Read More >>"> The DARK SWEET (Chapter 3 - so, can you trust me? ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The DARK SWEET
MENU 0
About Us  

PESAN TERSEMAT📌

_________________________
Hai, Baby's

MINIMAL TAP REACTION, ya!

Follow akun R_Quella juga IG @r_quella99 & @girlsknight.official

Teruntuk cantik&gantengnya TDS, thank you apresiasinya.

Mari kita jaga pacar/kapal kita🤟 (jawab 🤟)
_________________________

 

Terlalu sakit untuk diulang, dan terlalu sulit untuk dilupakan.


Chapter 3~So, can you trust me?

 

“Logan,”

“Apa yang terjadi padamu?” Suara Alessia dan Velove saling bersahutan.

“Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padamu.” Jack Router, ayah Keira meraih kerah jaket Logan yang penuh noda darah. Bau anyir tercium sangat kuat darinya. “Kembalikan putriku!”

Logan meludah asal, dengan satu matanya yang bengkak ia balas menatap Jack dingin. “Maaf membuatmu kecewa, tapi bahkan setelah aku seperti ini aku belum berhasil menemukannya.” Katanya dengan napas berat.

Seluruh tubuh Logan penuh luka. Darah mengalir dari mana-mana. Dan keadaannya tidak bisa dikatakan cukup baik karena itu benar-benar buruk.

“Aku tidak butuh permintaan maafmu.”

“Paman, tenang.” Lerai Velove.

Logan terbatuk, kembali membuang asal ludahnya yang bercampur anyir darah. “Kau boleh menambah lukaku. Aku memang bersalah.” Katanya pasrah.

Lebih dari ini, Logan juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Semua ini di luar kendalinya.

Manik mata Jack memerah. Raut wajah khawatirnya sangat kentara sekali pun pria paruh baya itu mencoba menyembunyikan. “Karena kau putriku selalu dalam bahaya. Kenapa kau keras kepala dan membuatnya bergantung padamu, bajingan. Kenapa kau tidak menjauhinya sejak awal?!” teriaknya penuh rasa takut. Jack ... Benar-benar takut sesuatu terjadi pada putri semata wayangnya.

“Kenapa kau masih bersikeras membawanya ke dalam duniamu? Kau....”

Alessia menyentuh lengan Jack, menenangkannya. “Paman, tolong tenang.”

“Kami harus ke rumah sakit.” Diven, bawahan Logan membuka suara. Dia tidak bisa terus bungkam sedangkan keadaan Logan sudah semakin buruk. “Tolong tunda dulu pembicaraan ini.”

“Kita bisa bicara baik-baik, paman. Tenang dulu, ya.”

“Tidak ada kata baik-baik saja kalau kita bicara. Aku akan memperingatimu sekali lagi, jauhi Keira.”

“Aku tidak akan melakukannya.”

“Logan—”

“Saya benar-benar minta maaf, tapi kami perlu ke rumah sakit sekarang.” Setelah itu Diven benar-benar membawa Logan pergi dari sana.

Kemarahan masih tampak nyata di wajah Jack. Girls Knight tidak tahu bagaimana menenangkannya sementara mereka sendiri juga diselumuti ketakutan. Mereka hanya bisa berdoa untuk keselamatan Keira saat ini.

“Sebaiknya paman pulang dulu. Bibi Pamela pasti sedang menunggumu di rumah.”

Arabella mengulas senyum, berusaha menegarkan dirinya sendiri. “Yang dikatakan Vee ada benarnya paman. Bibi pasti menanti kabar dari paman.” 

“Baiklah. Paman akan kembali, lalu bagaimana dengan kalian?”

“Alby dan Ken sudah diperjalanan. Tidak perlu mengkhawatirkan kami.”

Jack hanya mengangguk dan berpamitan pergi meninggalkan mereka di sana. Situasi ini sangat buruk. Hampir saja Jack kehilangan kesabarannya. Untung saja kemarahannya masih dapat mereka redam walau perlu waktu yang tidak sebentar.

“Kau juga perlu istirahat cukup, Vee. Keadaanmu tidak meyakinkan.”

“Aku tak selemah itu, Ale.”

“Sekali pun benar, kau tetap membutuhkan istirahat yang cukup. Lagi pula, sampai kapan kau akan terus membuang waktu seperti ini, huh? Tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri.”

“Mereka yang menghadangku.”

“Dan kau meladeni mereka.”

“Bukankah itu mobil Dave?”

Pertanyaan Arabella membuat perdebatan keduanya terhenti. Velove mengernyitkan kening, merasa heran mendapati mobil Dave di sini. Mau apa?

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Arabella menggodanya.

Dave mengayunkan ponsel Velove, tersenyum pada mereka. “Vee meninggalkan ini.” Katanya sembari menyerahkan kembali pada Velove.

“Maaf merepotkanmu.”

“Kau tahu aku tak pernah keberatan.” Katanya dengan senyum yang masih setia di wajah.

“Ah, Dave. Apa kau tidak keberatan mengantar Vee pulang? Kami tidak membawa mobil ke sini.”

“Tentu.”

Mata hijau Velove menatap Alessia tajam. “Ale....”

Alessia mengedipkan sebelah matanya. “Terima kasih. Kau baik sekali.”

“Aku bisa memesan taksi.” Velove menghela napas. “Tidak perlu dengarkan Alessia.”

“Tidak perlu sungkan, Vee. Aku sama sekali tidak keberatan.”

“Nah, tunggu apa lagi.” Kali ini, Arabella berinisiatif mendorong Velove lebih dekat pada Dave. “Cepat pulang, kau butuh istirahat tahu.”

“Ara....” desis Velove tajam.

Yes, Baby. Aku juga mencintaimu. Hati-hati di jalan.” Katanya sembari melambaikan tangan dengan wajah tanpa dosa.

Teman-teman yang menyebalkan.

“Mereka lucu.” Komentar Dave.

“Mereka lebih sering membuatku jengkel.” Balasnya dengan malas.

“Setidaknya memiliki teman bisa mengurangi kesepian.”

Velove menoleh ke samping, menatap Dave yang fokus menyetir. “Kau punya teman, ‘kan?” pertanyaan Velove meluncur tiba-tiba. Reaksi umum ketika dia mendengar keanehan dari nada suara Dave barusan.

“Aku harap bisa memilikinya.”

“Kau tidak punya teman?” tanya Velove sedikit terkejut.

“Aku ingin, tapi pekerjaanku membuatku tidak bisa menaruh rasa percaya pada sembarang orang.” Dave tersenyum ke arah Velove, sangat tipis hingga tidak tampak seperti dia baru saja melempar senyum. “Setidaknya satu orang yang bisa kuajak mengobrol. Tapi sepertinya sulit menemukan teman yang benar-benar bisa menjadi teman.”

“Sepertinya kau telah melewati masa yang cukup sulit.”

“Tiap kali berpindah tugas, kita pasti bertemu orang baru. Tapi sebagian banyak yang lebih sering kutemi adalah pengkhianat. Mendekati karena motif.”

Velove mengangguk setuju. “Kita sering berjumpa dengan banyak orang, dan tidak semuanya bisa setia dan dipercaya. Yah, aku tahu rasanya.”

“Kau pernah?”

“Aku berharap tidak, tapi itu suatu yang mustahil dalam hidup, bukan?”

“Kau banyak bicara hari ini.”

Velove terdiam. Menyadari kebenaran itu.

“Aku senang kau meresponsku.”

Mobil Dave berhenti di pelataran apartemen Velove. Perempuan itu melepas sabuk pengaman, melirik Dave yang memperhatikannya.

Seulas senyum muncul di bibir, Dave. “Kenapa?”

