“Sungguh menyakitkan ketika kamu memiliki seseorang di hatimu
Tetapi kamu tidak memiliki mereka
Dalam pelukanmu.
-Anonim-
Abhi masih berjongkok di hadapan sang bunda yang duduk di kursi. Ia merasakan usapan hangat dari tangan sang bunda di kepalanya.
"Abhi tahu kenapa bunda bilang kalau Abhi bakal menyesal memutuskan hubungan dengan Nara dulu?" tanya sang bunda kemudian setelah derai air mata tadi sudah mampu diredamnya.
Abhi menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu jawaban atas pertanyaan sang bunda. Ia mencoba untuk menebak-nebak jawaban yang tepat untuk pertanyaan sang bunda. Namun, ia tak menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
"Ap...apa karena Sakha?" tanya Abhi kemudian.
"Bukan, bukan hanya karena Sakha. Mungkin keberadaan Sakha salah satunya. Tapi, alasan sebenarnya karena bunda tahu bahwa Nara adalah gadis yang baik, dia cocok untuk mendampingi Abhi...," Jelas Sang Bunda.
Abhi hanya diam mendengarkan, tak menanggapi sedikitpun ucapan sang bunda.
"Abhi sudah lama bersahabat dengan Nara bukan? Harusnya Abhi tahu bagaimana Nara yang sebenarnya. Dia gadis yang mandiri, di usia yang masih kecil harus kehilangan sang Mama. Namun, hal itu tak pernah menyurutkan semangatnya bukan? Baginya Mamanya selalu ada di hatinya meski raganya tak lagi menemaninya. Ia tak mau menangis karena ia tahu bahwa air matanya barangkali dapat memberatkan sang mama di kuburnya. Karena itu dia belajar untuk ikhlas dan rela melepaskan kepergian sang mama. Terlebih, ia juga harus memikirkan sang papa bukan? Jika ia sedih maka papanya juga akan bersedih....," Jelas sang Bunda.
Abhi pun mengingat masa lalu itu. Ia tahu Nara adalah gadis yang kuat, ia sangat tegar menghadapi segala kesulitan dalam hidupnya. Namun, sepanjang kenal Nara ia memang tak pernah mendengar gadis itu mengeluh.
Nara tak pernah mengeluh ketika Abhi menurunkan gadis itu di tengah jalan ketika ia harus menemui Zoya yang memintanya untuk mengantarnya ke mall, atau untuk sekedar mengantarnya ke tempat yang ia inginkan. Nara bahkan tak mengeluh juga karena ia harus menunggu Abhi seharian di kampus, karena Abhi lupa mengabari kalau dirinya telah pulang terlebih dahulu dengan Zoya.
Sungguh, keduanya memang bertolak belakang. Nara adalah gadis tegar yang tak pernah mengeluh sementara Zoya seringkali mengeluhkan hal-hal kecil. Pernah suatu ketika Abhi terlambat untuk menjemput gadis itu, dan Zoya sudah mengeluh kelelahan menunggunya. Padahal, Abhi hanya terlambat lima menit saja, tapi menurut gadis itu terlalu lama dan dia lelah menunggu.
Karenanya, gadis itu pulang terlebih dahulu dengan temannya, sementara Abhi yang sampai di lokasi hanya bisa menjemput angin kosong. Sia-sia saja dirinya ngebut, namun gadis yang hendak di temuinya itu malah sirnah, menghilang hanya dengan penjelasan singkat, kamu terlalu lama jadi aku bareng temenku, ujar Zoya kala itu.
"Sejak kecil Nara sudah belajar tentang keikhlasan itu Bhi. Dia belajar bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan keinginannya. Karena itu, ketika dia memutuskanmu secara sepihak dia menerimanya dengan lapang meski rasanya memang menyakitkan...," Ujar sang mama.
"Nara menemui Bunda setelah putus dengan Abhi?" tanya Abhi kemudian.
Sang Bunda pun menganggukkan kepalanya. Nara memang masih menemuinya, menemaninya menghabiskan hari-hari. Gadis itu masih bersikap seperti biasanya, walau Abhi menorehkan luka yang teramat menyakitkan. Terkadang, ada rasa tidak rela Nara disakiti demikian rupa oleh putranya sendiri.
Walau bukan lahir dari rahimnya, Rania telah menganggap Nara sebagai putrinya sendiri. Sejak Lita sahabatnya menitipkannya padanya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, rasa sayang terhadap Nara sudah tumbuh. Karenanya ketika gadis itu tersakiti, ada bagian dari diri Rania yang juga ikut merasakan sakit.
