"Halo, saya Haruki, ketua Komite Penyelamatan Penyu dari Universitas Meio," pelanggan itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan. “Sebelumnya saya meminta izin kepada barista Arlend untuk menunggu Anda.”
Yuki berdiri dan menjabat tangan Haruki. "Senang bertemu dengan Anda, Haruki. Saya Yuki, manajer di sini. Ada yang bisa kami bantu?"
"Kami sedang mencari tempat untuk mengadakan pertemuan berikutnya," Haruki menjelaskan. "Nagisano Shizuka memiliki suasana yang hangat dan ramah. Kami pikir ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk diskusi kami."
Yuki tersenyum, senang dengan pujian itu. "Kami merasa terhormat menjadi tuan rumah pertemuan Anda.” Yuki kemudian teringat dengan kesempatan yang tidak dilepaskan oleh kakeknya saat memutuskan berlangganan koran harian kepada Hayato, sehingga, mengambil tawaran itu secara langsung. “Berapa banyak orang yang Anda harapkan bisa datang?"
"Sekitar dua puluh lima," jawab Haruki. “Kami akan bertemu di malam hari sembari mengawasi penetasan penyu di pantai terdekat. Mungkinkah itu bisa kami lakukan?”
Sebenarnya itu adalah hal yang Yuki sendiri tidak ketahui, karena kedainya hanya mampu beroperasi sampai jam 8 malam sejauh ini, sehingga, secara sepihak ia harus memutuskan untuk membuka shift 3 secara insidental.
"Tentu saja," kata Yuki memutuskan untuk melangkah maju. "Kami akan memastikan semuanya sudah diatur untuk Anda. Beri tahu kami tanggal dan waktunya."
"Terima kasih banyak," kata Haruki, tampak lega. “Kami akan segera mengirimkan detailnya.”
Saat Haruki pergi, Yuki merasakan tujuan baru. Dia melihat ke arah Estrella dan Hitome, yang sekarang tertawa bersama sambil memainkan mesin kopi. Yuki hanya bisa tersenyum, mengetahui bahwa kedai itu berada di tangan yang tepat dan di jalur yang benar untuk bisa berkembang.
Sementara itu, dia juga memikirkan kata-kata kakeknya, Benjiro, yang bergema di benaknya, “Kekuatan datang dari kepercayaan pada kemampuan tim yang kau buat sendiri, bahkan saat kau tidak berada di sana bersama mereka saat ini.”
Tidak sempat melamun lebih lama, Yuki memfokuskan dirinya untuk melihat perkembangan kedai yang tengah berlangsung di shift dua ini. Yuki memperhatikan bagaimana Hitome perlahan mendapatkan kepercayaan diri di bawah bimbingan Estrella, yang secara sabar, gadis dengan kemampuan komunikasi yang sangat baik itu menjelaskan setiap langkah dan menyemangati Hitome setiap kali dia melakukan sesuatu dengan benar.
Suasana kedai menjadi meriah dan mengundang pengunjung berdatangan kembali, sebuah bukti kerja keras dan dedikasi seluruh tim. Yuki berpikir, bahwa ia tidaklah harus terjun secara langsung di setiap shift karena peranannya adalah sebagai manajer, sehingga, pekerjaan seperti mengembangkan bisnis adalah pilihan lebih bijak daripada terus menggurui Arlend yang bahkan tidak perlu ia bimbing, ataupun Estrella yang kini bisa mengajari orang lain meski awalnya ia tidak mengerti apapun tentang kopi.
Saat shift dua berakhir, Yuki merasakan kepuasan yang mendalam. Kedai tersebut berjalan dengan lancar, dan timnya telah membuktikan diri mereka mampu dan dapat diandalkan.
“7.200 yen, apakah ini cukup baik?” tanya Hitome kepada Estrella, menunggu jawaban.
“Tentu saja, kamu memperlihatkan perkembangan yang sangat hebat di shift pertamamu, Hitome!” jawab Estrella, gadis itu nampak lebih ceria dari biasanya, membuat Hitome merasa lega. Yuki tahu bahwa ada yang salah, tidak mungkin Estrella yang semalam menangis sekuat ini sekarang.
Saat shift kedua berakhir dan kedai sudah dalam kondisi siap untuk ditutup, Hitome mengucapkan sampai jumpa, karena Estrella berencana membawa sepedanya ke bengkel terdekat bersama Yuki yang sebelumnya menawarkan untuk menemani. Setelah melihat Yuki selalu ada di saat ia kesulitan, Estrella dengan canggung tersipu malu dan Yuki mengetahui itu.
Mereka berdua berjalan beriringan sambil mendorong sepeda menuju bengkel terdekat, sekuter matik Yuki ditinggal di kedai dengan aman. Udara malam yang sejuk dan jalanan sepi membuat perjalanan mereka terasa nyaris seperti mimpi belaka.
"Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu, Estrella," Yuki memulai pembicaraan dengan lembut dengan matanya tetap fokus pada jalan di depannya. "Kamu tidak perlu menyembunyikannya."
Estrella menghela nafas, wajah cerianya memudar. "Aku tidak pandai berbohong, ya, itu adalah tentang adikku," akunya lembut. "Dia masih di rumah sakit, dan para dokter... mereka tidak yakin kapan dia akan bangun."
Yuki mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya terasa ikut merasakan sakit karena berempati. "Aku minta maaf, Estrella. Itu pasti sangat berat bagimu dan keluargamu."
Perempuan yang dikenal ceria itu mengangguk, kali ini matanya berkaca-kaca karena air mata yang tak kuasa ia tahan perlahan tertumpahkan. "Ini sulit, Yuki. Orang tuaku berusaha untuk tetap kuat, tapi aku bisa melihat betapa hal itu melemahkan mereka mereka juga. Aku juga mencoba untuk menjadi kuat, demi mereka, tapi... itu sulit bagiku."
Mereka berhenti sejenak untuk menenangkan diri, hingga kemudian melanjutkan langkah dan sampailah mereka di bengkel tujuan, Estrella menyerahkan sepedanya kepada mekanik. Menunggu untuk dikerjakan, Yuki mengajak Estrella berjalan-jalan ke pantai terdekat yang kebetulan berada di seberang tempat mereka kini, Estrella menyetujuinya dengan mengangguk.
Mereka berjalan-jalan di sepanjang pantai, melepas sepatu untuk merasakan sejuknya pasir di bawah kaki mereka. Malam ini begitu cerah, bintang betebaran dan berkelap-kelip terang di atas mereka berdua, suara deburan ombak menenangkan hati Estrella, membuatnya berhenti dan memejamkan mata sejenak untuk merasakan kedamaian di hatinya.
"Aku kadang-kadang merindukan Swedia," Estrella mengaku, suaranya nyaris berbisik. Ia menatap Yuki penuh perhatian, "tapi Okinawa sudah menjadi rumah juga untukku. Hanya saja... terkadang aku merasa sangat sendirian, bahkan dikelilingi oleh banyak orang."
Yuki memasukkan tangannya ke dalam saku, tiupan angin membuat rambut panjang sebahunya tersapu menutupi matan sesekali. "Kamu tidak sendirian, Estrella. Kami di sini untukmu. Aku melihat bagaimana kesendirian juga hinggap di diriku sebelum kamu datang sebagai anggota pertama di tim kecil kita."
Estrella tersenyum lemah, begitu hangat, air mata akhirnya menitik kembali. "Terima kasih, Yuki. Itu sangat berarti." Angin menerpa rambut urainya, pupil mata yang berwarna biru seperti bintang yang ada di atasnya.
Mereka berdiri dengan diam sejenak, suara lembut ombak memenuhi udara. Yuki merasa bahwa pantai Okinawa di malam ini adalah yang paling cantik dari biasanya. “Kamu sangat kuat, Estrella. Tidak apa-apa jika membiarkan diri sendiri menangis.”
Estrella menghela napas, dengan gemetar akhirnya dia membiarkan dirinya menangis dengan lebih keras. Yuki tetap di sisinya, tidak bergerak sama sekali, memilih untuk menemani kesedihan teman berharganya itu.
Setelah beberapa saat, Estrella menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam, mencba kuat. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu," katanya lembut. “Perjumpaan denganmu adalah hal yang aku syukuri.”
Yuki tersenyum hangat. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Kita adalah satu tim, ingat?”
Tanpa memberi peringatan, Estrella melangkah maju dan memeluk Yuki dengan erat. "Terima kasih, Yuki," bisiknya, suaranya dipenuhi rasa bersyukur. "Untuk semuanya."
Yuki membalas pelukannya, merasakan bahwa Okinawa tidak pernah sehangat ini sebelumnya. "Selalu, Estrella. Selamat datang di Okinawa, tempat kita bisa merasakan pulang."
Mereka tetap seperti itu selama beberapa waktu, Yuki merasakan kehampaan yang jauh di dalam dirinya, selalu membohongi diri ketika menemui cahaya. Dengan angin yang memeluk erat mereka berdua, sekali lagi, Yuki membohongi diri bahwa ia sedang tidak merasakan sesuatu, yakni, hal kecil yang lama hilang darinya kembali hadir.
Yuki dan Estrella berbagi momen yang menyentuh hati di pantai, menyoroti persahabatan mereka yang semakin dalam dan hangat. Estrella mengungkapkan perjuangannya menghadapi kondisi adiknya yang dirawat di rumah sakit serta tidak kunjung membaik, sementara Yuki meyakinkannya bahwa dia tidak sendirian. Konsep tentang rasa perlahan dipahami oleh Yuki, membuatnya merasakan plang ke rumah, di tempat bernama Okinawa.