Prolog: It’s Over!
Jakarta, pertengahan 2021.
Cerita ini akan dimulai dari: Nila minta putus. Saat itu malam Minggu di bulan November 2019. Aqnila Sekaria Prawirahardja, cewek cantik, tinggi, berkaki jenjang, berambut panjang, pipi tirus, kulit kecoklatan dan bermata indah yang udah sekitar tiga tahun menjalin hubungan serius dengan gue, resmi ingin pisah. Cewek model yang gue kenal di sebuah event fashion show itu, ingin hubungan gue sama dia berakhir. Padahal baru dua bulan sebelumnya, dia dengan berurai airmata -sebagai tanda kebahagiaan- menyambut lamaran gue untuk menikahinya di tahun 2020. Tapi dua bulan berselang setelah momen yang membuat dia terharu itu, dia meminta hubungan ini gak lagi dilanjutkan. Nila mengembalikan cincin yang gue kasih ke dia saat gue bilang, “Would you marry me?” Gue sih harusnya gak perlu kaget. Karena dua minggu sebelum putus, Nila memang udah menunjukkan gejala yang rada gak biasa dalam sebuah hubungan yang serius. It’s classic: menghindar, lama membalas pesan, cuek berkepanjangan, susah dikontak, and so on, and so on...
Alasannya? Menurut Nila, dia tiba-tiba sadar kalo ternyata dia belum siap buat nikah. Terus untuk apa airmata haru yang dia keluarkan sewaktu gue melamar dia? Kata Nila, itu karena dia terbawa emosi. Terlampau senang karena pria yang udah sekian tahun bersama dia, akhirnya mau melamar dia. Lalu Nila pikir dia siap. Ternyata setelah beberapa minggu, dia baru sadar dia belum siap, dan perasaan itu mengganggu Nila terus-menerus. Makanya dia berubah jadi ‘ajaib’. Sampai akhirnya dia ngajak gue ketemuan di kafe favorit kami di daerah Senopati. Lalu... terucaplah kalimat itu: “Mas, aku mau putus!”
Aneh? Teman-teman gue atau teman-temannya Nila sepakat dengan gue, ini memang aneh. Mereka merasa seharusnya udah gak ada lagi rintangan untuk hubungan gue dan dia. Apalagi orangtua kami udah mendukung rencana pernikahan ini. Lalu di mana letak salahnya? Kata mereka, hanya ada tiga kemungkinan kenapa Nila begitu: Pertama, dia selingkuh. Kedua, dia sakit jiwa dan yang ketiga, Nila... mendadak lesbi. Tapi rasanya untuk kemungkinan nomor dua, apalagi yang ketiga, gue gak terlalu yakin. Jadi gue lebih percaya kemungkinan yang pertama.
Satu per satu teman memberikan teori dari versi mereka masing-masing tentang sebab selingkuhnya Nila. Semua gue dengarin. Semua jadi masukan berarti. Tapi sejujurnya, bukannya gak percaya, gue hanya terlalu malas untuk mencari bukti. Lalu apakah gue gak galau? Oh jelas, galau! Hati ini gak terbuat dari baja. Tapi gue adalah pria dewasa yang gak lagi menjadikan perasaan sebagai kemudi dalam naik-turunnya kehidupan. Karena setelah bertahun-tahun merasakan pahit getirnya hidup dan cinta, gue akhirnya terbentuk menjadi pribadi yang sangat rasional. Padahal, dulunya di zaman sekolah, gue adalah cowok yang sangat perasa dan melankolis. Hidup gue sangat dikendalikan oleh perasaan. Tapi saat memasuki usia kepala tiga, gue mengalami titik balik. Gue jadi gak gampang mellow. Gue bisa mengendalikan perasaan dengan sempurna tanpa publik harus tau kalo gue lagi ada masalah. Makanya rasio gue langsung memegang kendali, bukan lagi perasaan, di detik saat Nila minta putus.
Ya udah, artinya, Nila memang gak bahagia sama gue atau memang dia bukan jodoh gue. Hubungan ini udah gak bisa lagi dijalanin.
Demikian rasio gue bicara saat itu. Meski alasan utama bubarnya hubungan kami masih tetap jadi misteri. Gue sendiri bukannya gak berusaha mencegah keputusan Nila, tapi usaha gue hanya sampai kepada pertanyaan dan pernyataan: Kenapa? Ini kamu serius? Coba pikirin lagi, deh. Kita, kan, udah mau nikah. Udah gitu aja. Gak ada drama memohon-mohon. Karena pengalaman mengajarkan, itu semua percuma. Cewek ketika dia udah minta putus, 99 % gak akan bisa diubah keputusannya. Ini bukan seperti di film Ada Apa Dengan Cinta, ketika Cinta pergi lalu menoleh sebagai tanda dia minta dikejar oleh Rangga. Percayalah, Nila gak minta dikejar. Semua usaha sampai airmata gak akan ada gunanya. Jadi... so be it and let it go!
Maka akhirnya gue menerima perpisahan ini dengan lapang dada. Gue ikhlas saat Nila ngomong, “It’s over!”, lalu dia berdiri dan pergi dari hadapan gue yang hanya bisa duduk diam sambil menatap dia, mengikuti langkahnya sampai dia menghilang. Ini pahit dan gak enak tapi tetap harus gue telan. Lalu gue pulang ke rumah, masuk kamar, simpan lagi cincin yang dikembalikan Nila dan memutar album In Utero dari Nirvana keras-keras. Dan lagu Dumb adalah lagu yang paling relate sama keadaan gue. Malam itu pun gue lalui dengan smooth: tanpa airmata, tanpa alkohol dan bisa tidur nyenyak.
Lalu besoknya hari Minggu, dengan hati yang belum fully charged, gue memutuskan lari pagi dengan sejumlah teman di Car Free Day. Apakah dada masih sesak? Pastinya! Tapi bedanya sekarang dengan sekian tahun yang lalu adalah, sekarang dengan masalah seberat apa pun gue masih tetap bisa memberikan ruang di hati untuk kebahagiaan diri sendiri. Masih bisa menikmati hidup. Jadi gak sesak-sesak banget sebenarnya. :)
“Bersyukur aja Bro, lo bisa tau siapa Nila sebelum kalian menikah.”
Itu satu nasihat dari sekian banyak nasihat teman-teman gue, di sela-sela acara makan setelah lari pagi. Ya, teman gue itu benar. Tapi sisi baik lain yang bisa gue rasakan adalah: untung gue dan Nila belum sewa gedung, cetak undangan dan rapat keluarga. Semuanya itu baru mau kami rancang di awal-awal 2020. Mungkin di Januari. Bayangin kalo itu semua udah berjalan?
Well... itulah hidup. Gak selalu mulus. Gak selalu penuh dengan keajaiban. Yang udah dirancang dengan baik pun bisa berantakan. Nila dan cerita cinta kami, kini hanyalah monumen. Tapi hidup harus tetap dilanjutkan, meskipun hati patah. The show must go on!
Dan sekarang kita masuk ke part yang sebenarnya dari cerita. Karena bagian yang ini hanyalah sebuah pembukaan, sebuah perkenalan untuk kisah yang lebih roller coaster lagi. Masih tentang Nila kah? Enggak. Tapi tentang orang lain. :)
My heart is broke, but I have some glue. Dumb – Nirvana (In Utero)