Loading...
Logo TinLit
Read Story - After School
MENU
About Us  

   Mungkin banyak yang bingung dan penasaran dengan semua cerita gue. Karena rasanya apa yang gue ceritakan, adalah sebuah lompatan tanpa garis start. Ibarat kepingan puzzle yang berantakan, gak utuh. Jadi gak bisa tergambar sempurna. Sebab dan akibatnya gak jelas. Baik. Memang cerita ini harus gue ceritakan secara utuh. Agar kalian paham, apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, hingga cerita ini bisa gue tulis. 

   Cerita ini akan mundur jauh... ke belakang, di suatu pagi yang cerah, di awal bulan Juli tahun 1996. Karena dari sanalah cerita ini bermula.

 

                                                                                       ***

 

Jakarta, Juli 1996.

 

   Awal tahun ajaran baru, 1996/1997. Waktu itu gue udah naik kelas dua SMA alias kelas 11 (istilah sekarang). Bukan lagi junior. Udah senior, meski senior nanggung. Gue bersekolah di sebuah sekolah Katolik. Letaknya di daerah Jakarta Pusat. Tidak terlalu di tengah memang, udah agak di pinggir, tapi masih di daerah Jakarta Pusat. Dan meski kata orang ini sekolah segmented, karena berlabel agama, tapi muridnya sangatlah heterogen. Tidak semua beragama Katolik. Banyak yang Protestan dan gak sedikit yang Muslim. Dengan sedikit yang Hindu atau Budha. Isu agama, bukanlah sebuah isu yang seksi untuk dibahas di pergaulan sekolah. Rata-rata kami tidaklah terlalu peduli apa latar belakang masing-masing. Nama sekolah gue, SMA Aquinas. Diambil dari nama belakang Thomas Aquinas, seorang pemikir hebat di agama Katolik yang hidup pada sekitar abad XIII. Di Aquinas, murid cowok dan cewek bercampur. Sekolah gue gak eksklusif gender.

   Pagi itu, setelah memarkir motor, Suzuki RGR 150 warna merah-hitam, gue berjalan santai menuju pinggiran lapangan basket/upacara, tempat di mana banyak murid baru (anak kelas satu) sedang berbaris dan mendapatkan briefing. Mereka memakai baju putih-putih dan bercelana pendek buat yang cowok serta rok buat yang cewek. Ini hari pertama masuk sekolah, setelah sebulan lamanya kami libur. Beberapa teman dari geng Krazy Squad, gue lihat udah ngumpul di parkiran mobil. Geng alias circle ini terbentuk sejak kami kelas satu. Di sudut lain, sekelompok anak skateboarding terlihat bergerombol, asyik bermain papan luncur. Kalo masih hari pertama sekolah kayak gini, suasana masih rileks. Masih bebas.

   Murid-murid terus berdatangan. Dari gaya jalan mereka gue bisa tau mana yang anak kelas dua dan mana anak kelas tiga. Kalo yang kelas tiga jelas terlihat gayanya: agak belagu, dengan dagu naik ke atas karena merasa udah senior. Hehe. Senioritas di Aquinas memang gak sekuat seperti di sekolah lain. Tapi bukan berarti para junior tidak akan merasakan kegarangan para senior. Meski yang akan merasakan jatah paling banyak dari galaknya senior itu adalah anak kelas satu. Tapi biasanya setelah penataran alias MOS selesai, semuanya jadi biasa aja. Meski akan ada aja satu-dua kasus senioritas yang bisa terjadi.

   Beraneka ragam gaya dan dandanan anak Aquinas di tahun ajaran baru ini. Mereka ke sekolah sambil memamerkan fashion terkini musim 1996/97. Yang cewek rata-rata memakai sneakers terbaru beraneka merk dengan kaos kaki ada yang semata kaki dan ada yang panjang selutut. Ada juga yang memakai sepatu Doc Mart. Untuk atasan, sebagian cewek memakai baju yang agak ketat, hingga bisa terlihatlah secara samar, bra warna-warni yang mereka pakai yang memang sedang trend kala itu di kalangan remaja cewek. Sebagian lagi memakai baju standar dengan tanktop atau kaos sebagai dalaman. Untuk bawahan, waktu itu rok cewek anak sekolah rata-rata masih pendek, sedikit di atas atau di bawah lutut. Kecuali mereka yang di sekolah Islam, roknya udah panjang semata kaki, seperti umumnya anak sekolah hari ini. Di Aquinas gak ada keistimewaan seragam. Kami tidak dibedakan dengan sekolah negeri, tetap putih-abu-abu. Sedangkan di hari Jumat, sama seperti sekolah lainnya, kami memakai batik.

   Sementara untuk yang cowok rata-rata beralas kakikan sneakers, sepatu skate (kebanyakan bermerk Airwalk) atau sepatu basket. Sedangkan untuk jam tangan, Alba Spoon atau Casio G-Shock adalah merk jam tangan yang sedang digemari saat itu di kalangan remaja cowok. Gaya rambut pun beraneka ragam, dari yang standar, berponi ala Liam Gallagher atau Noel Gallagher (Oasis), skinhead, sampai yang sedikit berantakan dan jingkrak model semi-punk, mengikuti gaya rambutnya para personel Green Day. Tas juga. Saat itu sedang trend tas selempang Kuta Lines. Gue salah satunya yang pakai itu. Gue sendiri, secara fashion, lebih suka yang simpel ala Kurt Cobain: Kemeja sekolah dikeluarin, daleman kaos dan alas kaki wajib, Converse Chuck Taylor atau One Star. Dan selalu bergaya super cuek. Rebel sejati!

   “Janel!” teriakan seseorang membuat gue memalingkan wajah, dari mengamati keadaan sekolah ke parkiran.

   Itu Raska, si ‘Ryan Hidayat’ dari Aquinas. Sosok cowok kurus, tinggi, putih dan ganteng itu udah sampai di sekolah. Dia baru aja memarkirkan Evo 3 merahnya.

   Gue balas memanggil, “Boncu!” Gue pun melangkah ke parkiran.

   “Wuih, velg baru nih,” komentar gue saat melihat penampilan baru mobilnya Raska.

   “Yongkru (iya) Brother! Hadiah naik kelas dari Nyokap.”

   “Ini baru dari Nyokap. Kalo dari Bokap?” selidik gue.

   Raska tersenyum kecut. “Gak ada lah. Lo tau sendiri Bokap gue. Mana pernah dia peduli sama gue.”

   Gue langsung terdiam. Lalu gue menyapa beberapa orang yang juga ada di parkiran, ada Dito, Miko, Phillip, Jetro, dan Oliver. Kemudian terdengarlah suara Vespa lama, datang mendekat. Itu si Ibrohim alias Boim, teman gue yang paling unik. Dia anak Betawi dan besar di perkampungan gang padat. Tapi dia punya gaya yang pede abis, meski wajah tiga level di bawah Onky Alexander (si aktor paling ganteng era 1980an, pemeran film Catatan Si Boy). Orangnya gak minderan, meski kulitnya agak gelap. Rambut selalu klimis dan disisir ala mafia Kolombia. Boim itu orangnya kocak. Semua anak senang berteman dengan Boim.

   Dulu waktu kelas satu, Boim pernah sekolah di STM (Sekolah Teknik Menengah). Dia gabung ke STM yang murid-muridnya saat berangkat/pulang sekolah selalu serombongan naik bus umum, hingga busnya miring sebelah sangking penuhnya (nge-basis istilahnya). Tapi baru sebulan masuk dia udah dikeluarin karena terlibat tawuran. Nyokapnya panik karena gak ada sekolah yang mau terima Boim. Untungnya, sang Nyokap kenal baik dengan Romo Bentua alias Romo Ben, kepala sekolah Aquinas. Nyokapnya merengek minta tolong ke Romo Ben dan beliau luluh. Boim bisa sekolah. Meski awalnya Boim gak mau karena harus sekolah di sekolah Katolik. Kata teman-temannya, nanti dia akan dipaksa masuk Katolik, dan itu yang dia sampaikan ke Nyokapnya. Tapi kata Nyokapnya gini,

   “Gak apa Im, lo masuk Katolik. Yang penting lo bisa sekolah dulu. Tiga tahun aja. Nanti lulus, lo baca lagi kalimat syahadat.”

   Tapi itu hanya joke doang. Boim gak pernah diminta masuk Katolik, dia tetap Muslim. Malah dia jadi anak Betawi yang cukup populer di Aquinas.

   “Wuidihh.... udah pada ngumpul nih kayak emak-emak mau nganterin anak vaksin di Posyandu,” teriak Boim dari motor Vespa warna merahnya.

   “Bisa aje nih oli bekas!” timpal Raska.

   Tawa kami pun pecah di parkiran mendengar celoteh Boim dan Raska.

   “Eh, gimana, banyak gak angkatan barunya?” selidik Boim sambil melirik ke lapangan upacara.

   “Yah, sama aja lah kayak angkatan kita,” jawab gue.

   “Udah pada survei lapangan belum?” Boim memainkan wajah nakalnya.

   “Maksud lo apaan?” selidik Jetro.

   “Alah, pada belaga polos lo pada. Cewek-cewek kelas satunya, gimana, caem-caem (cakep-cakep) gak?”

   “Gak tau, belum lihat,” timpal Raska.

   Lalu terdengar suara klakson yang cukup keras. Sebuah Kijang Super warna putih, ceper, mesin racing dan kaca bening berjalan perlahan di belakang Vespa Boim. Itu adalah David, si trouble maker di sekolah. Gayanya paling tengil dan jagoan. Tapi dia emang jagoan beneran, paling berani dan solidaritasnya tinggi ke teman. Tapi kadar angkuh dan resenya juga tinggi.

   David hanya memberi kode dengan tangannya, meminta Boim supaya menyingkir.

   “Iye bos, sabar.” Boim pun menggeser Vespanya sedikit ke pinggir.

   Tak lama David keluar dari mobil dan berjalan ke arah kami. Dari kejauhan dia udah pasang tampang dingin. David ini badannya tinggi dan kekar. Kulitnya agak gelap, karena Bokapnya berdarah Maluku, dan Nyokapnya dari Manado.

   “Belum pada masuk?” tanya David membuka percakapan.

   “Entar lagi,” jawab gue.

   Matanya David lalu melirik mobil Raska. “Wah, Boncu, bokul (beli) velg baru nih?”

   Raska menyunggingkan bibir. “Oke gak, Vid?”

   “Keren,” jawab David.

   Brummm....

   Suara mobil lain kemudian spontan memecah perhatian kami. Sebuah Honda Estilo warna biru muda memasuki parkiran sekolah.

   “Anjir... boilnya siapa tuh ya? Baru lihat gue,” ujar Dito.

   By the way, istilah anjir memang udah ada di era 90an.

   Mata kami semua lalu fokus pada Estilo, menunggu siapa gerangan yang akan keluar dari dalam mobil kece itu. Pintu Estilo kemudian terbuka. Kaki jenjang seorang cewek dengan kaos kaki panjang selutut dan rok SMA yang cukup pendek terlihat menjulur dari balik pintu mobil. Lalu sosok sesungguhnya keluar. Itu Nadya Violeta alias Nanad, si cantik nan tajir di Aquinas. Rambutnya halus panjang, kulitnya putih glowing, badannya lumayan tinggi untuk ukuran cewek, dengan berat badan ideal, bibir tipis dan sorot mata teduh. Bajunya saat itu ketat hingga membuat gue dan teman-teman gue bisa melihat dengan samar bra warna hijau yang dipakai oleh Nadya. Pokoknya benar-benar bidadari berwujud anak SMA.

   Bukan hanya berprofesi sebagai pelajar, Nadya juga adalah seorang model. Ibarat di zaman sekarang, kecantikan dan kepopuleran Nadya waktu itu, bisa disamakan dengan Anya Geraldine. Wajahnya lumayan sering beredar di majalah-majalah, catwalk dan iklan. Yang paling heboh adalah tahun lalu, waktu dia jadi model utamanya brand Shower To Shower, produk kecantikan yang populer banget di kalangan remaja cewek kala itu. Nadya tiba-tiba ada dimana-mana, dari iklan media TV sampe media cetak. Ada juga cerita tentang Nadya yang hampir kepilih jadi model video klipnya Kahitna waktu itu, tapi gagal karena ada model senior yang intervensi dan gugurin peluang Nadya.

   Nadya ini anak kelas dua juga. Punya geng cewek-cewek cantik dan gaul, namanya: Clueless, persis seperti judul film remaja paling hits di tahun 1995, yang dibintangi sama Alicia Silverstone, Paul Rudd dan Brittany Murphy. Tapi meski begitu, Nadya dan teman-temannya tidak se-clueless nama geng mereka. Hehe. Geng ini udah ada sejak mereka kelas satu, dan Nadya kalo berteman, milih-milih. Circle dia adalah orang-orang pilihan, gak mau sembarangan. Rumahnya di kawasan elit Menteng. Nadya memang anak sultan pada zaman itu. Nadya adalah mantannya Raska yang gosipnya masih berharap balikkan sama Raska. Pokoknya Nadya ini adalah maskotnya Aquinas banget deh, meski banyak yang sebal sama dia karena dianggap sombong.

   Oh ya, pada era itu, banyak anak sekolah yang belum 17 tahun, bisa bawa mobil, karena sistem dan aturan yang masih sangat longgar. Mereka bisa punya SIM tembak. Satu lagi, meski kayaknya banyak yang bermobil, tapi jangan salah sangak, gak semua murid adalah anak orang kaya. Tingkat sosial-ekonomi di Aquinas sangatlah beragam. Ada yang kaya banget, sekedar kaya, biasa aja (kayak gue) dan kurang mampu. Tapi semua itu bukanlah masalah, karena berusaha dilebur dengan sistem subsidi silang yang jadi ciri khas sekolah-sekolah Katolik.

   “Oh, punya mobil baru dia,” ucap Raska pelan.

   “Masya Allah!” Boim menimpali dengan tatapan tanpa kedip ke Nadya.

   “Heh!” Dengan jari-jarinya Raska langsung menyapu wajah Boim yang matanya gak kedip dari tadi.

   “Kenapa sih, Cu? Jealous lau (lo)? Kan udah mantan,” protes Boim.

   “Baek-baek tuh bola mata, copot!”

   Mata kami yang di parkiran pun, kini kompak tertuju pada Nadya yang tengah berjalan penuh pesona, membuat siapa pun yang melihat Nadya, pasti bengong, seperti tersihir ilmu hitam.

   “Hai Raska.... Hai semua...” sapa Nadya basa-basi saat dia mendekat ke gue dan teman-teman gue.

   “HAI.... NAD!” jawab cowok-cowok KS antusias, kompak. Hanya David yang tetap dingin merespons Nadya.

   “Kalian belum pada masuk?” selidik Nadya.

   “Entar lagi kita masuk kok,” ujar Raska santai.

   Nadya tersenyum pada Raska. “Ya udah, aku duluan ya,” tandas Nadya sembari pergi meninggalkan parkiran dengan jejak aroma parfumnya yang wangi seperti di taman bunga, dan kami seperti kompak menghirup aroma wangi dari tubuhnya Nadya di pagi hari itu.

   Kemudian Boim memukul pundak Raska. “Harusnya elo gak putusin dia, Ras! Makin pulen aja tuh cewek...”

   Raska menoleh pada Boim. “Lo pikir dia beras, pulen?”

   “Mana wangi banget lagi kayak kuburan baru,” tambah Boim lagi.

   “Hush! Sembarang lo ngomong!” Raska menghardik Boim yang diikuti oleh tawa dari yang lain termasuk gue.

   “Masuk yuk!” kata David sambil berjalan menuju lapangan. Yang lain lalu mengekor David.

   Sebelum ikut masuk, mata gue sempat melirik ke kejauhan, di sudut lain parkiran. Ada anak-anak Bradahood, sebuah geng lain di Aquinas yang isinya anak-anak kelas dua. Mereka sedang nongkrong. Vikar, seorang anak Bradahood yang juga salah satu pentolannya kemudian melihat gue dan anak-anak KS. Gue hanya memberi kode tipis dengan menaikkan alis pada Vikar yang dibalas dengan anggukan tipis oleh Vikar. Cerita soal Bradahood ini akan gue ceritakan nanti, di bab-bab selanjutnya. Yang pasti Bradahood ini sebenarnya adalah musuhnya KS.

   Di lapangan upacara, suasana udah makin ramai. Tapi gue dan yang lain sepakat untuk lanjut aja ke kelas masing-masing karena bukan termasuk OSIS atau panitia. Tapi baru aja akan melangkah, suara seseorang menghentikan langkah gue. Raska juga ikutan berhenti.

   “Janel!”

   Itu Santo, si cowok berkacamata, lumayan pintar, dan lagi dalam proses diterima masuk ke Krazy Squad. Dia rupanya panitia penyambutan anak baru.

   “Eh, kenapa, To?”

   “Bantuin gue dong, buat data ekskul ke anak-anak baru.”

   “Kan gue bukan panitia.”

   “Gak apa-apa. Soalnya kita kekurangan orang nih. Lo juga dong, Ras, bantuin,” pinta Santo pada Raska.

   Sementara anak-anak yang lain udah ngeluyur duluan. Raska ngelirik gue. Gue kasih kode ke Raska, supaya mengabulkan permintaan Santo.

   “Ya udah deh,” ujar gue.

   Gue dan Raska lalu di-brief singkat sama Santo. Kami dikasih kertas yang udah bertabel plus pulpen. Tugas kami hanya menanyakan ke para anak baru, mereka kira-kira minat pada ekskul apa? Dan orang pertama yang gue lihat pas momen ini adalah seorang cewek bernama, Prisa. Wajahnya langsung memantik rasa di mata dan dada gue. Prisa ini tipikal wajahnya kayak cewek-cewek dari timur tengah atau Asia selatan sana dengan sorot matanya yang tajam dan kulitnya yang putih.  Raska langsung senyum kode ke gue.

   “Elo, siapa namanya?” tanya gue ke Prisa, berusaha sok cool.

   “Prisa, Kak,” jawabnya dengan senyuman misterius.

   “Mau gabung di ekskul apa kira-kira?”

   Prisa berpikir. “Umm… kalo Kakak, ikut ekskul apa?”

   Ditanya begitu, gue malah kebingungan. “Sekarang sih, gak a--da,” jawab gue. “Tapi kalo boleh gue rekomen, lo bisa ikut karate. Dulu gue kelas satu, gue sempat ikut itu.”  Dulu gue ikut Karate karena ingin seperti Jean-Claude Van Damme, si aktor film action paling ngetop di era 90an. Tapi akhirnya berhenti, karena gue lebih banyak bolosnya.

   “Ya udah, saya Karate aja kalo gitu,” ujar Prisa mantab.

   Gue mendadak salting. Raska makin senyam-senyum ngelihat gue. Dari wajahnya seolah dia pengin bilang, udah… sikat!

   Gue ngelirik tajam ke Prisa. “Elo serius?”

   “Iya, Kak!”

   “Oke…”

   Selesai mendata Prisa, gue pindah ke yang lain. Setelah beberapa anak, tiba-tiba mata gue menangkap satu pemandangan gak biasa dari arah gerbang. Seorang cewek, pakai putih-putih (jelas dia anak baru) sedang lari tergopoh-gopoh menuju lapangan. Inilah untuk pertama kalinya gue melihat Lovi: Seorang cewek bertubuh dan berwajah imut, rambut rada pendek dengan tas punggung warna merah, lari panik karena merasa udah terlambat.

   Dari jauh Santo langsung teriak, “Nel, ada yang telat tuh!”

  Gue langsung berjalan ke paling belakang barisan ke tempat Lovi berdiri. Napasnya masih terengah-engah.

   “Maaf, Kak.... Maaf saya terlambat,” ujar Lovi ketakutan.

   Gue pandangin terus Lovi. Tatapan mata dan wajah polosnya seperti menghentikan waktu. Gue kayak kesihir di hari itu.

   “Siapa nama lo?”

   Lovi melihat gue tajam. “Lovi Putri Arini,” ucapnya cepat namun terengah-engah.

   Gue mengangguk.

   “Kenapa kamu telat?!” Tiba-tiba suara Santo menggelegar di belakang gue.

   Lovi makin katakutan. Lalu dia melirik gue, seperti minta pembelaan.

   “Maaf Kak, jalanan macet tadi.”

   “Emangnya kamu naik apa?”

   “Mobil, dianterin Mama.”

   “Ohh... anak Mami toh. Ya udah, kalo gitu, anak Mami squat jump aja tiga puluh kali.”

   “Hah?” Lovi langsung mengucap dengan nada frustasi.

   “Gak usah pake protes. Buruan!”

   Gue geleng-geleng lihat kelakuan si Santo. Padahal dia sendiri, di kelas satu, gak jauh dari label anak Mami.

   Lovi akhirnya nurut dengan berat hati. Dia pun squat jump. Santo langsung menatap gue sambil mengedipkan matanya dan tersenyum nakal.

   “Awasin dia, Nel!” kata Santo, kemudian kembali ke barisan depan.

   Segera pandangan gue sekarang mengarah ke Lovi yang sedang naik-turun menghitung squat jump-nya.

   “Dua belas, tiga belas, empat belas....” Lovi mulai kepayahan. Tapi dia masih berusaha melanjutkan. “Lima....”

   “Udah, stop,” kata gue sambil melirik jauh ke depan, mengawasi Santo. Aman. Dia lagi sibuk yang lain.

   Lovi berdiri. Pakaiannya rada berantakan. “Makasih, Kak.”

   “Lo gak apa-apa kan?”

   Lovi menggeleng. “Gak apa-apa.”

   “Ya udah, besok-besok jangan telat lagi. Sekarang rapihin baju lo.”

   “Iya, Kak.”

   Setelah itu gue kembali ke tugas semula gue. Tapi pikiran gue udah gak fokus. Perasaan senang karena kenal Prisa, mendadak tergantikan. Itulah pertemuan pertama gue dengan Lovi. Gak bisa gue lupa tatapan matanya, pancaran wajah dan tingkahnya. Pagi itu.... gue jatuh cinta. Pagi itu, cerita cinta ini memulai petualangan hari pertamanya, tulisan di halaman pertamanya, ke seorang cewek bernama: Lovi Putri Arini...

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under a Falling Star
1066      625     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
love like you
458      326     1     
Short Story
Me & Molla
557      331     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
Luka Adia
828      503     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Daniel : A Ruineed Soul
577      339     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Melody untuk Galang
522      323     5     
Romance
Sebagai penyanyi muda yang baru mau naik daun, sebuah gosip negatif justru akan merugikan Galang. Bentuk-bentuk kerja sama bisa terancam batal dan agensi Galang terancam ganti rugi. Belum apa-apa sudah merugi, kan gawat! Suatu hari, Galang punya jadwal syuting di Gili Trawangan yang kemudian mempertemukannya dengan Melody Fajar. Tidak seperti perempuan lain yang meleleh dengan lirikan mata Gal...
A Ghost Diary
5461      1776     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Kalopsia
750      551     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
WALK AMONG THE DARK
814      452     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
Untuk Reina
25857      3965     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?