Malam harinya, Yuki mengunjungi rumah sakit lokal milik pemerintah, membawa sekotak kecil Tofuyo, tahu fermentasi khas Okinawa yang menjadi favorit kakeknya. Lorong-lorong rumah sakit sepi dan hening, suasana yang kontras dengan gemuruh ombak yang biasanya menyertai harinya di Nagisano Shizuka.
Menghela nafas panjang, hingga akhirnya ia sampai di ruangan tujuan, Yuki melihat Benjiro Shizukesa, lelaki tua itu tampak sehat meski berbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya tenang, seolah menahan diri dari rasa sakit yang mungkin dirasakannya. Yuki tahu bahwa Benjiro tidak pandai berbohong, menghampirinya dan meletakkan Tofuyo di samping ranjang.
"Kakek, aku membawakan makanan favoritmu," kata Yuki sambil duduk di kursi dekat ranjang.
Benjiro tersenyum lemah. "Ah, Tofuyo, terima kasih, Yuki."
Mereka berbicara sebentar, Yuki menceritakan hari pertamanya sebagai pengelola baru di Nagisano Shizuka. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya, sesuatu yang diucapkan oleh Christopher di kedai tadi.
"Kakek," Yuki memulai dengan ragu. "Apa rahasia dari Nagisano Shizuka? Mengapa orang-orang mengatakan bahwa kedai itu bukan hanya tentang kopi, tetapi tentang rasa?"
Benjiro menatap Yuki dalam-dalam, seolah menimbang jawaban yang tepat. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara lembut, penuh makna. "Rahasia itu hanya akan terjawab di tanganmu, Yuki. Kedai kecil itu memiliki nyawa tersendiri, dan kau yang akan menemukannya."
Yuki mengerutkan kening, merasa bahwa jawaban kakeknya tidaklah membantu, masih penuh teka-teki. Namun, ia tidak punya pilihan selain mencari jawabannya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Benjiro, yakni melalui pengalaman pribadi di Nagisano Shizuka.
Setelah mengucapkan sampai jumpa, Yuki keluar dari rumah sakit. Langit malam Okinawa begitu cerah, jauh dari hiruk pikuk kota. Bintang-bintang bersinar terang, memberikan harapan dan inspirasi baru bagi Yuki. Ia menatap langit dengan penuh tekad, berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan rahasia kedai itu dan menjadikannya tempat di mana setiap orang merasa pulang. Mengehela nafas panjang.
Dengan langkah mantap, Yuki kembali ke skuternya, siap menghadapi hari-hari mendatang dengan semangat baru. Nagisano Shizuka akan menjadi lebih dari sekadar kedai kopi di tepi pantai—itu akan menjadi tempat di mana kenangan tercipta dan tentang rasa akan bisa ditemukan kembali.
Di depan halaman rumah sakit, Yuki merapatkan tangannya ke dada, memejamkan mata, memulai memanjatkan harapan. “Apapun yang terjadi, harapan terkuat akan berakhir baik,” bisiknya pelan. Tepat di waktu bersamaan, suara lembutnya tiba-tiba bercampur dengan suara seorang perempuan yang juga tengah memanjatkan harap yang sama. Yuki membuka mata dan langsung bertemu pandang dengan seorang gadis yang kini tampak terkejut sepertinya.
Mereka berdua terbelalak. Kaget dengan kehadiran masing-masing, suasana canggung mencairkan keheningan malam. Perempuan itu tampak hendak berteriak, namun dengan refleks, Yuki menutup mulutnya dengan sedikit panik. "Sst, tenang... aku tidak berniat jahat!" bisiknya canggung. Perempuan yang tampak lebih kaget dari Yuki itu akhirnya mengangguk. Yuki melepaskan tangannya perlahan. "Maaf," ujarnya dengan senyum canggung.
Perempuan itu tersenyum kecil, “Tidak apa-apa, aku hanya terkejut.” Mereka berdua kemudian duduk di bangku teras depan rumah sakit, mengisi keheningan malam dengan suara langkah kaki yang lembut.
“Aku Yuki Shizukesa,” kata Yuki memperkenalkan diri, mengulurkan tangan kanan untuk bejabat tangan, berusaha menghilangkan rasa canggung.
“Estrella Oriane,” jawab perempuan itu dengan senyum ramah dan membalas tangan Yuki. “Aku di sini untuk mengunjungi adik perempuanku. Dia harus menjalani operasi.”
“Tapi kenapa kamu membawa tas dan berpakaian formal sekali malam ini?” Tanya Yuki setelah ia sadar bahwa perempuan tersebut berpakaian terlalu formal untuk ke rumah sakit menjenguk keluarganya.
Estrella menopang dagunya, memasang raut wajah masam. “Aku sedang mencari kerja paruh waktu untuk membantu meringankan beban biaya operasinya.”
Yuki menatap Estrella dengan penuh empati. “Aku baru saja mengambil alih kedai kopi kakekku, namanya Nagisano Shizuka, kalau kamu pernah dengar. Kami selalu bisa menggunakan bantuan ekstra dari orang baru, jika kamu tertarik.”
Estrella tampak tertarik, matanya berbinar sedikit. “Nagisano Shizuka? Aku sering mendengar tentang kedai itu. Tempatnya benar-benar terkenal di kalangan penduduk lokal! Mana mungkin aku tidak bisa tahu.”
Yuki tersenyum, merasa lebih lega berbicara dengan Estrella. “Ya, itu tempat yang istimewa, setidaknya bagi penduduk sekitar sini.” Yuki agak getir melanjutkan kalimatnya, “seenggaknya begitu sih harapku terhadap kedai itu.”
Mereka berdua terlibat dalam percakapan hangat, berbagi cerita dan harapan di bawah langit malam Okinawa yang penuh bintang. Estrella tampak lebih tenang dan tertarik dengan tawaran Yuki, membuat lelaki itu merasa menemukan teman baru yang mungkin bisa membantunya membesarkan nama Nagisano Shizuka.
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, dua jiwa yang saling asing menemukan secercah harapan dan kebersamaan. Mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi hari esok dengan semangat dan harapan baru, bersama-sama.
“Bisa kita memanjatkan harapan itu lagi?” kata Yuki, menawari Estrella. “Siapa tahu itu akan membuat harapan kita menjadi kenyataan,”
“Tentu saja, kita lakukan bersama!” Jawab Estrella, mengiyakan tawaran Yuki.
Mereka berdua merapatkan kedua tangan masing-masing di depan dada, bersamaan, mereka mengucap, “Apapun yang terjadi, harapan terkuat akan berakhir baik.”
Di malam hari ini, di bawah langit Okinawa yang penuh berbintang, Yuki tidak menyangka bahwa ia akan mendapat respon baik dari seseorang yang baru saja ia kenal untuk membantunya membesarkan nama Nagisano Shizuka yang mulai pudar, bagi Estrella, ini adalah kesempatan baginya untuk bisa berjuang dengan mandiri.