Siang hari, setelah Manik dengan pidatonya berhasil membuat seisi ruangan riuh, lelaki itu berlari menyusuri lorong sekolah yang tengah ramai karena memasuki jam makan siang. Ia menghampiri Nirluka, seorang murid dari kelas sebelah, untuk meminta pendapat mengenai naskah yang tengah ia rampungkan, Navaphare.
Menghampiri Nirluka dengan mengagetkan, “hei, bisa kau beri aku sesuatu untuk membuat narasi ini menjadi hidup?” tanya Manik dengan nada serius dan tak sabaran.
Nirluka, dengan pandangan kesal, menjawab, “bagaimana kalau kita mulai dengan dengan tidak mengagetkanku, maksudku, siapa yang tidak kaget dengan cara seperti ini? Ayolah..."
"Baiklah, salahku, aku baru melakukan hal besar! Mereka semua mempercayai mitos akademi ini," lalu suasana diantara mereka menjadi sepi, "kita bisa juga bersepakat untuk memberikan nama kepada seseorang kali ini sebagai perumpaan.”
Nirluka memutar kedua bola matanya, merasa tidak mempercayai apa yang lelaki di hadapannya itu tengah pikirkan saat ini, “cukup masuk akal, menurutku. Tapi perihal nama, khusus untuk hal itu, sepertinya aku belum bisa bersepakat denganmu.” Gadis berambut hitam urai dengan celemek bermotif kotak berwarna merah di pinggangnya itu menyilangkan kedua tangannya, menatap satu bundel naskah kucel yang Manik bawa saat ini, baginya, lelaki yang wajahnya dipenuhi dengan keringat itu dan mencoba membujuknya melakukan sesuatu namun tidak berhasil, “bukankah itu sudah cukup?” jawabnya satir.
Membalas tatapan itu, Manik berpikir keras untuk menyimpulkan, “tentu tidak, jenius, mari kita narasikan”, tanpa mengajak diskusi lagi, Nirluka dipaksanya untuk setuju membahas lanjutan naskah yang pagi tadi Manik suarakan di depan khalayak umum.
Dengan semangat baru, Manik mulai menyusun kalimat yang keluar dari buah pikir keduanya, mulai menulis dengan bantuan Nirluka;
Di tanah yang menghampar ia berjalan,
Perempuan tak bernama yang terhanyut dalam sunyi.
Di bawah langit biru, perempuan bersua dengan keheningan,
Perasaan sebagai sang puteri yang mendiami sendiri.
...
Narasi di dalam naskah Navaphare mulai menggema kembali, di sudut lorong sekolah mereka berdua merangkai kembali apa yang disebut sebagai mitos akademi yang tabu dibahas di depan para murid, mereka mula-mula memulainya dengan beberapa kalimat sederhana, kemudian mulai membentuk imajinasi tentang sebuah dunia yang hidup dan tentang seseorang, Manik dan Nirluka akhirnya mampu menggabungkan imajinasi dan keahlian mereka berdua untuk menyelesaikan satu halaman naskah di siang itu.
Naskah di halaman kedua mulai menampilkan narasi yang berbeda, Manik dan Nirluka terjebak di dalam kengerian yang mereka ciptakan sendiri. Sesekali, mereka berhenti saling memandang, seolah mereka tidak tahu perihal apa yang mereka sendiri tengah lakukan. Di tengah keramaian lorong sekolah, suasana menimbulkan ketegangan, di dalam pikiran mereka, hanyalah cara untuk menyelesaikan naskah. Tanpa mereka duga, Manik dan Nirluka telah menyelesaikan halaman kedua.