KAKIKU langsung bersentuhan dengan salju begitu aku sampai di tepian. Pandanganku mengarah ke depan. Terpaku dengan hutan bersalju yang mana pepohonannya berdempetan sehingga salju yang ada di atasnya seolah dibiarkan bertumpuk, ditopang oleh dahan dan ranting yang kokoh.
Mataku kemudian mengarah ke bagian dalam hutan. Ada jalan setapak yang di apit oleh pepohonan di kiri-kanan sana, persis seperti pintu atau gerbang yang dibiarkan terbuka sehingga menampilkan lorong gelap yang menganga dengan bagian atas yang tertutup salju.
Aku menghela napasku, bersiap. Uap hangat pun keluar begitu saja. Aku lantas memperkuat pita biru yang mengikat rambut panjang satu setengah meterku, dan menggulung serta mengikat rok lebarku di pinggang sampai rok ini menunjukkan dalamanku yang berupa celana panjang mengembang merah muda. Barulah setelah itu, aku pun berjalan ke dalam hutan dengan pasti dan waspada.
Kegelapan hutan menyergapku dengan perlahan seiring aku masuk ke dalam. Aku menatap jalanan bersalju dalam keremangan ketika kuyakin jejak kaki Lana tertinggal di antara lorong pepohonan yang saat ini kulewati.
Mataku memicing ketika kegelapan mulai berubah pekat. Jejak kaki Lana yang kulihat juga tampak kabur karena gelap yang ada di sekelilingku.
Instingku saat itu juga menyuruhku untuk mengeluarkan anak panah dari tas, dan aku pun melakukannya. Mengeluarkan satu anak panah dan kemudian memasangnya ke busur dengan telunjukku. Selain kegelapan hutan yang dingin, rasa waspada yang kian membeludak juga semakin menyergapku. Memberiku perintah untuk hati-hati.
Hutan ini terlalu gelap untuk kulalui sendirian. Selain itu, salju yang ada di atas pohon juga bisa jatuh dan menimpaku setiap waktu.
Tiba-tiba, suara Lana terdengar. Suara ang-ang-ang yang entah kenapa terdengar menyebalkan di telingaku. Aku mengeluh sambil mendecak. Masih teringat bagaimana rubah merah itu dengan tidak tahu dirinya malah masuk ke dalam sini begitu aku menyuruhnya untuk kembali. Terus dipikirkan, malah membuatku jadi tambah sebal.
Aku menatap ke depan, dan langsung berlari kecil. Aku tidak bisa memanggil Lana karena takut salju yang ada di atasku berjatuhan karena gema suaraku. Selain itu, larian kecil yang kulakukan juga berguna agar urusan ini bisa segera selesai.
Setelah dirasa yakin, aku pun mempercepat larianku sampai aku menemukan cahaya di ujung jalan.
Cahaya itu bersuara lagi. Suara Lana.
Aku mempercepat laju kakiku dengan susah payah. Beruntungnya, semakin aku dekat dengan suara Lana, salju yang kupijak semakin menipis.
Aku langsung saja membuka gulungan rok dan membiarkan rok panjang mengembang ini bergerak leluasa seirama dengan langkah kakiku yang cepat nan panjang.
Secercah cahaya menyambutku, dan aku pun berhenti.
Aku mematung sebentar. Kulihat di depanku, sebuah air terjun membeku dengan pohon-pohon pinus yang ada di sekelilingnya. Ada beberapa jaring laba-laba yang menggantung di pohon-pohon itu. Lengkap dengan tetesan air beku yang tampak seperti kristal kebiruan yang berkilau.
Aku menatap agak lama kristal es yang menggantung di jaring laba-laba itu, sampai aku menemukan Lana di sebelah kanan air terjun. Di balik pohon pinus tertutup salju yang juga diselimuti jaring laba-laba sebesar tikar.
Lana ada di sana, berdiri di atas kolam air terjun beku. Sedang memakan beri yang bertumpukan.
Seseorang memberinya makan, itu terbukti ketika aku melihat seorang wanita berbaju merah dengan rambut hitam yang dicepol dua, sedang asyik menatap Lana dengan tersenyum lebar sambil berdiri di balik batu besar yang tertutup salju.
Aku mendekat, wanita itu seketika menatapku. Mengetahui kedatanganku.
"Oh, hai." Dia menyapaku dan mendekatiku.
Aku terkesiap saat dia mendekatiku.
Tubuhnya ....
Setengah laba-laba.