Pak Fajar melajukan motornya cukup cepat, sehingga aku harus berpegangan erat pada pinggangnya. “Pegangan, Maya,” ujarnya. “Ya,” jawabku singkat. Pakaianku yang semula basah karena hujan kini mulai berangsur kering oleh terpaan angin malam yang lembab dan menusuk.
Hujan sudah reda malam ini, tetapi jalan utama dipenuhi warga yang ingin menyaksikan reruntuhan gedung yang dihancurkan bom pagi tadi. Di antara kerumunan, polisi tampak berjaga-jaga dan berkeliaran ke sana kemari. Aku berusaha merunduk, mendekatkan wajahku ke punggung Pak Fajar untuk bersembunyi.
“Jangan takut, kita pasti bisa menyelamatkan temanmu itu,” ucap Pak Fajar sambil fokus berkendara. Sepertinya ia salah mengira tindakanku yang menghimpitnya. Dia pasti berpikir aku cemas akan Fahmi. Padahal, ketakutanku lebih kepada kemungkinan polisi mengenaliku dan menangkapku, yang berarti aku tak bisa menyelamatkan Fahmi.
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit karena jaraknya yang lumayan jauh, ditambah jalanan padat oleh warga. Setibanya di dermaga Rambang, suasana sangat sepi dan hening kontras dengan hari-hari biasanya yang ramai oleh pedagang dan pengunjung di sekitar dermaga. “Ini pasti akibat bom itu. Tempat ini jadi sangat sepi,” ungkap Pak Fajar. Aku hanya mengangguk setuju.
“Maya, coba kau perhatikan dengan teliti. Adakah perahu yang kau kenali?” tanya Pak Fajar sambil menunjuk sekumpulan perahu yang terparkir berantakan. Aku memicingkan mata, menelusuri satu per satu perahu yang ada, bahkan mendekati beberapa untuk memastikan.
Akan tetapi.
“Ayolah, bagaimana ini?” gumamku, mulai panik. Sudah berkali-kali aku memeriksa, tetapi tidak ada satu pun perahu yang mirip dengan perahu yang membawa Fahmi tadi sore. “Ini gawat", peluh mulai mengalir di pelipisku. Aku kelelahan.
“Bagaimana, Maya? Ketemu?”
“Tidak ada. Aku tidak menemukannya!” teriakku kepada Pak Fajar, yang menunggu di undakan tangga atas sementara aku berada di dekat dermaga.
“Kalau begitu, bukan di sini tempatnya. Tapi ada satu tempat lagi.”
“Maksud Bapak, masih ada satu dermaga?” tanyaku setelah berjalan mendekatinya.
“Iya, dermaga Kereng Bangkirai. Kau tahu, kan?”
“Betul juga! Itu di lokasi wisata air hitam Sebangau kan? Aku tahu! Kalau begitu, ayo segera ke sana,” ujarku, bersemangat.
Namun, Pak Fajar tetap mematung meskipun aku sudah mendesaknya. “Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Sebaiknya kita tidak ke sana. Kau tahu, kalau sudah malam begini, sungai disekitaran lokasi Sebangau cukup berbahaya. Banyak kriminal di sana. Lebih baik kita ke sana besok saja.”
“TIDAK!” sergahku spontan. Nada bicaraku kasar, membuat Pak Fajar terkejut. “Maaf,” aku segera mengoreksi nada suaraku, merasa malu karena tak bisa mengontrol diri.
“Kalau kita tidak bergegas, Fahmi…” nafasku tertahan, “…Fahmi bisa saja tidak selamat. Dipukuli, disiksa, atau mungkin…” Kalimatku terhenti. Aku mulai terisak, air mata mengalir tanpa sadar. Emosiku tak tertahan lagi. Aku merasa hampa karena pencarian kami menemui jalan buntu.
Pak Fajar menghampiriku dan meraih pundakku, tatapannya penuh iba. “Maafkan aku,” ucapnya lirih. Aku menengadah, memandangnya dengan mata sembab.
“Fahmi, itu namanya, bukan? Apa dia begitu berarti untukmu?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil menyeka air mata. “Iya. Dia menyelamatkanku dengan mengorbankan dirinya. Kumohon, Pak, bantu aku.”
Pak Fajar terdiam sejenak, terlihat berpikir. Setelah hening beberapa saat, ia berkata, “Baiklah, kita ke sana. Tapi jika keadaan buruk, kita akan tunda pencarian Fahmi sampai besok.”
Aku mengangguk dengan wajah yang kembali cerah. Kami segera menaiki motor dan menuju Kereng Bangkirai. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Suasana semakin mencekam. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit lagi. Di kota sepi seperti Palangka, 30 menit berarti jarak yang jauh.
Kami melewati rumah-rumah warga yang tampak kosong, lampunya mati. Sesekali kami melewati kebun atau hutan yang gelap dan rimbun. Kekhawatiranku soal hewan liar muncul, tetapi aku mencoba mengabaikannya.
Sesampainya di dermaga, kami berdua terkejut. Apa yang kami duga ternyata salah. Tempat ini justru dipenuhi kerumunan polisi. “Astaga,” aku tercekat. Polisi adalah musuhku kali ini. Namun, Pak Fajar malah mendekatkan motornya ke salah satu polisi. Aku hanya bisa menyembunyikan wajah agar tidak dikenali.
“Ada apa ini, Pak? Kok ramai-ramai?” tanya Pak Fajar tanpa ragu.
Polisi itu menoleh sesaat ke arah kami, tetapi pandangannya tertuju agak lama padaku. Lalu ia menjawab, “Ditemukan mayat lelaki mengapung di sungai.”
Deg. Jantungku serasa copot mendengarnya. Fahmi? Apakah itu Fahmi? Otakku lebih dulu menjawab tanpa informasi tambahan dari polisi.
“Kami boleh melihatnya, Pak?” tanya Pak Fajar santai.
“Tentu saja tidak! Pulanglah! Ini area terlarang sekarang,” jawab polisi itu tegas.
Aku kembali tak punya harapan.
“Tapi kami sedang mencari seseorang—lelaki—yang hilang. Kami khawatir kalau itu dia,” sergah Pak Fajar, mencoba meyakinkan. Aku tersenyum tipis di balik punggungnya, merasa sedikit lega atas usahanya.
“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya polisi curiga.
“Dia suami anak saya ini,” jawab Pak Fajar sambil menunjuk ke arahku.
Apa, suami? Aku tersentak mendengar kebohongannya. Walaupun begitu, aku menyukai cerita karangannya. Pak Fajar menyuruhku menyapa polisi dihadapan kami dan tak perlu malu. Dengan ragu, aku memperlihatkan wajahku seperti yang diminta Pak Fajar.
Polisi itu menatapku lama, lalu tiba-tiba dia berkata, “Hei, kau wanita pembunuh yang kemarin sempat aku tangkap! Kenapa kau bisa ada di sini?”
Astaga dia mengenaliku, ternyata dia polisi yang waktu itu meringkusku di bangunan terbengkalai bersama Fahmi. Ya ampun kenapa dunia ini begitu sempit. Dari banyaknya polisi kenapa orang ini yang aku temui.
Aku Panik. aku turun dari motor dan bergegas melarikan diri tanpa peduli apapun.
“Hei, tunggu!” teriak polisi itu. Tapi siapa yang mau berhenti kalau akhirnya hanya akan ditangkap? Aku berlari menghindari kerumunan polisi, mencari tempat untuk melihat mayat yang ditemukan.
Lariku gontai, kelelahan karena belum istirahat. Terkadang aku berjalan disaat kaki ini merasa sakit, namun aku tidak boleh tertangkap.
Polisi menghadangku di kanan dan kiri, namun dengan sigap aku berhasil mengelabui dan melewati mereka.
Aku mencari tempat yang pas untuk melihat mayat itu. Walau teriakan polisi saling sahut menyahut menyuruhku berhenti, namun aku tidak berhenti, aku memanjat rumah-rumahan yang di bangun di atas kayu-kayu menyerupai menara pengawas. "Cocok". aku bergumam dan bergegas menaiki menara di dermaga.
Dari atas, aku bisa melihat seorang mayat sedang dievakuasi. Tubuhnya membeku, wajahnya tak terlihat, gelap. Aku mencondongkan tubuhku kedepan dan memicingkan mata agar penglihatanku lebih jelas.
“Tidak, aku tidak bisa melihatnya, siapa mayat laki-laki itu? Tidak mungkin itu Fahmi”. Jantungku berdegup kencang, amat khawatir dan ketakutan dengan semua pikiran burukku. Aku harus segera memastikannya.
Aku segera berbalik untuk turun dari menara, tetapi polisi mengepungku.
“Berhenti! Jangan bergerak!” seru mereka.
Aku membeku, pasrah. Aku mengangkat tangan tanda menyerah. Takut-takut mereka akan meringkus ku dengan kasar. Namun alih-alih mendekat ke arahku, salah satu polisi menghubungi seseorang melalui handy talky, mungkin atasan mereka. Aku hanya berharap kalau mayat itu bukan Fahmi. Itu saja yang aku pikirkan.
“Tetap ditempat!” hardik polisi.
“Kumohon, katakan padaku, siapa mayat yang kalian temukan?” tanyaku putus asa.
Polisi itu tidak merespon, dia hanya terdiam seperti menunggu sesuatu. sampai seseorang muncul menaiki menara. Astaga, aku mengenalnya. “Detektif Rifqi?”.
“Halo, Maya. sungguh kebetulan aku bisa menemukanmu disini. Kami memang sedang mencarimu” ucapnya tajam, penuh intimidasi.
Aku melongo. Detektif Rifqi tidak terlihat bersahabat. Ada sesuatu yang aneh di matanya.
“Kau harus mengatakan semua yang kamu ketahui. Dimana Fahmi? “
“Hah? Aku tidak tahu, justru aku kesini untuk mencarinya”.
Aku bingung, kenapa dia bertanya padaku, apa ini artinya mayat itu bukan Fahmi? situasi ini, sungguh membuatku frustasi.
Detektif Rifqi berdehem panjang, lalu meraih handphonenya dan menelpon seseorang.
“Halo pak, kami sudah menemukan Maya, tapi dia tidak mengetahui lokasi Fahmi. Jadi bagaimana?”.
“Oh, okay baik”.
Aku hanya memperhatikan ketika detektif Rifqi asik menelpon, hingga akhirnya dia menutup telepon dan berkata kepadaku.
“Maya, kau harus ikut dengan kami. Tolong tangkap dia!”.
Perintah detektif Rifqi kepada para polisi yang ada di belakangnya. Kemudian mereka dengan sigap maju dan meringkusku kasar.
“Tidak, kumohon. aku bukan seorang pembunuh, aku cuman ingin mengetahui apakah Fahmi baik-baik saja”.
Pintaku penuh iba, namun polisi-polisi itu tetap meringkusku dan memborgolku.