Jaya melanjutkan, getaran suaranya semakin terasa karena terisi emosi yang mendalam. “Saya … saya bingung, apakah tetap akan mencari ayah saya atau menganggap dia lenyap saja."
Pak Atma menatap Jaya dengan penuh empati, lalu berkata, "Mas Jaya bisa mencoba mencari jawaban. Cuma, kita harus bersiap-siap karena kebenaran bisa menjadi hal yang sulit diterima. Yang terpenting adalah bagaimana Mas Jaya menghadapinya dan memberikan dukungan terbaik kepada ibu."
Jaya mengangguk-angguk dan mengusap air mata yang terasa lengket di pipi. Pak Atma pun menghela napas berat sambil menengadah, mengedip-ngedip mencegah butiran air di dalamnya turun. Beliau kemudian berbicara, “Saya sangat menghargai Mas Jaya sudah bersedia berbagi dengan saya. Saya tahu cerita tentang ibumu bukanlah hal yang mudah. Ini merupakan kepercayaan besar bagi saya. Semoga setelahnya, Mas Jaya jadi merasa lebih enteng dan dapat melakukan yang terbaik untuk membantu ibu."
Jaya tersenyum tipis, menatap sosok pria di depannya dengan rasa hormat yang semakin berkembang. "Terima kasih mau mendengarkan. Saya merasa harus tahu kebenaran, Pak Atma, baik untuk ibu maupun diri saya sendiri," ucapnya.
Jaya merasa lega karena telah membuka hatinya kepada lelaki bijak ini. Momen siang ini memberikan kedekatan yang lebih dalam antara Jaya dan Pak Atma. Jaya berandai-andai jika memiliki ayah sebaik Pak Atma.
Jaya dan Pak Atma dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Ibu kantin masuk dengan senyuman lembut membawa nampan berisi pesanan mereka berdua, seolah sengaja menunggu di luar beberapa waktu hingga obrolan mereka selesai.
Baru saja ibu kantin selesai menerima pembayaran dan pamit keluar, terdengar suara yang sangat akrab di telinga dengan nada menggoda menyapa, “Siang ini terasa istimewa, ya?"
Jaya menoleh ke arah sumber suara dan berteriak kaget, “Bayu! Baru masuk jam segini. Nakal, ya?”
“Hem …. Kalau aku enggak kesiangan kan, kalian jadi enggak mesra begini,” seloroh Bayu dengan senyum penuh kelicikan, “Dari jauh tuh, aku lihat. Kalian mengobrol asyik banget. Habis curhat apa dia, Pak?"
"Ih! Mau tahu aja. Memangnya boleh isi curhatan disebar?" sergah Jaya cepat.
"Iya deh, iya. Paling juga kamu curhat lagi kangen aku. Iya, kan?" tebak Bayu.
"Lah? Kok, betul?" sahut Jaya, "Nih! Sekarang jelaskan ke aku soal ini."
Bayu menerima amplop dari Jaya dan memeriksa isinya. "Ini sih, bisa tanya ke Pak Atma," tandas Bayu.
"Sudah. Tapi, kan kamu spesialisnya. Boleh, dong?" tukas Jaya sambil menaik-turunkan alis dengan pandangan jenaka.
"Tumben, nih anak riang banget hari ini? Selama aku enggak masuk, kamu dirawat Pak Atma terus, ya? Mantap! Sudah punya ayah baru yang mengurus kamu ya, sekarang. Aku bebas tugas!"
Jaya, Bayu, dan Pak Atma tergelak-gelak. Mereka melanjutkan obrolan sambil sesekali Bayu menyendok makanan di piring Jaya untuk dirinya.
***
Malamnya, kembali Jaya mengalihkan perhatian pada sang ibu. Jaya menarik sebuah kotak permainan dari tas dan menyodorkannya ke Puspa. "Bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda, Bu?" Jaya berbisik dengan riang.
Puspa melihat kotak itu dengan rasa penasaran yang tersirat di mata. Beliau mengangguk, memberi isyarat untuk melanjutkan. Jaya pun tersenyum lega. Dia menunjukkan beberapa boneka kecil yang telah disiapkannya.
Boneka-boneka itu ditempatkan di atas meja, dan Jaya menyentuh lembut satu per satu, sambil menjelaskan apa yang akan mereka lakuka. dengan suara halus, mencoba merangsang respons dari ibunya.
"Kita akan bermain peran hari ini. Saya berperan sebagai putramu, dan Ibu menjadi ibu saya. Kita akan memerankan momen kebahagiaan di dalam keluarga kita. Boneka-boneka ini mewakili diri kita masing-masing. Ibu pilih boneka yang mana?” t
Puspa memilih boneka berambut panjang dengan pakaian bermotif bunga, sedangkan Jaya sengaja memilih boneka pria berkacamata yang mirip dengan dirinya. Mereka pun mulai bermain. Meski Puspa tetap diam, ekspresi wajahnya mengalami perubahan yang mencolok.
Jaya melihat kebahagiaan yang segera menular memenuhi hatinya. Senyum manis dan sesekali sangat lebar dengan gelak tertahan terukir di bibir Puspa. Jaya kemudian mengajak meningkatkan level permainan mereka.
“Sekarang, kita tambahkan boneka baru, ya. Dari tadi ada ibu dan anak. Bagaimana jika kita lengkapi dengan boneka ayah?” tanya Jaya lunak sambil memperhatikan ekspresi ibunya yang mematung, “Ibu bisa memilih boneka mana yang kita gunakan untuk berperan sebagai ayah."
Puspa memandangi boneka-boneka itu dengan ragu, kemudian tangannya menyentuh satu boneka pria berjas putih. Jaya memperhatikan pilihan ibunya dengan hati-hati. Ada ketidakpastian di matanya, tetapi juga sedikit harapan. Dia membuat catatan mental tentang pilihan ini dan berencana menyelidikinya lebih lanjut.
Jaya, dengan penuh kasih, menggerakkan boneka yang mewakili dirinya. "Halo, Ayah," kata Jaya dengan suara lembut yang dipancarkan melalui ekspresi wajah dan gerakan boneka. Dia mendekatkan boneka ayah ke tangan Puspa agar dimainkan.
Ibu menjawab dengan senyuman yang samar, menggerakkan boneka itu dengan ekspresi penuh kasih. Tampak boneka ayah merentangkan tangan memeluk boneka Jaya, lalu menepuk-nepuk bahu sang anak. Jaya menangkap ekspresi bertanya di wajah sang ibu.
Jaya pun berimprovisasi menutupi rasa haru yang membanjiri batin. Boneka yang mewakili Jaya mengangkat bahu ditingkahi suara Jaya yang berkata, "Ayah ingin tahu apa yang kulakukan seharian? Hari ini, aku belajar banyak hal di sekolah, Ayah. Aku juga kangen banget, pengin segera ketemu Ayah dan Ibu lagi."
Jaya merasa ibunya memperhatikan boneka yang mewakili ayah dengan ekspresi penuh rindu. Sesaat, Jaya merasa terhubung dengan perasaan itu. Dia tahu, pernah mengalami perasaan seperti yang ditampilkan sang ibu malam ini. Bukan hanya pernah, tetapi beberapa kali!
Jaya terharu mendapati ibunya telah mengekspresikan perasaan, meski hanya melalui boneka. Bahkan, entah sadar atau tidak, beliau seperti menitipkan petunjuk tentang seperti apa sosok ayah Jaya.
Di samping ranjang Puspa yang telah terlelap, Jaya mengamati lagi boneka ayah pilihan ibunya. Imajinasi Jaya berkeliaran mencari-cari siapakah pria yang memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki si boneka.
Meskipun berjas putih, Jaya yakin itu bukan Profesor Wijaya. Sebab, ibunya memilih boneka yang langsing, bukan tambun seperti tubuh profesor yang dikenalnya sejak lahir itu. Apakah ayahku juga seorang dokter? batin Jaya bertanya.
Mata Jaya tertumbuk pada bulu mata panjang dan sorot mata yang hangat si boneka. Jaya membandingkannya dengan boneka-boneka lain. Benar, mata itu merupakan ciri khas yang sangat membedakan boneka tersebut. Matanya yang paling lebar dan ekspresif.
Seketika, kelebatan memori Jaya tentang sosok berjas putih dengan mata lebar pun menghentak Jaya sendiri. Dia kembali teringat ekspresi penuh rindu ibunya saat memandang si boneka. Itu merupakan perasaan yang sama yang meliputi Jaya setiap kali bertemu sang pria berjas putih bermata lebar yang dikenalnya. Ya, dia adalah Pak Atma!