"Nara selalu mengunjungi Bunda Bhi, bahkan setelah hubungan kalian berakhir. Tapi, kamu tidak pernah tahu karena dia selalu datang ketika kamu pergi. Pernah Bunda bertanya kepadanya kenapa harus menghindar darimu? Dan kamu tahu apa jawabnya?"
Abhi menggelengjan kepalanya mendengar pertanyaan retoris sang Bunda.
"Dia bilang takut goyah...," ucap sang bunda dengan terkekeh. Kali ini Abhi pun tertulari, ia juga tersenyum simpul mendengar penuturan sang bunda.
"Bunda bilang bahwa nggak apa-apa kalau goyah. Bukankah Nara hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk bisa meluluhkan hati Abhi? Bunda bilang seperti itu pada Nara tapi ia hanya menggelengkan kepalanya," sang bunda menjeda sejenak ceritanya, ia sampai pada bagian dimana dirinya sendiri cukup merasa sesak mendengar penuturan gadis yang usianya masih belia kala itu. Ia mencoba mengingat kejadian saat itu dan menceritakan pada putranya.
Flashback On
"Abhi suka banget main basket Bun, tapi Nara malah nggak jago. Tiap ngelempar bola selalu aja banyak yang nggak masuk ring. Padahal Nara sudah berusaha sekuat tenaga agar bisa ngalahin Abhi suatu hari nanti loh Bun, tapi ternyata Nara benar-benar payah....," Ujar Nara.
"Mungkin hanya belum saat nya bagi Nara untuk berhasil ngalahin Abhi. Nara harus berlatih lebih giat lagi. Begitu pula dengan perasaan Nara, Nara hanya perlu menunjukkannya sesering mungkin pada Abhi, dengan begitu bisa saja Abhi luluh dengan rasa yang Nara suguhkan untukknya..," Ujar Rania.
Nara menggelengkan kepalanya.
"Mungkin, Nara memang nggak bisa Bun. Sama seperti bermain basket tadi, dimana tidak semua bola yang Nara lempar bisa masuk ke dalam ring. Begitu pula dengan perasaan Nara ke Abhi, Bun. Nara sadar bahwa tidak semua perasaan mendapatkan balasan. Nara sadar bahwa mungkin ini saatnya bagi Nara untuk merelakan. Mengikhlaskan perasaan Nara, untuk dimiliki seorang diri, tidak tersentuh ataupun di balas oleh Abhi. Karena itu, Bun seperti Nara yang ikhlas melepaskan Abhi, bunda juga harus begitu ...," Ujar Nara.
"Jad...jadi Nara tetap akan memilih untuk pergi?" tanya Rania.
Nara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Rania. Ia berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar bergetar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang Rania ajukan.
"Mungkin, inilah jalan terbaik bagi Nara dan juga Abhi, Bun. Nara janji, akan jaga cucu bunda dengan baik. Nara akan sering telpon bunda, jadi bunda nggak kesepian meski Nara nggak menemani bunda disini...," Jelas Nara.
"Nara yakin akan baik-baik saja?" tanya Rania.
"Tentu, bunda nggak perlu khawatir...," ucap Nara dengan tegar.
"Tapi, hamil itu tidak mudah sayang. Terlebih saat kamu melahirkan nanti, kamu hanya seorang diri di negeri asing itu...," ucap Rania.
"Nara akan baik-baik saja Bunda. Dan Nara nggak akan pernah ingkar janji. Cucu bunda akan Nara rawat dengan baik....," Jelas Nara.
"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusan kamu...," Ucap Rania.
"Makasih Bunda....," ucap Nara sembari memeluk Rania.
Rania pun menganggukkan kepalanya. Meski berat melepas putri sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu, ia memang dengan berat hati harus berusaha merelakan anak itu pergi sesuai dengan keinginannya.
Rania pun tak punya alasan untuk melarang Nara pergi. Karena Rania cukup tahu alasan kenapa gadis itu memilih untuk pergi. Ya, semua itu karena putranya. Putra semata wayangnya yang telah menyakiti hati gadis itu dan membuat gadis itu harus memilih hidup dalam pengasingan hingga cucunya lahir nanti.
Flashback Off
๐ฎ๐ฎ๐ฎ
lanjutt....
Comment on chapter 8 II Selangkah Lebih Dekat