“Hubungi aku kalau kau butuh teman mengobrol. Aku memang tidak banyak bicara, tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik.” Ucap Velove membuat Dave menatapnya lama.

“Jadi, kau bisa kupercaya?”

“Untuk itu putuskan sendiri.” Lalu, Velove keluar dari mobil, mengulas senyum setelah mengucapkan terima kasih. “Take care.”

Baru beberapa langkah panggilan Dave menghentikan Velove. Perempuan itu berbalik, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Ya?”

“Terima kasih.”

Eh! Untuk apa? “Aku tidak melakukan apa-apa.”

“Bicara denganmu membuatku ringan.”

Ah ... Oke.”

“Selamat malam. Mimpi indah.”

Velove mengangguk ragu. “Ehm, ya. Kau juga.” Jawabnya dengan kaku. Berkedip dua kali mendapati senyum tulus Dave sebelum mobilnya melaju pergi.

Helaan napas panjang Velove berembus. Tanpa ia sadari sejak tadi dia menahan napasnya. Ada apa ini? Dia tidak benar-benar membuka celah untuk Dave, ‘kan? Atau ini hanya sebatas perasaan nyaman karena mereka berbagi cerita. Ya, mungkin karena itu.

 

✨✨✨

 

Usai membersihkan dirinya, Velove mengambil red wine dan membawanya ke balkon kamar. Menyesap minumannya dan menikmatinya perlahan.

Katanya, cinta pertama seseorang itu nyaris berhasil untuk bersama. Lalu, kenapa membuka hati untuk orang baru masih terasa salah? Padahal, mereka sudah berakhir bertahun-tahun lamanya.

Apa hubungan kalian benar-benar berakhir saat itu?

Sial. Dari mana asal suara ini. Tetapi, sepertinya memang ada yang janggal.

Apa kau sudah merelakannya?

Velove mengepalkan tangan. Mengabaikan pertanyaan yang entah berasal dari mana itu.

Rela ... Kalimat merelakan itu sebenarnya apa?

“Temperamenmu benar-benar buruk.”

Velove melirik sinis laki-laki bermata biru di sampingnya, menjawab ketus. “Aku tak butuh komentar dari pria dingin sepertimu.”

“Aku tahu. Kau lebih menyukai pelukanku dari semua hal yang kukatakan untukmu.”

“Percaya diri sekali.”

“Apa aku salah?”

“Kurang tepat.”

“Lalu?”

“Tidak ada lalu.”

Velove menyingkirkan tangan Axelle, duduk di depannya, menyandarkan  kepalanya dengan kaki yang ditimpa Axelle. Perempuan itu meringsek, mencari posisi nyaman.

“Elle....”

“Hm?” tanya Axelle sembari merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Velove.

“Tidak jadi.”

Axelle menyentuh wajah Velove, mendongakkan ke arahnya dan mencium bibirnya ringan. “Jangan membuatku berspekulasi. Aku bodoh dalam bahasa cinta.”

“Akui saja kalau kau memang bodoh.”

Dua kecupan mendarat di bibir Velove, membuat perempuan itu terkekeh geli. “Setidaknya masih ada gadis bodoh yang menyukai si bodoh ini.”

Velove tersenyum kecil, menarik cuping telinga Axelle gemas. “Siapa bilang aku menyukaimu?”

“Jadi kau tidak menyukaiku?”

Velove menggeleng kuat. Membuat Axelle menatapnya seolah ingin menerkam.

“Aku tidak menyukaimu. Aku hanya mencintaimu.”

“Kau ini benar-benar, ya....”

Mereka tertawa riang, tersenyum seperti remaja yang tengah di mabuk asmara pada umumnya.

“Elle....”

“Jangan bilang tidak jadi lagi.” Katanya memperingatkan. Hal yang mana membuat Velove tidak kuasa menahan senyumnya.

“Yah, ketahuan.” Katanya ringan. Ia mengambil jeda, memfokuskan pandangannya ke depan. “Sebentar lagi hari jadi kita yang ke-2.”

