Suara detak jantung pasien dari monitor begitu menggema nyaring di ruangan serba putih dengan pencahayaan yang cukup. Para pekerja menggunakan pakaian serba hijau tua, termasuk Zilla. Gadis cantik berusia 24 tahun tersebut berprofesi sebagai perawat di ruang operasi. Kesehariannya disibukkan dengan berbagai macam operasi karena membantu beberapa dokter yang bertugas, walaupun se-sekali saja. Dalam bekerja Zilla jarang sekali melakukan kesalahan yang fatal. Ia begitu teliti dalam setiap pekerjaannya. Bahkan beberapa dokter hanya ingin melakukan tindakan operasi jika Zilla yang membantu.
Zilla atau Fazilla Humaira dijuluki si pemilik mata indah oleh beberapa orang. Bukan tanpa alasan, hal tersebut karena memang Zilla memiliki mata yang indah dan ketika tersenyum akan berbinar bak cahaya. Zilla merupakan anak yang ekstrovert. Ia memiliki banyak teman dan sangat cepat akrab dengan seseorang.
Dibalik sifat periangnya, Zilla memiliki luka yang tak banyak orang ketahui. Bukan ingin menjadi sosok yang misterius, namun beberapa kali Zilla memilih cerita dengan orang yang ia percaya justru berakhir dengan kecewa. Beberapa orang yang ia percaya justru menyakiti kembali perasaannya. Berniat sembuh namun justru kecewa lagi karena perlakuan tersebut.
Zilla merupakan anak tunggal dari Kyai Abdurahman, pemilik pondok pesantren di daerah Purwakarta. Sejak kepergian ibunya 2 tahun lalu, Zilla memilih keluar dari pondok pesantren dengan alasan tak ingin dijodohkan oleh Gus Farid. Ya walaupun benar adanya namun Zilla memiliki alasan lainnya.
Dirinya yang menjadi seorang perawat sempat menjadi perdebatan dengan ayahnya. Seperti diketahui Zilla merupakan anak pertama dari seorang Kyai. Abdurahman memang tak ingin Zilla menjadi perawat karena itu berarti ia akan sering bertemu dengan lawan jenis dan tentu tak bisa menghindari hal tersebut. Terlebih Zilla bekerja disalah satu rumah sakit swasta dan tidak ada unsur islami. Namun kepandaian Zilla merayu sang ayah membuat perdebatan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Zilla mengatakan bahwa sisi baik menjadi perawat adalah bisa merawat banyak orang, membantu sesama dan tentu sangat berperan bagi kesehatan.
***
Malam ini Zilla pulang seperti biasa. Zilla mengendarai sepeda motor miliknya menuju kost yang ia tempati. Sesampainya pada kost tersebut Zilla segera membersihkan dirinya. Lama dengan aktivitasnya dikamar mandi akhirnya ia keluar setelah 30 menit. Diduduki nya kursi meja rias di dalam kamarnya kemudian ia sibuk mengoleskan beberapa cairan dan krim pada wajahnya untuk merawat kulitnya.
Kini tangannya aktif berselancar pada akun media social miliknya, namun terhenti karena ia mengingat bahwa dirinya belum mengirimkan laporan pekerjaannya pada PIC di ruang operasi. Pria tampan yang sejak dahulu ia kagumi karena kharismanya dan juga kemahirannya di ruang operasi. Ia pula satu-satu nya orang yang Zilla benci sekalipun sayangi, namun sayangnya cinta nya harus bertepuk sebelah tangan karena pria tersebut akan menjadi calon suami dari pemilik tempat Zilla bekerja.
Dalam pesan nya pada dr. Faqih yang Zilla kirim melalui whatsapp berisikan laporan kerja hari ini di ruang operasi, konfirmasi jadwal ruang operasi yang akan terpakai dan jadwal operasi untuk dr. Faqih. Pesan yang Zilla kirim dengan panjang kali lebar itu hanya dibalas dengan “ok” oleh lawan bicaranya. Seakan biasa dengan hal itu Zilla tak pernah mengambil hati perlakuan PIC nya itu. Jika memiliki hak untuk marah pada laki-laki itu, Zilla akan melakukannya. Namun siapa lah Zilla? Hanya pengagum rahasia dan juga hanya seorang bawahan, ia juga cukup sadar diri apalagi jika harus bersaing g dengan Faradina, anak dari pemilik rumah sakit tempat Zilla bekerja dan tentu calon istri dari dr. Faqih.
