Memasuki tengah hari, namun pelanggan baru tak kunjung datang. Yuki merasa bahwa tidak ada yang salah di shift pertamanya ini. Satu gelas Kopi Hitam dan dua Espresso Single Shot adalah seluruh menu yang ia buat sejauh ini. Teringat apa yang disampaikan oleh Hayato, bahwa sepertinya ia harus merekrut seorang barista untuk membantu pekerjaannya, setidaknya, ia juga akan terbantu dengan strategi pemasaran baru dan rebranding untuk Nagisano Shizuka.
Yuki menatap tulisan yang ada di atas pintu masuk kedai, “Tidak Semuanya tentang Kopi, tetapi Adalah Rasa.” Slogan peninggalan kakeknya itu membuat Yuki berpikir, apakah ini semua tentang rasa dari kopi? Atau lebih dari itu, sesuatu yang Yuki belum ketahui tentang rasa? Ia kemudian bergegas menuju meja kasir, bermodalkan sebuah kertas dan bebera spidol warna, mulai membuat gambar-gambar tentang pembukaan rekrutmen barista baru untuk Nagisano Shizuka.
Begitu kekanak-kanakan, pikir Yuki, tersenyum kecut. Ia berniat merevisi gambar-gambar itu, namun pintu kedai terbuka dan suara gemerincing dari hiasan aksesoris yang bergesekan terdengar jelas olehnya. Segera, Yuki merapikan seluruh alat gambarnya, bersiap menyapa pelanggan baru.
Seorang lelaki dengan jaket jeans robek-robek mendatanginya. Rambut pirang klimisnya dan setelan celana bahan dengan sepatu kets membuatnya terlihat rapi saat parfum beraroma mahal menyeruak masuk bersama pria itu. Melihat sekeliling, ia mencoba mencari sesuatu.
"Aku tak melihat tempat ini berkembang sejak pertama kali aku kesini," ucapnya kepada Yuki dengan nada datar.
"Mungkin karena Tuan belum mencoba menu baru kami?" Yuki menawarkan sebuah menu baru yang menurutnya adalah rekomendasi.
"Tidak, aku lebih suka Kopi yang dibuat secara manual brew, persis buatan Pak Benjiro," jawabnya memotong penawaran, "segelas Japanese Iced Coffee, tolong."
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Yuki. Segera, ia mempersiapkan segelas Japanese Iced Coffee setelah pelanggan itu melakukan pembayaran. Yuki ingin menghadirkan Single Origin, satu jenis kopi identik, berguna untuk menghasilkan rasa yang lebih konsisten. Pertama-tama ia mengambil biji kopi Ishigaki Typica, menimbangnya seberat 14 gram, lalu menggilingnya dengan ukuran medium. Dengan tangan terampil, ia menyiapkan peralatan V-60, menyeduh kopi menggunakan teknik pouring empat tahap dengan total air 200ml pada suhu 94°C, proses ini memakan waktu Yuki sekitar 3 menit.
Setelah kopi selesai diseduh, Yuki menuangkan hasil seduhannya ke dalam gelas serve V-60 yang telah diisi dengan 70gr es batu. Aroma kopi yang segar dan dingin segera memenuhi udara, bagi Yuki, ini sudah sempurna.
Yuki menyajikan kopi tersebut dengan gelas colin mini dengan tatakan kayu. Pelanggan itu mengambilnya, setelah menyesapnya perlahan, ia tersenyum tipis, merasa ada yang kurang.
“Kau tahu, Anak Baru, Nagisano Shizuka bukan hanya tentang kopi, melainkan rasa,” jelas lelaki itu kepada Yuki sebelum kembali ke meja kasir.
Yuki mencoba tetap ramah, “Adakah yang bisa saya bantu lagi?”
Dengan berhenti meminum kopinya, pelanggan itu melanjutkan, “Sesuatu yang hilang biasanya akan kembali ke Nagisano Shizuka suatu saat nanti, namun sepertinya belum hari ini aku menemukannya.”
Yuki membalas dengan ucapan terima kasih meski dia sendiri kurang yakin perihal apa yang dimaksud lelaki tersebut. Selang beberapa saat hingga lelaki itu menghabiskan kopinya, ia berdiri, tersenyum kepada Yuki, “Maaf belum memperkenalkan diri dengan baik, aku Christopher. Pak Benjiro adalah orang pertama yang mengenalkanku tentang kopi.”
Lelaki itu berlalu, Yuki masih tidak paham apa yang Christopher katakan. Lelaki yang terlihat lebih tua darinya itu mengenal baik kakeknya. Sesuatu yang hilang dari Nagisano Shizuka, Yuki mencoba untuk memahaminya secara perlahan.
Hayato masuk kembali ke kedai dengan wajah lelah setelah ia selesai menyelesaikan pekerjaannya sore itu, melepas topi dan duduk di kursi tinggi tepat di depan bar, “Lelah sekali hari ini. Ngomong-ngomong, bagaimana shift pertamamu, Manajer?”
“Kakek tidak menjelaskan kepadaku secara rinci tentang kedai ini.” Kata Yuki, sambil mengelap peralatan yang ia gunakan sebelumnya.
“Tidak perlu dipikirkan berlebihan, mulai saja dengan mempercayai kemampuan dirimu, Yuki.” Kata Hayato, dengan raut wajahnya yang lelah dengan aktivitasnya sendiri.
“Kalau begitu, tolong bawa ini ke sudut balai kota,” Yuki menyerahkan selembar kertas poster buatannya kepada Hayato dengan senyum percaya diri, “aku akan membuat Nagisano Shizuka menjadi kedai yang semua orang merasa pulang saat berkunjung ke sini!”
“Baiklah, sebagai imbalannya, tolong besok buatkan aku segelas kopi hitam lagi, oke?” Hayato menerima kertas itu dan membuat kesepakatan.
“Tentu saja,” jawab Yuki, menghela nafas.
Nagisano Shizuka akan menjadi tempat di mana semua orang bisa merasakan pulang, begitulah pikirnya. Yuki tidak tahu apa yang hilang dari kedai ini, namun ia bisa membuatnya dari awal. Apapun tentang rasa itu, ia akan menjawabnya dengan memulainya dari rasa kopi paling enak.
Sore itu, kedai kecil di tepian laut Okinawa ini tutup. Hayato yang pulang dengan sepedanya membawa poster rekrutmen dari Yuki, Manajer baru itu berharap akan mendapatkan hal bagus. Biar bagaimanapun, Nagisano Shizuka memiliki slogan yang kuat di kalangan pelanggan terdahulu, sebuah kedai di mana tidak hanya tentang rasa kopi, tetapi juga tentang menciptakan kenangan dan pengalaman yang tak terlupakan bagi setiap pengunjungnya. Dengan semangat baru, Yuki siap membawa kedai ini menuju masa depan yang lebih cerah, cangkir demi cangkir kopi akan tersaji dengan penuh rasa bagi pelanggannya nanti.
Saat matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan warna merah jambu, oranye, dan ungu, kedai kopi ini menampilkan kualitas magis. Cahaya berwarna keemasan tersaring melalui aksesoris penangkap mimpi, menciptakan pola rumit di lantai kayu. Lingkungan yang tenang mendorong Yuki untuk mengevaluasi shift pertamanya ini, lalu segera mengemas barang-barangnya untuk selanjutnya mengunjungi kakeknya di rumah sakit lokal.
“Baiklah, terima kasih, kedai kecil!” ucap Yuki saat mengunci kedai. Memasang helm dan menyalakan skuter matiknya, ia berharap agar hari ini memberinya pelajaran sehingga besok dia bisa menjalani shift lagi dengan lebih bersemangat. “Apapun yang terjadi, harapan terkuat akan berakhir baik.” Ucapnya, dengan mata terpejam sembari menangkupkan tangan ke dada.