Read More >>"> The DARK SWEET (Chapter 2 - should I try) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The DARK SWEET
MENU 0
About Us  

Sengaja melukai atau pun tidak, perihal sakit hati adalah satu rasa yang sama.

 

Chapter 2 ~Should i try?

 

Limousin Dave memasuki pekarangan mansionnya—membawa Velove yang masih terlelap nyaman dalam tidurnya. Merasakan tubuhnya terangkat, Velove membuka matanya dan seketika tatapannya fokus pada Dave, memperhatikannya dari bawah.

Kalau dipikir-pikir, selama ini Dave selalu bersedia turun tangan membantunya, tidak segan memperhatikannya sekali pun Velove sendiri enggan dan jarang menanggapi. Velove pernah sedikitnya merasa bersalah, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak di saat Dave tahu kalau ia sengaja menghindarinya terang-terangan. Lelaki ini, terlalu baik untuk dirinya.

"Bawakan batu es dan kotak obat ke kamar tamu." Ucap Dave pada maid yang dengan sigap bergegas menyiapkan perintahnya.

"Kenapa kau membawaku ke rumahmu?"

Pertanyaan Velove membuat Dave beralih menatapnya, mengulas senyum tipis. "Keadaanmu tak baik. Aku tidak akan membiarkanmu terbaring sendirian di apartemenmu." Dave meletakkan Velove ke atas ranjang, mengambil duduk di sampingnya. "Lihat dirimu," Dave menyelipkan anak rambut Velove ke belakang telinga. Memeriksa luka-luka wajahnya yang sudah membiru.

"Kau benar-benar kacau."

Sesaat, tatapan keduanya bertemu. Jarak wajah mereka bahkan sangat dekat. Untuk sejenak mereka terjebak sunyi, terpaku dalam lamunan masing-masing.

"Vee, can i—"

Ketukan dari arah pintu membuat Dave langsung mengambil jarak. Lelaki itu memberi gerakan untuk meletakkan barang yang dia minta ke meja.

"Maaf mengganggu Anda, Tuan."

Dave mengangguk singkat. "Kau boleh pergi." Perintahnya yang membuat maid itu bergegas keluar dan menutup pintunya.

"Bagaimana kau tahu aku di sana?" tanya Velove membuat pergerakan tangan Dave yang sedang membuka kotak obat terhenti.

"Mungkin ini akan mengganggumu, tapi aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja." Aku Dave tanpa berniat menyangkal kalau dia sengaja mengikutinya. Awalnya, dia ingin menuruti Velove dan memberinya waktu sendiri. Tapi setelah dia pikirkan kembali, rasanya tidak mungkin. Jadi, Dave mengikutinya sekali pun dia nyaris kehilangan jejak dan berakhir menemukannya tidak jauh dari kelab.

Velove meringis begitu kapas di tangan Dave menyentuh lukanya.

"Apa aku menekannya terlalu keras?"

Gelengan Velove menjadi jawaban. Perempuan itu menyentuh tangan Dave, menatapnya dengan tatapan tak terbaca. "Jangan seperti ini, Dave. Aku merasa buruk kau memperlakukanku begitu baik."

"Kau yang berpikiran terlalu jauh. Aku menolongmu karena kita rekan kerja, lagi pula kita sudah mengenal lama. Apa salahnya membantu teman, 'kan?" Dave mengusap puncak kepala Velove pelan, tersenyum lembut padanya. "Sekarang, biarkan aku mengobatimu." Katanya dan kembali membersihkan luka-luka Velove.

Meski tahu itu hanyalah alasan, setidaknya Velove merasa lebih ringan. Velove takut dia menyakiti Dave. Padahal, tanpa dia sadari selama ini sikapnya sudah membuatnya terluka tetapi Dave masih keras kepala memperjuangkannya.

Kali ini, Velove mengambil alih handuk berisi batu es yang baru saja Dave tempelkan. "Biar aku saja." Katanya membuat Dave mengangguk dan beralih merapikan kotak obatnya kembali.

Sampai kapan akan terus menutup pintu hatimu, Vee? Dewi batin Velove bertanya-tanya. Dia tahu dan sadar betul kalau selama ini dia sengaja menutup diri. Menolak cinta dari siapa saja yang mendekatinya dan terus terjebak masa lalu.

Velove, belum benar-benar sanggup melupa. Bahkan dalam sudut hatinya yang terdalam pun dia masih dengan sadar mengakui itu. Hanya saja, mau sampai kapan?

"Menginaplah. Aku tahu kau pasti kelelahan."

Velove tidak membantah. Ia mengangguk menerima tawarannya, karena jelas dia butuh istirahat setelah semua olahraga yang dia lakukan dalam semalam.

Lagi. Velove dapat merasakan ketulusan dari usapan halus Dave di sisi kepalanya begitu lelaki itu bangkit berdiri, tersenyum padanya. "Kalau kau butuh sesuatu, jangan sungkan memanggilku."

Velove hanya mengangguk singkat. Memperhatikan punggung tegap Dave menuju pintu dengan tatapan yang berbeda.

Haruskah dia mencoba kembali dengannya?

Baru saja menekan handle pintu, Dave kembali menoleh. "Kau sudah makan?"

Velove mengangguk lagi.

"Kau yakin?"

Senyum tipis Velove terbit, menatap Dave geli. Ia mengangguk sekali lagi. "Iya." Jawabnya singkat.

Lalu, Dave benar-benar pergi dari sana. Meninggalkan Velove bersama lamunannya.

Sejauh menyangkut laki-laki, Velove masih perempuan biasa. Perhatian-perhatian kecil yang sering dia terima dari Dave kadang-kadang membuatnya lemah. Tapi, Velove lebih nyaman hubungan yang seperti ini. Tidak terikat. Karena sejatinya, Velove masih berada di masa lalu—belum sepenuhnya bisa lepas dari sana. Velove tidak ingin menjadikan Dave sebagai pelariannya. Tidak. Dia terlalu baik untuk disakiti.

Velove membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Hari ini, dia benar-benar lelah. Ada saja yang membuat moodnya berantakan apalagi di tambah pertemuannya kembali dengan mantan berengseknya.

Ah, apa dia baik-baik saja?

See ... Sekali pun Velove mencoba tak acuh, dia tetap tidak bisa menghindari topik tetang lelaki itu.

Memilih untuk mengabaikan kekhawatirannya, Velove bergegas membersihkan dirinya—mencuci muka lalu pergi tidur. Satu-satunya alternatif terbaik untuk melupa adalah tidur, dan Velove membutuhkannya sekarang. Bukan hanya untuk lelah fisiknya, tetapi juga lelah pikiran dan hatinya.

✨✨✨

 

Dering ponsel Velove membangunkan perempuan itu. Dengan malas Velove membuka matanya, mencari keberadaan ponselnya dan menemukan nama Alessia di sana.

Ada apa?

"Hai, Ale." Sapanya masih setengah sadar.

Dari ujung sambungan suara berisik memenuhi pendengarannya sebelum dia mendengar suara pintu tertutup. "Keira menghilang."

Seketika Velove bangkit dari rebahannya, tampak sekali dia terkejut. "Bicara yang benar." Katanya membuat Alessia mengulangi perkataannya.

"Disituasi seperti ini kau kira aku bercanda denganmu? Keira benar-benar menghilang."

"Bagaimana mungkin?" tanya Velove sambil bergegas membenahi penampilannya, meraih jaket kulit yang tersampir di sofa dan pergi keluar. "Kau di mana?"

"Kantor."

"Aku segera ke sana." Dan dengan itu Velove mengakhiri panggilan.

Velove berjengit kaget mendapati Dave berada di depan pintunya. "Kau mengejutkanku."

"Kau mau ke mana?" Dave mengangkat satu alisnya. "Sesuatu terjadi?" tanyanya.

"Keira menghilang. Aku akan ke kantor sekarang."

"Aku antar."

"Tidak perlu. Aku bisa naik taksi."

"Izinkan aku membantu, oke? Sekarang yang terpenting Keira dulu."

Dan Velove pun mengalah. Mereka bergegas pergi setelah Velove mengangguk setuju—membiarkannya ikut serta. Semakin banyak yang terlibat, itu akan lebih membantu.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mereka sampai di kantor pusat. Di sana, Alessia dan Arabella sudah menunggu. Wajah ketiganya tidak jauh berbeda, tampak sekali mengkhawatirkan Keira.

"Bagaimana ini terjadi? Semalam Bobby masih melihatnya di bar." Tanya Velove begitu sampai di meja rapat.

"Justru dia menghilang setelah keluar dari bar. Seseorang membawanya pergi."

Hugo selaku peretas terbaik selain Keira ikut menyahut. "Signal menghilang di tengah jalan. Kami kesulitan mengidentifikasi jalur mana yang mereka lalui untuk membawa Keira pergi."

"Apa tidak ada cara lain? Yang lebih efektif."

Hugo kembali menggeleng. "Saat ini kita hanya bisa menunggu signal terbaru. Kalau sampai besok pagi belum muncul juga, kami akan mulai menyebar orang."

"Sekarang. Tidak perlu menunggu besok pagi."

"Agent Logan sudah menyebar. Kita hanya perlu menambah, jadi bisa nanti setelah mendapat titik terang."

Dering ponsel Alessia mengalihkan atensi semua orang. Dari Pamela. Ia menggeser tombol hijau dan menerima teleponnya.

Dari ekspresi Alessia, mereka yakin kalau Pamela sudah mendengar kabar ini. Lalu, Jack yang sedari tadi ikut menyimak mengambil alih ponsel Alessia dan keluar ruangan. Well, biar para tetua yang menyelesaikan masalah mereka.

"Katamu dia bersama Logan, kenapa dia tidak ada saat Keira hilang?"

Velove mengangguk, membenarkan perkataan Alessia. "Kukira juga begitu. Bobby bilang semalam mereka bertemu tapi dia tidak sempat melihat kapan Keira pergi."

"Dari rekaman CCTV terakhir, Keira meninggalkan Logan setelah mereka berdebat." Hugo menjelaskan. "Justru kabar ini kami tahu dari dia." Katanya memberitahu.

Arabella mencibir. "Dia tahu tapi dia kehilangan Keira? Yang benar saja."

"Dia juga dihadang. Selagi Logan meladeni mereka, Keira sudah lebih dulu di bawa pergi. Ini bukan murni kesalahannya."

"Tetap saja. Harusnya Logan bisa lebih waspada setelah Keira hampir celaka karenanya. Tapi sekarang kejadian itu malah terulang lagi."

Velove berdeham. "Yang dikatakan Hugo benar. Di sini bukan hanya kita yang kehilangan, tapi Logan juga. Dia juga pasti sama khawatirnya dengan kita." Katanya mencoba menenangkan.

Seketika, pandangan Girls Knight beralih pada Velove, menatapnya curiga. Apalagi, dia datang bersama Dave pagi-pagi seperti ini.

"Kami tidak akan bertanya dari mana asal luka-lukamu itu." Arabella mulai membuka pembicaraan. "Tapi kau tentu harus menjelaskan bagaimana bisa kalian datang bersama sepagi ini."

Velove melirik Dave yang masih setia membantu Hugo menemukan kadar titik hilangnya Keira sebelum kembali menatap Girls Knight. "Seperti yang kalian tahu, semalam aku berulah lagi. Dan Dave membantuku keluar."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku, Vee."

"Aku bertemu dia."

Dia? "Siapa yang kau maksud?"

"Elle. Kami berkelahi."

Sontak, keduanya melebarkan mata.

"Axelle Wynne? Mantan berengsekmu itu?"

Velove hanya mengangguk singkat. Tidak berminat membahas lagi. Dan mereka pun tahu apa yang membuat Velove sampai sebenci ini pada lelaki itu. Andai dia bukan teman Albyazka Stevano dan Keenan Maxfield—suami Girls Knight, Alessia dan Arabella pasti akan membalasnya. Fakta ini, adalah fakta baru yang mereka ketahui setelah Velove menceritakan tentang Axelle di acara pernikahan Alessia dua tahun lalu.

"Dia memukulmu?!" tanya Alessia tidak terima.

Velove tersenyum miring. "Kami memang memiliki kebiasaan unik. Di saat ada masalah, kami akan berkelahi sampai kelelahan. Dari dulu sudah seperti itu, jadi ini bukan hal baru."

"Tetap saja. Tenaga laki-laki dan perempuan jelas berbeda, Vee."

"Justru itu. Kau tahu, dia yang melatihku sampai seperti ini, dan aku sendiri yang merekomendasikan untuk saling hajar kalau ada masalah."

"Kau aneh."

"Selain melatih diri, itu efektif melepaskan emosi tahu."

Arabella menatap Velove dalam, menarik senyum kecut. "Dan faktanya, kau makin sulit melupakannya."

"Aku tidak tahu."

"Kau tahu, Vee. Setiap kali membicarakan tentang bagaimana kalian dulu, kau masih terus bersemangat. Kau belum benar-benar membuangnya dari hatimu."

Iyakah? Apa selama ini dia persis seperti yang Arabella katakan? Dia tanpa sadar selalu bersemangat setiap kali menceritakan cinta masa remajanya.

"Padahal, Dave jauh lebih baik darinya." Alessia menghembuskan napas berat. "Aku lebih setuju kau dengannya dari pada dengan Elle-mu itu."

"Padahal dulu kau sempat mengaguminya."

"Itu, 'kan sebelum aku tahu sifat berengseknya padamu. Bagiku, kalau laki-laki sudah bermain perempuan, tidak akan ada maaf untuknya lagi."

"Tolong jangan ingatkan itu."

"Setidaknya biarkan Dave mencobanya, Vee." Arabella kembali menyahut. Ia memberi isyarat untuk melihat ke arah Dave. Mencoba membuatnya mengerti kalau semua perhatian yang lelaki itu berikan padanya bukan hanya bentuk kepedulian sebagai rekan kerja.

"Beri dia kesempatan, kalau kau masih tidak bisa baru kau bisa memutuskan untuk tidak."

"Tapi bukankah kalau seperti itu aku sama saja seperti mempermainkannya? Aku tidak mau coba-coba. Apalagi kalau itu tidak berhasil, aku tidak mau melukainya lebih jauh dari yang selama ini kulakukan."

Sebelah alis Alessia terangkat. "Tidak ada bedanya, bukan?"

"Tetap beda, Ale."

"Lokasi Logan terdeteksi." Ucapan Hugo mengambil perhatian mereka.

"Kenapa kau melacaknya?" Alessia bertanya, merasa janggal.

"Mr. Router yang meminta."

"Logan? Kenapa dengan dia?" tanya Arabella mendekat, memperhatikan layar dinding tempat Logan berada.

"Motifnya?" imbuh Velove.

Hugo memperbesar tampilan layar, memperlihatkan kondisi di sana. "Gideon Valmont. Pemimpin Thunder yang sempat lolos kejaran kami. Lebih jelasnya aku tidak tahu."

"Kami akan pergi."

"Ah, Vee!"

"Hm?"

Hugo melemparkan sebuah flash disk yang dengan tangkas Velove tangkap. "Laporan yang kau minta."

"Thanks."

____________________________________
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE,
KOMENTAR AND SHARE YA BABY'S!____________________________

Gimana perasaannya di part ini?

Makin seru atau engga nih?

Yuks, biasakan ninggalin komentar di tiap updatean biar bisa konsisten. Uwuuu🔥

Tentukan kapalmu!

#Tim LeVee (Axelle-Vee)

#Tim DaVee (Dave-Vee)

Salam hangat

Ann

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags