Lorong gua semakin sempit, gelap, dan pengap. Kami harus merangkak untuk menyusurinya. Nafasku terengah-engah, rasa panik terus menjalar.
"Fahmi, aku tidak yakin di depan ada jalan keluar. Semuanya tambah gelap," ucapku dengan suara gemetar. Jantungku berdetak begitu kencang, seperti genderang perang di dadaku. Aku menoleh ke belakang, berharap mendapat jawaban, tetapi Fahmi melarangku.
"Terus maju! Jangan berhenti!" suaranya terdengar tegas, namun aku bisa menangkap nada khawatir di baliknya.
Sayup-sayup suara para pengejar semakin jelas, meneriakkan perintah untuk kami berhenti. Ketakutan menyelimuti pikiranku, tapi sesuai perintah Fahmi, aku terus merangkak maju, meski dinding gua seperti menelan keberanian yang tersisa dariku.
Tiba-tiba, suara Fahmi memekik. "Argh! Lepaskan kakiku, bangsat!"
"Ada apa?" tanyaku panik, mencoba menoleh ke arahnya.
"Kakiku sempat tertangkap, tapi aku tendang. Ayo terus!" jawabnya dengan napas memburu.
Aku hampir menyerah. Tubuhku gemetaran, tangan dan lututku basah kuyup oleh lumpur dingin. Sesekali aku merasakan sesuatu yang melata menyentuh kulitku, tapi aku tak punya kekuatan untuk menghiraukannya.
"Fahmi, aku tidak kuat lagi!" jeritku, air mata bercampur keringat mengalir deras di wajahku. Aku merasa seperti berada di ujung batas kemampuan manusia.
"Terus maju! Jangan berhenti, Maya!" teriak Fahmi dengan nada yang semakin jauh.
Aku menoleh ke belakang, dan hatiku mencelos. Fahmi tertangkap. Dua tangan kekar para pengejar mencengkeram kakinya. Meski Fahmi menendang dengan sekuat tenaga, upayanya tampak sia-sia.
"FAHMI!" aku mencoba merangkak mundur untuk menolongnya.
"Tidak! Jangan! Terus maju! Aku akan baik-baik saja. Kau harus melarikan diri!" teriaknya.
"Tapi... kau bisa saja..."
"Aku suka kamu. Maya larilah, hiduplah. Demi aku."
Aku terpaku. Kata-katanya membekukan tubuhku di tempat. Apa yang baru saja dia katakan? Jantungku berdetak tak karuan. Ini mimpi? Tapi rasa takut dan kesakitan di tubuhku terasa begitu nyata.
Fahmi kembali berteriak. "Pergi, Maya! Jangan pedulikan aku!"
Namun, entah dari mana keberanian itu datang. Aku bergerak mendekati Fahmi, lalu menghantamkan kakiku ke wajah salah satu pengejar. "Argh, dasar brengsek!" umpatnya sambil terhuyung mundur.
"Ayo pergi, cepat!" perintahku pada Fahmi. Dia memandangku dengan tatapan tak percaya, lalu kami merangkak bersama, berusaha kabur dari kegelapan yang semakin mencekam.
Kami saling menggenggam tangan. Aku memimpin di depan, merangkak secepat mungkin tanpa peduli apa yang kusentuh di sepanjang lorong. Rasa jijik sudah tak lagi kupedulikan. Namun, tiba-tiba, Fahmi berhenti.
"Ada apa?" tanyaku sambil menoleh ke belakang.
"Kakiku tertangkap lagi," jawabnya dengan wajah cemas.
Aku berusaha membantu, tetapi kali ini pengejar yang lain ikut mencengkeram kakiku. Kami berdua kini dalam keadaan genting. Dengan sisa tenaga, kami menendang sekuat mungkin, mencoba melepaskan diri. Namun, cengkeraman mereka semakin kuat.
"Maya, berjanjilah kau akan keluar dari sini dengan selamat," ucap Fahmi, suaranya terdengar putus asa.
"Tidak! Kita harus keluar bersama!" aku membalas dengan suara serak.
Tiba-tiba, Fahmi mendekatkan wajahnya. Sebelum aku sempat bereaksi, bibirnya menyentuh bibirku. Kami berciuman. Dunia terasa berhenti. Hangat. Aku tak mampu berpikir. Tapi momen itu hanya berlangsung sekejap.
"Aku yang kalian mau, bukan? Aku akan menyerahkan diri, tapi lepaskan Maya! Biarkan dia pergi!" teriak Fahmi kepada para pengejar. Setelah momen intens itu berakhir.
"Fahmi, jangan!" aku memohon, air mata mulai mengalir.
"Maya, dengarkan aku. Aku akan baik-baik saja. Orang tuaku tak akan menyakitiku. Tapi kau, kau berbeda, kau harus pergi sekarang!"
Para pengejar akhirnya melepaskan kakiku, namun tidak dengan Fahmi. Mereka menyeret tubuhnya keluar dari gua. Aku hanya bisa menyaksikan dengan gemetar, tidak mampu berbuat apa-apa. Cahaya samar dari luar gua memperlihatkan siluet Fahmi yang ditarik kasar dan dipukul. Hatiku mencelos melihatnya, tapi aku tahu, aku tak punya pilihan.
"Fahmi, aku juga suka kamu," teriakku dengan sisa suara yang kumiliki. Namun, suaraku tenggelam. Entah Fahmi mendengarnya atau tidak.
Aku merangkak cepat keluar mulut gua. Melihat mereka membawa Fahmi pergi dengan perahu yang menyusuri sungai Kahayan. Siluetnya semakin jauh hingga menghilang sepenuhnya dari pandanganku. Aku terduduk di antara lumpur dengan kesedihan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kehilangan seseorang yang mulai aku cintai. Ini benar-benar menyakitkan, hatiku terasa ditusuk oleh sesuatu, merasa tak berdaya.
Aku menatap gua yang kosong, lalu menguatkan hati. Jika Fahmi berkorban untukku, aku tidak boleh menyerah. Aku harus menyelamatkannya dan mengungkap kebenaran. Dengan tekad bulat, aku mengambil salah satu bom yang tertinggal, membawa barang bukti. Lalu berjalan menyusuri sungai di tengah hujan deras.
Beberapa kilometer kemudian, aku tiba di rumah David. Namun, pemandangan yang kutemukan membuatku tercekat. Rumah itu sudah berantakan, kaca-kaca pecah, dan barang-barang berserakan. Aku masuk ke dalam dan menemukan David tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah.
"David! Oh astaga, apa yang terjadi? kamu baik-baik saja?" aku panik sambil meraih tubuhnya.
Dia meringis kesakitan. "Maya... orang yang mengejar kalian menikamku karena aku tidak memberitahu kalian dimana. perutku... aah..."
Aku melihat luka di perutnya. Darah mengalir. Dia terluka. Pisau menancap cukup dalam. Dengan cepat, aku merobek kain dan melilitkan luka itu untuk menghentikan pendarahan.
"To-long". Erang David menahan rasa sakit.
"Bertahanlah ku mohon".
Aku ketakutan, aku mencari sesuatu di sekitar rumah. Untungnya aku melihat ada sebuah HP tergeletak tersembunyi di bawah meja, sepertinya itu HP David. Aku raih HP itu dan segera aku menelpon menghubungi ambulance.
"Halo, apa keadaan daruratmu?". Seseorang di seberang sana menjawab teleponku.
"Halo, iya. aku butuh bantuan, seseorang terluka tertusuk pisau, cepat!". Dengan nafas tersengal-sengal aku melaporkan kondisiku.
"Dimana lokasinya?".
"Di Bawah jembatan sungai Kahayan, dekat pilar-pilar besar di rumah sekitaran kios. Cepatlah kumohon!".
"Baik, segera ambulance akan tiba".
Aku matikan HPnya dan kembali melihat kondisi David yang semakin meringis menahan rasa sakit. Aku merasa iba kepadanya.
"Di-mana Fahmi?". Tanya David.
Aku tersentak, padahal kondisinya sangat memprihatinkan tapi sempat-sempatnya menanyakan Fahmi.
"Dia, dia tertangkap". Jawabku dengan berat hati.
"Ah, sial".
"Tapi kami sempat menemukan bukti, kalau kotak-kotsk itu berisi bom"
Aku terduduk, melaporkan.
Kemudian membisu.
Menunggu jawaban David.
Tapi sialnya sirine ambulance disusul dengan sirine polisi, datang mendekat.
Aku terkesiap tak menyangka polisi akan datang juga kemari. Jika mereka tahu aku ada disini, maka. Aku akan ditangkap lagi dan perjuangan Fahmi akan sia-sia.
David mengerang pelan. "Maya... pergi... temui Pak Fajar. Dia... bisa membantumu."
"Tapi, kamu..."
"Jangan pedulikan aku, larilah"
Dengan berat hati, aku meninggalkan David dan menyelinap keluar dari rumah. Hanya satu hal yang ada di pikiranku: mencari Pak Fajar dan mengungkap kebenaran untuk menyelamatkan Fahmi.