***
Hari ini Zilla dinas sore. Biasanya dinas sore akan dimulai pukul 14:00 sampai dengan 22:00. Di ruang operasi memang tidak ada shift malam, selain karena dokter yang bertugas pun akan meminta jadwalnya sebelum jam 21:00 harus selesai. Hal lainnya tentu perihal fokus tenaga medis yang menurun sehingga akan beresiko membahayakan pasien. Namun jika dalam keadaan darurat para perawat dan dokter harus siap menerima telpon di jam berapapun itu. Begitulah pekerjaan yang sehari-hari Zilla lewati.
Pagi ini ia mendapatkan pesan yang cukup menohok. Pengirimnya dr. Faqih, laki-laki berusia 29 tahun tersebut mengirimkan pesan agar Zilla secepatnya menyerahkan surat pengunduran diri karena kelalaiannya dalam bekerja. Zilla yang belum tau akar masalah tersebut memilih mencari tahu lebih dahulu sebelum emosinya berada pada batas yang tak wajar.
Seorang pasien yang sudah terjadwal dengan diagnosa apendisitis atau usus buntu (+) atau meninggal dunia sebelum dilakukannya tindakan operasi. Hal tersebut terjadi karena seorang dokter menggunakan ruang operasi itu tanpa terjadwal sebelumnya, padahal Zilla selalu membiarkan satu ruang operasi kosong untuk digunakan dalam keadaan darurat. Namun dari info yang ia dapati bahwa dokter tersebut menggunakan dua operasi sekaligus.
Zilla tentu tak tinggal diam, menurutnya ia tak salah dan akan menyelidiki kasus ini hingga ke akar-akarnya. Tentu bukan karena surat pengunduran dirinya pada bangsal ini saja namun Zilla mengerti jika masalah ini akan dibawa ke management oleh dr. Faqih. Sehingga sebelum kasus ini dimintai keterangan, Zilla akan mengumpulkan bukti-bukti yang ada.
Pagi hari yang harusnya Zilla biarkan untuk beristirahat untuk bersiap dinas pukul 14:00 WIB, kini harus ia relakan untuk menyelidiki kasus yang merugikannya dan memaksa dirinya untuk bertanggungjawab. Zilla melakukan konfirmasi dengan salah satu temannya bernama Nafisah. Keduanya mengenal semenjak satu ruangan di ruang operasi.
“Naf, ko bisa dr. Faqih ngga pakai ruang operasinya kan udah gue siapin? Lagian kalau ada yang urgent kan ada yang kosong 1” tanya Zilla pada Nafisah
“dr. Erick nyerobot masuk Zill. Gua sama yang lagi pada ganti pakaian. Malah mba Sinta lagi operan pasien sama perawat rawat inap setelah dibantu gantiin baju khusus ruang operasi” jelas Nafisah
“Dimana dr. Erick nya?” tanya Zilla kembali
“Lorong depan kamar operasi kayanya” balas Nafisah
“Thanks ya, gue susulin kesana dulu!” terang Zilla
Ia berpamitan dengan Nafisah dan berjalan ke menuju lorong yang tadi diarahkan Nafisah. Dari kejauhan Zilla sudah melihat seorang laki-laki terduduk dengan punggung yang bersandar pada tembok disana, kakinya ia lipat dan wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Zilla berjalan untuk menghampiri laki-laki tersebut.
“Nih tisu!” ucap Zilla sambil memberikan tisu pada laki-laki tersebut
“Thanks!” balasnya
Zilla duduk disampingnya, kakinya ia luruskan sedangkan kedua tangannya ia lipat di dadanya. Menunggu lawan bicaranya selesai dengan permasalahan batin nya sendiri. Keduanya sama-sama diam, sesekali Zilla melihat jam tangannya. Bagi Zilla menunggu memang membuang waktu, tapi ya sudah mau bagaimana lagi ia mengerti posisi lawan bicara sedang dalam keadaan yang tidak baik.
“Orang tua saya kecelakaan Zill!” terang lawan bicara nya seperti mengerti mengapa Zilla menunggu nya
Zilla diam dan membiarkan lawan bicara nya itu menjelaskan masalah tersebut tanpa memotongnya. Walaupun Zilla memang ingin sekali bicara saat ini.
“Kecelakaan dengan luka cukup parah dan harus segera ditangani. Saya memang salah dan gegabah Zill. Saya egois dengan memilih menyelamatkan orang tua saya dan membiarkan nyawa pasien lain. Saya siap Zill jika harus dihukum dan dicabut izinnya.” jelas dr. Erick
“Dokter bisa pasrah, terus bagaimana nasib saya dan dr. Faqih? Bagaimana kehidupan saya setelah ini? Apa dokter pernah berpikir seperti itu?” tanya Zilla
Erick menggeleng lemah. Ia baru terpikirkan bagaimana dengan nasib temannya? Bagaimana dengan perasaannya? Bagaimana dengan efek samping yang didapati?
Erick lalu menjelaskan kronologi kejadian yang ada. Bermula dari orang tua nya yang mengalami kecelakaan dan di larikan ke RSP (Rumah Sakit Panorama) Jakarta. Kondisi kedua orang tuanya cukup parah sehingga memerlukan tindakan operasi darurat. Perawat yang bertugas saat itu mengizinkan pasien masuk karena ia pikir Erick hanya akan menggunakan satu ruang operasi darurat yang kosong. Nyata nya tanpa izin kembali, ruang operasi yang akan digunakan oleh dr. Faqih ia pakai begitu saja demi ego nya.
Saat itu dr. Faqih datang dan akan melakukan tindakan operasi namun ia melihat dr. Erick sedang berada disana dengan hecting set steril yang sudah ia gunakan. Tangannya juga fasih menjahit bagian tubuh yang sempat ia bedah sebelumnya agar kembali menyatu. Sedangkan posisi pasien dari dr. Faqih sudah berada di ruang perantara sebelum masuk kedalam ruang operasi. Saat ruangan sudah kembali dirapikan, pasien dr. Faqih akan segera dimasukan kedalam ruang operasi tersebut namun tuhan berkehendak lain. Pasien plus (+) atau pasien meninggal sebelum dilakukannya tindakan operasi. Itulah mengapa Zilla diminta untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya dari bangsal yang dr. Faqih pimpin.
***
Zilla kini sedang berada di kantin bersama oleh Dena dan Faradina. Ia sedang menceritakan kronologi yang ia ketahui. Dena mengatakan bahwa dirinya tak salah sedangkan Fara hanya diam sambil menyusup kopi kedalam mulutnya. Dena memberikan kode pada Zilla untuk meminta Faradina membantunya dalam hal ini. Selain Faradina adalah pewaris dari rumah sakit tempat Zilla bekerja. Fardina juga merupakan calon istri dari Faqih.
“Ra..” ucap Zilla ragu
“Ada syaratnya” balas Faradina yang sudah mengetahui tujuan Zilla memanggil namanya
“Gue belum ngomong!” kata Zilla pada Faradina
“Lo minta tolong sama gue supaya ngga dipindahkan dari bangsal dr. Faqih kan Zill?” tanya Faradina yang tentunya tepat
“Yaudah syaratnya apa?” tanya Zilla
“Nah ini baru gue suka, kerjasama!” balas Faradina
“Yaudah apa Din?” tanya Zilla
“Temuin gue sama Gus Faqih ya” pinta Faradina dengan wajah nya yang berbinar
“HAHAHAHAHA LO MAU KETEMU GUS GADUNGAN?” tanya Zilla dengan tawa nya yang pecah
“Mau atau engga?” tawar Faradina
“MAUU DINA LO MAH BAPERAN!” terang Zilla
“Lo teriak sekali lagi gue tampol lo ya!” terang Faradina
Tawa ketiga wanita itu pecah. Setelahnya mereka bubar dan kembali ke ruangan masing-masing. Faradina bergegas menemui Faqih agar pertemuanya dengan Farid dapat terjadi.
***
Kini Zilla, Faqih dan Erick kini berada di ruangan yang sering disebut ruangan panas. Ruangan itu merupakan ruang rapat para manajemen rumah sakit. Ketiga nya dipanggil tentu karena kasus pada ruang operasi. Pihak keluarga memang tidak menuntut karena selain mereka percaya ini takdir tuhan, keluarga justru berterima kasih karena anaknya meninggal tanpa bekas jahitan sama sekali. Namun tetap saja kasus ini akan dibawa ke pihak manajemen sebagai upaya perbaikan dan sanksi atas kelalaian pekerja.
“Bagaimana kronologi kejadian ini bisa terjadi?” tanya Prambudi, pemilik rumah sakit
“Izin menjelaskan dok!” ujar Faqih lebih dahulu
Faqih Ardavi atau akrab disapa Faqih itu merupakan dokter spesialis bedah. Mengawali karirnya di Puskesmas Desa, Faqih memilih keluar dan mencari kembali pekerjaan yang tentunya akan mendapatkan pendapatan lebih dan ilmu yang lebih karena akan lebih banyak jenis diagnosa yang dapat ia serap ilmunya.
Memulai karirnya di bangsal IGD, Faqih tentu memiliki jam dinas tidak seperti di Puskesmas yang sedari pagi hingga siang saja lalu minggunya akan libur. Sedangkan di IGD ia tak memiliki hari libur yang menentu, ia tak memiliki jadwal kerja seperti dulu. Terkadang ia bisa dinas pagi, bisa dinas siang, atau dinas malam. Kapanpun itu ia harus siap!
Faqih tengah menceritakan kronologi yang terjadi kala dirinya berada di ruang operasi. Ia menegaskan bahwa ini kelalaian ia dan tim sehingga ia meminta maaf karena telah membuat kegaduhan. Zilla yang berada tepat disampingnya sempat tercengang karena penuturan Faqih karena ia tau jika Faqih sangat kecewa. Namun dibalik rasa kecewanya, Faqih tetap laki-laki yang penuh tanggung jawab.
“Sebenarnya bukan salah tim ruang operasi dok! Saya lah yang salah karena telah sengaja melakukan tindakan tersebut tanpa konfirmasi. Saya yang pantas dihukum dok!” terang Erick menyelak pembicaraan Faqih
“Ngga dok ini kesalahan kami bertiga!” ujar Faqih
“Ngga dok, saya yang pantas di hukum” potong Erick kembali
“Sudah-sudah ko kalian jadi ribut?” ujar Prambudi
Hening kembali menyelimuti ruangan tersebut. Bahkan Zilla yang notabennya bawel saja memilih diam saja. Prambudi juga terlihat sudah menarik nafas panjangnya lalu ia terdiam. Mungkin sedang memikirkan perkataan yang akan ia keluarkan. Prambudi memilih berdiri dan berjalan ke dekat Faqih dengan tangan yang ia lipat pada dada bidangnya.
“Qih! Kalian minta maaf ke keluarganya ya! Datang sebagai seseorang yang bertanggung jawab dan saya sudah memikirkan sanksi untuk kalian bertiga” terang Prambudi
“Pertama untuk dr. Erick! Saya meminta anda untuk mengabdi ke daerah ujung timur Indonesia untuk selama satu tahun dan dr. Faqih bersama Zilla kalian akan mengabdi ke ujung timur pulau Jawa.” Terang Prambudi
“Dok! Saya ngga bisa bareng Zilla aja?” tanya dr. Erick
“Kamu itu sudah berulah jadi jangan macam-macam ya dr. Erick” terang Prambudi
“Baik dok!” balas Erick tertunduk
Prambudi keluar dari ruangan rapat terlebih dahulu, disusul oleh Zilla yang memilih pamit lebih dahulu untuk bersiap menuju rumah duka pasien. Sedangkan Faqih dan Erick masih berada didalam sana sambil menunggu Zilla siap.
Ketiganya kini sedang berada di mobil dinas RSPJ atau Rumah Sakit Panorama Jakarta menuju rumah keluarga pasien di kawasan Jakarta Pusat. Zilla duduk didepan disamping supir RSPJ dan kedua dokter bedah itu berada di belakang sambil asik mengobrol tanpa merasa bersalah, padahal jantung Zilla sudah berdegup kencang karena akan menghadapi keluarga pasien.
Kemacetan ibu kota membuat mereka sampai terlambat dari perkiraan datang pada pukul 16:00 WIB sore. Namun ketiganya tiba pada pukul 17:00 WIB. Ketiganya masuk kedalam rumah duka yang berisi banyak sekali orang. Mungkin tetangga, kerabat, dan sanak keluarga pasien ikut turut berduka sehingga rumah duka terasa begitu padat. Ketiganya berjalan menuju keluarga pasien atau wali yang ditunjuk untuk berdiskusi bersama ketiga orang tersebut.
Pemilik rumah mempersilakan duduk diteras rumah yang tak terlalu ramai. Zilla menarik nafasnya panjang dan setelahnya ia membuka percakapan lebih dahulu sebelum kedua laki-laki yang turut ikut bersamanya.
"Sebelumnya saya mewakili RSPJ, rekan-rekan sejawat dan khususnya saya pribadi dengan tulus memohon maaf atas kelalaian yang dilakukan kepada putri bapak. Kami pun turut berduka cita pak atas meninggalnya putri bapak, Nn. Arinda" ujar Zilla
"Saya yang memohon maaf karena emosi tadi di rumah sakit marah-marah padahal ini sudah takdir. Saya harus nya berterima kasih karena tidak jadi di operasi tubuh anak saya bersih tanpa luka dan jahitan" terang ayah dari pasien tersebut
"Bapak tidak perlu meminta maaf, seharusnya kami yang meminta maaf karena kelalaian tim...." ucapan Faqih terjeda
"Engga dok, tidak apa-apa! Saya meminta maaf karena saya pasti dokter dan suster jadi kena hukuman" balasnya
Ketiganya kini sudah kembali dalam perjalanan untuk diantar pulang secara bergantian. Mereka diberikan waktu selama satu minggu untuk beristirahat. Keperluan seputar perlengkapan mereka dinas sudah disiapkan. Ketiganya diminta untuk menyiapkan barang bawaan pribadi dan kesiapan mental. Erick memilih kembali ke rumah sakit karena kedua orang tuanya berada disana, Faqih memilih beristirahat di apartemennya dan Zilla memilih kembali ke Purwakarta untuk bertemu ayahnya.
***
“Assalamualaikum ayah...” salam Zilla memasuki rumah
“Waalaikumsalam” balas Abdurahman
“Ayah, Zilla pulang!!” terang Zilla pada sang ayah, Abdurahman
“Iya sini anak ayah yang manja” balas Abdurahman dengan tangan yang ia rentangkan agar Zilla masuk kedalamnya
“Ayah, Zilla kangen” ujar Zilla di dalam dekapan sang ayah. Zilla memang sangat manja dengan ayahnya, bagaimana tidak. Orang tua nya saat ini hanyalah sang ayah. Seperti diketahui ibundanya meninggalkan karena suatu kejadian sehingga membuat Zilla jarang pulang ke Pondok Pesantren.
“Bohong ah, pasti ada sesuatu ya sampe Zilla kesini?” tebak Abdurahman yang memang mengetahui sifat putihnya
“Ayah so tau ih” terang Zilla
“Ayo ngaku!” pinta Abdurahman pada anaknya
“Zilla akan ditugaskan ke luar daerah yah sama dr. Prambudi karena kelalaian Zilla di dalam ruang operasi” terangnya pada sang ayah
“Ayah bangga sama anak ayah karena mau bertanggung jawab dan langsung jujur pada ayah. Nak dengar ya! Semua kesalahan yang kamu lakukan ada konsekuensinya dan ayah yakin anak ayah akan bertanggung jawab. Do’a ayah akan menyertai Zilla selalu” terang Abdurahman dengan tangan yang membelai kepala Zilla yang masih betah berada dalam dekapan ayahnya. Seakan lupa pada umurnya yang sudah dewasa ia tetap menempel bak cicak pada dinding, hanya saja ini pada ayahnya sendiri.
Tak berselang lama Farid datang untuk mengajak Abdurahman mengisi salah satu kajian di Jakarta. Kyai Abdurahman mendapatkan undangan di daerah Sunter untuk mengisi kajian. Zilla memanfaatkan waktu untuk kembali ikut setelah mendapatkan restu sang ayah.
“Assalamu’alaikum” ujar Farid memasuki rumah kyai Abdurahman
“Wa’alaikumsalam” balas Abdurahman
"Faridddddddd........ridddd..............." teriak Zilla dari dalam kamarnya
"Astagfirullah bu toyib ada di rumah!" ledek Farid pada Zilla
"Kurang ajar!" balas Zilla dengan kesal
"Zil, bahasa mu itu ya banyak sekali berubah!" balas Farid
"Depan ayah bisa ya lo pencitraan kaya gini?" kesal Zilla pada Farid
“Mana ada pencitraan, ayah lo aja pasti tau kelakuan lo!” terang Farid pada Zilla yang tentu didengar oleh Abdurahman namun ia hanya tertawa saja
Zilla ikut dalam acara tersebut, ia pun tak lupa menghubungi Faradina untuk janjian dengannya dan mengenalkan Fara pada Farid. Fara tentu dengan sigap bersiap menuju venue setelah mendapatkan kabar dari Zilla. Faradina memang sudah lama mendambakan seorang Farid. Namun sayang ayahnya lebih memilih untuk menjodohkannya dengan Faqih.
Zilla menepati janjinya untuk mempertemukan Fara dan Farid. Keduanya banyak berbicara dan ngobrol sedangkan Zilla memilih menghampiri ayahnya. Fara dan Farid memang ngobrol berdua namun di sekitar nya banyak sekali orang terdekat dan tim Farid. Farid dengan sadar memilih menghindari fitnah. Obrolannya harus usai karena dering handphone milik Fara membuatnya harus pamit lebih dahulu.
Faradina, anak tunggal dari Prambudi itu merupakan dokter umum yang berjaga pada bangsal IGD. Dirinya akan menjadi penerus RSP sehingga ia dijodohkan oleh Faqih karena Faqih merupakan dokter yang memiliki dedikasi yang tinggi dan juga usia nya paling pas jika dinikahkan dengan Faradina.
Faradina pamit setelah mengangkat panggilan dari sang ayah, Prambudi. Hari ini ia akan melakukan pertemuan keluarga antara keluarganya dan keluarga Faqih. Faradina kembali mengemudikan kendaraan roda empatnya menuju restoran yang ditentukan. Setibanya disana, Prambudi sudah menunggu Faradina.
“Yah maaf ya Fara telat” ujar Fara pada Prambudi
“Lho gus Farid?” kaget Faradina yang baru akan menyalami tangan Fariq dan Farida, ayah dan ibu sambung Faqih.
Farid membalas dengan senyum sedangkan Faqih melihatnya merasa jengah.
“Lho kamu ngga tau Din kalau dr. Faqih dan gus Farid kaka beradik?” tanya Prambudi
Mata Faradina membelangak, ia harus di kagetkan dengan kenyataan yang baru ia ketahui.
“Kalu gini si gue milih gus Farid aja boleh ngga si?” moolog Faradina
“Yaudah mari kita mulai pembahasan tentang pertunangan Faqih dan Faradina” kalimat Fariq memecahkan suasana canggung Faradina dan Farid disana
Obrolan tampak asik bagi Prambudi dan Fariq, namun tak bagi keempat orang yang ikut berada disana. Faqih yang sudah mulai bosan. Farida yang asik berswafoto dengan bantuan pelayan yang ada di resto tersebut. Faradina dan Farid yang merasa canggung.
“Rid nanti ajak Zilla kesini ya! Umi mau ajak Zilla foto-foto” ujar Farida saat selesai berswafoto dan menghampiri Farid yang masih merasa canggung dengan Faradina.
“Iya Umi” balas Farid dengan senyuman
“Farid kenal Zilla?” monolog Faqih yang tak sengaja mendengar ucapan Farida pada Farid
***