Cahaya alami yang masuk melalui jendela besar di salah satu sisi menerangi ruang praktik psikolog klinis RSIA Purnama. Tirai tipis berwarna krem lembut bergerak seiring tarian angin, menciptakan efek pencahayaan yang hangat dan alami.
Ruangan itu dirancang untuk menjaga privasi pasien dengan dinding yang cukup tebal. Sudut-sudutnya didekorasi dengan tanaman hias yang cukup tinggi. Di atas dinding hijau pucat dekat jendela, terpajang belasan sertifikat pendidikan, lisensi, dan penghargaan profesional yang semuanya diberikan untuk satu nama, yaitu Jaya Amanah Putra.
Sedangkan pada sisi seberang, terdapat kabinet besar dengan banyak pintu dan laci yang terkunci untuk mengamankan berkas-berkas pasien. Di sebelahnya, berdiri sebuah rak besar dengan banyak sekat. Ada bagian yang berisi lembaran aneka kuisioner sebagai alat ukur parameter psikologis, buku-buku referensi, serta perangkat audio visual lengkap dengan TV dan barisan DVD.
Di tengah ruangan terdapat sofa berwarna krem lembut nan empuk dengan bantal-bantal yang disusun rapi. Ada juga beberapa kursi tambahan untuk pengunjung atau keluarga pasien. Sebuah meja kecil diletakkan di dekat sofa dengan buku-buku, majalah, dan brosur kesehatan yang tersusun rapi.
Sementara itu, di sisi ruangan yang menghadap jendela, terdapat meja kerja yang memiliki komputer di atasnya, berdampingan dengan kertas memo, pulpen, dan rangkaian bunga seruni putih dalam vas bening.
Tampak seorang pria berusia 30 tahunan berpostur tinggi dan ramping dengan wajah simpatik sedang di balik meja, membelakangi papan tulis putih yang terkadang digunakannya untuk menggambarkan konsep atau teknik tertentu selama sesi terapi.
Di hadapannya, duduk seorang perempuan berusia 40 tahunan, Lina namanya. Perempuan itu memegang perutnya yang bulat dan tampak masih kikuk di kehamilan pertama. Senyumnya menampakkan ekspresi yang bercampur aduk, antara kegembiraan, kecemasan, dan ketidakpastian.
Jaya membuka percakapan dengan senyum hangat. "Ibu Lina, selamat ya, atas kehamilannya. Bagaimana perasaan Anda hari ini?" ucapnya ramah dan antusias, tetapi tetap memberi waktu untuk membuka hati.
Lina memandang Jaya sejenak, kemudian berkata dengan suara bergetar, "Sejujurnya, saya sangat bahagia, Pak Jaya. Ini merupakan anugerah yang telah ditunggu-tunggu dalam belasan tahun kehidupan pernikahan kami."
Kedua telapak tangan Lina kemudian mengepal kuat-kuat. "Akan tetapi," lanjutnya ragu, "Ada rasa cemas juga akan masa depan bayi ini. Sebab, kami baru saja resmi bercerai, Pak. Saya … saya masih bisa bertahan dengan segala caci-maki dan perlakuan kasar mantan suami. Namun, begitu tahu sedang hamil, enggak rela rasanya jika anak ini jadi sasaran juga. Itu yang membuat saya yakin meninggalkannya, Pak."
Jaya mengangguk penuh pengertian sambil terus memasang telinga penuh perhatian menyimak curahan hati Lina selanjutnya. "Saya salut dengan keberanian Ibu mengambil keputusan. Sebuah langkah tepat untuk menghindari hubungan yang toksik dan abusif," puji Jaya tulus.
"Tapi, tapi, apa saya bisa membesarkan anak sendirian, Pak? Di usia segini, siapa yang mau mempekerjakan saya? Sedang hamil, lagi. Bahkan, kehamilan saya berisiko tinggi karena umur," tutur Lina lemah penuh kebingungan.
"Rasa cemas adalah hal yang wajar, Bu Lina. Perasaan itu muncul karena perubahan besar yang akan terjadi dalam hidup Anda," ungkap Jaya lembut. "Apakah sudah dikonfirmasi ke dokter kandungan soal kondisi kehamilan Ibu?"
"Sudah. Beliau bilang, semua baik-baik saja," jawab Lina diikuti dengan senyuman malu. "Saya tahu, terkadang rasa cemas ini agak berlebihan dan enggak beralasan. Apakah Pak Jaya bisa kasih saya tips bagaimana meredakan kekhawatiran?"
"Tentu saja. Yang perlu Anda pahami dulu, tidak perlu melawan rasa cemas tersebut. Itu adalah bentuk kepedulian Anda pada anak. Kita hanya perlu mengelolanya agar tidak sampai mengganggu keseharian Anda sehingga tetap bisa produktif. Cukup sadari keberadaannya, izinkan dia hadir, dan saya akan ajarkan teknik relaksasi pernapasan 4-7-8. Ini bisa membantu Anda mengendalikan stres dan merasa lebih tenang saat perasaan cemas itu muncul," ujar Jaya dengan begitu tertata.
Jaya mengambil jeda sejenak untuk memberi kesempatan Lina mencerna satu per satu setiap kata yang meluncur dari bibirnya, hingga dapat bersiap menyimak dengan sungguh-sungguh keterangan yang akan dijabarkan berikutnya.
Jaya pun menerangkan, "Saat Anda merasa cemas, hentikan sejenak segala aktivitas saat itu juga dan mulai berfokus pada pernapasan Anda. Tarik napas dalam-dalam melalui hidung selama 4 detik, tahan napas selama 7 detik, lalu embuskan perlahan melalui mulut dalam 8 detik. Ulangi ini beberapa kali hingga Anda merasa tenang."
Lina mencoba teknik pernapasan yang diajarkan Jaya, dan perlahan-lahan wajahnya mulai terlihat lebih rileks. Dia merasakan perubahan dalam tubuh dan pikiran. Setelah beberapa saat, Lina tersenyum lebar. "Terima kasih, Pak Jaya. Rasanya lebih baik sekarang, Teknik ini sangat membantu. Kami harus melatihnya lebih sering," ujarnya.
Jaya tersenyum mendengar komentar Lina dan menyahut, "Belajarlah legawa atas apa yang terjadi ya, Bu. Selain teknik pernapasan, kami juga dapat menjelajahi berbagai strategi koping lainnya untuk membantu Anda menghadapi kecemasan. Ada beberapa audio afirmasi yang bisa saya kopikan ke ponsel Anda. Ingatlah bahwa kami di sini untuk mendukung Ibu di sepanjang perjalanan kehamilan ini."
Lina mengangguk sambil tersenyum. Dia menyodorkan ponselnya untuk diisi dengan audio yang dimaksudkan Jaya. Mereka terus berbincang. Jaya terhanyut dalam ketulusan perasaan yang diungkapkan kliennya. Di dalam ruangan ini, kehidupan baru telah memulai bisikannya yang lembut, membawa kedekatan dan kehangatan yang tak tergantikan.
Sebagai psikolog, Jaya merasa terhormat dapat menjadi bagian dari momen-momen seperti ini, menghubungkan hati dan mendukung setiap ibu dalam perjalanan mereka menuju kehidupan orang tua.
"Berikan sentuhan lembut di perut, obrolan santai, dan berbahagialah setiap hari. Sebab, janin bisa merasakan kedamaian dari tiap denyut jantung dan helaan napas Ibu," tutur Jaya.
Lina mengangguk, serta-merta dia tertawa kecil dan menahan geli. Jaya jadi heran.
"Bagaimana? Ada yang ingin disampaikan lagi?" tanyanya sopan.
Lina malah tersenyum malu. Beberapa detik kemudian, dia pun angkat bicara menjelaskan. "Enggak, Pak Jaya. Ini, lo. Di luar sana, saya banyak mendengar para pasien mengobrol tentang Anda. Mereka senang sekali ada psikolog baru di sini. Mana orangnya ramah, perhatian, dan solutif."
"Oh, begitu. Syukurlah," timpal Jaya sedikit rikuh. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan semburat hangat di pipi yang bisa jadi terlihat memerah di mata Lina.
"Iya, nih. Saya membayangkan, pasti bahagia banget ya, yang jadi istri Pak Jaya. Selalu sejahtera mentalnya," sahut Bu Lina, "Sudah punya calon?"
Jaya terkejut, lalu tertawa kecil dan menjawab, "Belum, Bu. Doakan saja, ya."
Lina jadi merasa serbasalah karena lancang menanyakan hal yang terlalu pribadi. Namun, Jaya segera menenangkan dan menyampaikan bahwa itu merupakan pertanyaan yang normal. Jaya lega karena bisa melepas Lina di akhir sesi konseling dalam keadaan baik-baik saja.