Menyaksikan aneka gejolak rumah tangga klien dan membimbing mereka, seolah menjadikan Jaya ahlinya. Namun, tetap saja, tidak mudah bagi Jaya memulai kembali sebuah hubungan. Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan, Jaya harus mengakui bahwa semua masalah bermuara pada dirinya.
Dia masih belum selesai dengan urusan masa lalu. Bukan hanya tentang kekasih-kekasih lama, tetapi jauh sebelum itu. Bahkan, ini tentang kehidupan sebelum Jaya lahir. Ada tanda tanya besar dalam benak Jaya mengenai asal-usulnya. Hidup tanpa mengenal ayah benar-benar membuatnya merasa selalu timpang.
Ruang kosong dalam hati Jaya itu mulai menganga kala masuk SD internasional. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, Jaya hanya bisa terpekur mendengar teman-temannya maju satu per satu menceritakan dengan bangga pekerjaan ayah masing-masing.
Untunglah, sang guru yang menyadari kebingungan muridnya itu saat tiba gilirannya maju, meminta Jaya bercerita tentang Profesor Wijaya. Kalimat demi kalimat pun meluncur lancar dari Jaya. Sejak kecil, sang profesor sering mengizinkan Jaya mengamati bagaimana beliau bekerja saat berkunjung sebulan sekali ke panti rehabilitasi ODGJ Sumber Harapan.
Tentu saja, Jaya tidak memberi tahu seisi kelas bahwa panti itu merupakan tempat tinggalnya bersama sang ibu sejak berusia dua tahun. Saat itu, sang ibu dinyatakan cukup stabil untuk rawat jalan dan tidak harus terus menginap di RSJ. Karena belum juga ada keluarga yang menampung, Jaya dan ibunya ditempatkan di panti itu agar keduanya berada dalam kehidupan sosialisasi yang lebih normal.
Namun, rahasia Jaya terbongkar ketika pertama kali pembagian rapor. Randy, teman sekelas sekaligus saingan Jaya dalam hal akademik, sangat penasaran dengan nilai-nilai Jaya. Dia merebut rapor Jaya dan tanpa sengaja membaca di bagian data siswa. Tampak di sana tidak tercantum nama ayah Jaya. Sedangkan nama Profesor Wijaya, ternyata berada di kolom wali semata.
Sejak itu, Jaya sering diolok-olok Randy dan gengnya sebagai anak tanpa ayah. Mereka menganggap Jaya tidak layak bersekolah di sana karena menggunakan uang orang asing untuk membiayai pendidikan. Hingga ketika Randy mendapatkan nilai buruk sementara Jaya tetap memeroleh nilai sempurna seperti biasa, Randy dan teman-temannya pun memukulinya sampai babak belur agar tidak bisa bersekolah.
Jaya pulang dengan wajah lebam dan hati hancur. Dia masuk ke ruangan Puspa dalam keadaan tertunduk lesu. Bocah itu menghadap Puspa dengan mata berkaca-kaca dan sontak menumpahkan segala kepiluan di pangkuan ibunya.
Puspa hanya tercenung sambil membelai rambut putra kesayangannya. Bermenit-menit telah lalu, hingga akhirnya Jaya mengangkat wajah. Pipinya basah kuyup dan matanya sangat pedih akibat tertekan secara fisik dan batin.
"Bu, aku capek. Kenapa teman-teman begitu?" tanya Jaya lirih, suaranya gemetar. "Mereka mengejek aku terus gara-gara enggak punya ayah."
Tatapan ibu Jaya kosong. Beliau diam, seakan-akan tidak mendengar. Jaya menggenggam kedua telapak tangan Puspa dan mengguncang-guncangnya untuk menarik perhatian. Di tengah isak, Jaya Kecil mengeluh. "Bu, ke mana Ayah? Kenapa dia enggak di sini? Kenapa kita selalu sendiri? Ayah masih hidup, kan?"
Puspa sedikit mengedikkan bahu, lalu menatap langit-langit. Air mata mulai mengalir di pipi. Tampak beliau ingin berkata-kata, tetapi diam-diam menahannya. Jaya sangat frustrasi, rasa ingin tahunya semakin besar. Namun, jawaban yang dia harapkan terlanjur tertelan dalam diam ibunya.
"Ibu dengar aku, kan?" tanya Jaya agak emosi. Dia mengelus-elus punggung tangan Puspa dengan gelisah sambil terus merajuk. "Bu! Bicara, dong!"
Puspa merenung sejenak. Ibu Jaya menarik napas dalam-dalam. Menangis. Puspa akhirnya menoleh ke arah Jaya. Sepasang mata beliau telah sepenuhnya basah. Dia meraih wajah Jaya dengan lembut. Jaya segera bisa menebak apa yang akan dilakukan sang ibu selanjutnya. Kebiasaan ibu setiap kali hendak menghiburnya, kebiasaan yang sangat Jaya butuhkan saat itu.
Jemari Puspa mulai meluncur lembut di atas dahi jagoan kecilnya, dari tengah ke arah pelipis. Jaya merasakan sebagian beban pikirannya terangkat. Ibunya kemudian beralih mengusap kulit di atas alis Jaya. Sedikit ketegangan di sana perlahan menjadi relaks. Perjalanan jari-jari itu berlanjut mengelilingi tulang alis dan meluncur ringan di atas kelopak mata. Bagian dalam mata yang tadinya memanas mulai terasa sejuk.
Usapan Puspa bergulir ke pipi Jaya yang segera merasakan sensasi nyaman.Jari-jari itu memijat dengan gerakan memutar, membantu permukaan pipi Jaya yang tadinya terasa kaku oleh air mata yang mulai mengering, menjadi lebih santai.
Jemari Puspa terus turun mengusap di sekitar mulut Jaya. Begitu banyak otot yang perlu diperbaiki di sana. Seperti biasa, Puspa akan bekerja lebih lama di bagian ini. Setelah mempelajari psikofisiologi, Jaya jadi paham otot apa saja yang dilatih ibunya selama ini untuk membuatnya merasa lebih baik.
Dimulai dari Zygomaticus Major. Puspa mengusap otot di samping mulut dan terhubung ke tulang pipi Jaya agar terangsang untuk melengkungkan senyum. Puspa menambahkannya lebar senyum Jaya dengan merangsang otot Risorius yang menghubungkan ujung mulut ke samping wajah agar mengangkat bibir Jaya ke samping. Layaknya seorang ahli roti yang sedang mengukir adonan, jemari Puspa menepuk-nepuk halus otot Orbicularis Oris di sekitar bibir dan mulut Jaya hingga gerakan bibir atas dan bawahnya saat tersenyum sesuai yang diinginkan Puspa.
Ujung jari Puspa kemudian menyentuh lembut bagian sisi hidung Jaya agar otot Levator Labii Superioris di sana membantu mengangkat bibir atas dan menciptakan lipatan di sisi hidung. Lalu, kedua ujung telunjuk Puspa beralih ke lokasi Orbicularis Oculi di sekitar mata. Otot yang menghasilkan kerutan di sekitar mata itu disentuh Puspa samar saja agar terbentuk Duchenne Marker yang memicu produksi hormon endorfin, hormon kebahagiaan.
Itu merupakan detik-detik favorit Jaya. Puspa tampak begitu telaten dan bersedia mencurahkan seluruh perhatian ke wajah Jaya. Di saat seperti itu, Jaya merasa ibunya benar-benar hidup dan menjadi ibu terbaik di dunia.
Apa pun yang terjadi sebelumnya, kedua mata Puspa akan serta-merta memancarkan kehangatan melalui kontak mata, memberikan Jaya rasa aman dan nyaman. Puspa juga tersenyum lembut dan hangat, menularkan aura positif hingga mampu memelihara senyum ciptaan ibunya bertahan di wajah Jaya.
Puspa terus mengusap-usap bagian lain di pipi, dahi, rahang, dan leher. Jaya mengikuti saja ke mana otot-otot yang diminta ujung-ujung jari Puspa itu mengarah. Bagaikan pemahat yang terus menambahkan detail lekukan dan dataran, Puspa melakukannya hingga merasa hasil yang tampak di hadapannya telah sempurna.
Usai tersenyum puas, Puspa membelai pelan belakang kepala Jaya dan menggenggam tangannya penuh kasih. Puspa merangkul Jaya dengan penuh kelembutan hingga anak semata wayangnya itu merasa aman.
Tidak ada lagi yang terasa berat bagi Jaya setiap ibunya telah merampungkan ritual itu. Semua kegundahan hancur. Setiap masalah tunduk dan tampak begitu remeh. Biarlah, sejuta orang di luar sana mencemoohnya. Jaya yakin, mereka tidak memiliki ibu sebaik Puspa.