“Lalu?”

“Ish... Kau tidak punya kosakata selain lalu apa?” protesnya jengkel.

Axelle terkekeh lembut. Menumpukan dagunya pada puncak kepala Velove tanpa melepaskan genggamannya. “Hm, jadi?”

“Axelle Wynne!”

“Yes dove, take me your husband.”

“Kau memang menyebalkan.”

“Aku menyukai hubungan kita yang seperti ini. Sudah menjadi tugasku untuk menjagamu. Tolong berhenti berpikir yang tidak-tidak.”

“Tapi—”

Axelle memberikan sebuah kotak berisi cincin rhodium hitam dengan ukiran disepanjang sisi.

“Sepertinya aku harus memberikan hadiah ini lebih awal.”

Velove berkedip, menatap kotak cincin dan Axelle bergantian. “Kenapa harus cincin?”

“Aku tidak mau kau menyerahkan dirimu karena hubungan kita yang sudah berjalan lama. Aku bersedia menunggu waktu di mana kau siap melakukan itu karena kau memang mencintaiku, bukan karena seberapa lama hubungan yang sudah kita miliki.”

Axelle menarik Velove ke atas pangkuan, menyematkan cincin rhodium itu ke jari manisnya.

“Elle,”

“Sebagai gantinya, aku ingin kau menjaga cincin ini untukku.” Senyum simpul Axelle nampak tulus dan penuh makna. “Lihat, aku juga memilikinya. Aku akan berusaha menjaganya seperti aku menjagamu.”

Mata hijau Velove berkaca-kaca. Ia menarik Axelle dan menciumnya lembut, penuh perasaan yang cukup mendebarkan untuk keduanya.

“Aku mencintaimu.” Gumam Velove terharu.

“Aku selalu mencintaimu.”

Satu butiran bening itu lolos tanpa bisa Velove cegah. Dengan sadar ia masih menggenggam cincin yang menggantung di lehernya, mengingat jelas bagaimana romantis dan indahnya cerita cintanya di masa remaja. Dulu, dia masih terlalu muda dan cukup bodoh untuk memercayai kata-kata manis yang pernah Axelle katakan padanya.

Velove ... Membenci dirinya sendiri yang begitu naif. Percaya dan terbuai dengan semua yang pernah lelaki berengsek itu ucapkan. Mungkin, saat ini Axelle merasa senang karena berhasil membodohinya dan membuatnya sulit bangkit.

Dikhianati oleh seseorang yang sudah kita percaya sepenuh hati itu rasanya sangat menyakitkan. Lebih sakit dari sekedar kita tahu dia sudah tidak mencintai kita lagi.

Getaran ponsel di atas meja membuat Velove keluar dari kesedihan yang berkali-kali berhasil mengendalikan tubuh dan otaknya.

Kita menemukannya.” Ucap Hugo memberitahu.

Thanks, God.” Velove mengembuskan napas lega. “Aku ke sana sekarang.”

Tidak. Kau istirahat saja dulu. Kami di sini masih menyiapkan rencana.”

“Kita tidak pergi sekarang?”

Jangan gegabah. Dia pasti sudah mengantisipasi, jadi kita perlu memperhitungkan dengan pasti. Besok kukabari lagi.” Katanya mengakhiri panggilan.

Velove menyesap anggurnya nikmat, berusaha keras mengenyahkan bayangan masa lalu yang sempat melintas di pikirannya. Ya, setidaknya dia perlu menyibukkan diri untuk tetap menjaga kewarasan.

“I really hate you, jerk.”

 

____________________________________
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE,
KOMENTAR AND SHARE YA BABY'S!_________________________________

Yang mau baca duluan langsung ke karyakarsa 🆗

Gimana perasaannya di part ini?

Tentukan kapalmu!

#Tim LeVee (Axelle-Vee)

#Tim DaVee (Dave-Vee)

Salam hangat

Ann💙

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags