padaku, apa ini artinya mayat itu bukan Fahmi? situasi ini, sungguh membuatku frustasi. 

Detektif Rifqi berdehem panjang, lalu meraih handphonenya dan menelpon seseorang.

“Halo pak, kami sudah menemukan Maya, tapi dia tidak mengetahui lokasi Fahmi. Jadi bagaimana?”.

“Oh, okay baik”.

Aku hanya memperhatikan ketika detektif Rifqi asik menelpon, hingga akhirnya dia menutup telepon dan berkata kepadaku.

“Maya, kau harus ikut dengan kami. Tolong tangkap dia!”.

Perintah detektif Rifqi kepada para polisi yang ada di belakangnya. Kemudian mereka dengan sigap maju dan meringkusku kasar.

“Tidak, kumohon. aku bukan seorang pembunuh, aku cuman ingin mengetahui apakah Fahmi baik-baik saja”.

Pintaku penuh iba, namun polisi-polisi itu tetap meringkusku dan memborgolku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Savior
3970      1337     10     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
Sekotor itukah Aku
20209      3249     5     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
My Story
547      305     1     
Short Story
there’s always a first for everything, but will it always end up good or
Te Amo
408      276     4     
Short Story
Kita pernah saling merasakan titik jenuh, namun percayalah bahwa aku memperjuangkanmu agar harapan kita menjadi nyata. Satu untuk selamanya, cukup kamu untuk saya. Kita hadapi bersama-sama karena aku mencintaimu. Te Amo.
Po(Fyuh)Ler
828      443     2     
Romance
Janita dan Omar selalu berangan-angan untuk jadi populer. Segala hal telah mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Lalu mereka bertemu dengan Anthony, si populer yang biasa saja. Bertiga mereka membuat grup detektif yang justru berujung kemalangan. Populer sudah lagi tidak penting. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah persahabatan mereka akan tetap bertahan?
Putaran Waktu
693      468     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Last October
1740      663     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Katakan saja!!
67      65     0     
Short Story
Gadis yg menyukai seorang lelaki namun tidak berani mengungkapkan perasaan ny karna dia laki-laki yg sangat lah disukai oleh banyak wanita.namun tak disangka laki-laki ini juga menyukai gadis in karna dia sangat lah berbeda dengan gadis yg selama ini di kenal Hari hari mereka jalani dengan canggung. Dan akhirnya laki laki ini mengungkap kan isi hatinya pada gadis ituu. Bagaimana kisah ny ayo ba...
Phased
5523      1667     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
358      253     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?