Aku yang meminta pisah, aku juga yang terluka parah~
—Chapter 1~MEET again—
"Kau hobi sekali keluar-masuk penjara." Suara Dave Johnson, lelaki tinggi bermata biru itu membuat senyum tipis Velove Agnieszka—perempuan bermata hijau dengan rambut cokelat sedada itu menghias wajahnya.
Bagi Velove, penjara sudah seperti tempat bermainnya. Dia bahkan bisa mengobrol santai dan bertegur sapa dengan narapidana berikut dengan polisi yang sedang bertugas setiap kali dirinya harus memasuki jeruji besi. Jadi, semua ini bukan perkara asing buatnya.
Dave menghentikan langkahnya di anak tangga terakhir, membuat Velove lantas berhenti dan menatapnya dengan satu alis terangkat.
"Apa kau terluka?" tanya Dave sembari memeriksa tubuh Velove—memastikan dirinya baik-baik saja. "Aku sudah sering memperingatkanmu—"
"I'm fine." Jawab Velove tanpa menunggu Dave menyelesaikan ucapannya. Perempuan itu bahkan menahan tangan Dave yang hampir menyentuh luka di bibirnya. "Maaf merepotkanmu." Katanya dengan tersenyum tipis.
Sejenak, senyuman Velove mampu membuat Dave terpaku. Bertahun-tahun menjadi pengangum rahasia Velove membuat Dave kerap kali terpesona dengan segala ekspresi yang Velove tunjukkan. Pasalnya, Velove Agnieszka bukan seorang perempuan yang mudah menebar senyum. Velove juga tidak sembarang menanggapi orang lain, sekali pun dia mengenalnya.
Velove, perempuan dingin dan tertutup. Tidak banyak yang tahu mengenai dirinya selain Girls Knight. Bahkan, sekali pun itu keluarganya, Velove tetap menjadi seorang yang tak tersentuh. Dia selalu membentengi dirinya dari berbagai hal—termasuk perhatian Dave.
"Kau tahu aku tak pernah keberatan. Aku senang bisa membantumu." Dave mengulas senyum lebar, tampak sekali dia kesenangan. Namun, senyumnya perlahan luntur begitu Velove menghentikan Dave yang berniat membuka pintu mobil untuknya. "Kenapa?"
"Kita berpisah di sini saja. Aku mau pergi minum."
"Aku bisa menemanimu." Kata Dave menawarkan.
Velove menggeleng pelan. "Maaf mengecewakanmu. Tapi aku ingin sendiri."
Lagi?
Tidak ingin membuat Velove risih, Dave mengangguk. Senyum kecil lelaki itu tampak sekali dipaksakan. Meski begitu, Velove tidak merasa bersalah sedikit pun. Terbukti dengan dia yang melenggang pergi begitu saja setelah mendapat persetujuan Dave—meninggalkan lelaki itu di pelataran kantor polisi.
Dasar tidak berperasaan.
Velove menghentikan taksi, menyebutkan alamat tujuannya dan menyandarkan punggungnya ke belakang. Kelopak mata perempuan itu terpejam, terlihat lelah dengan siklus keseharian yang hampir setiap hari terulang.
Sebenarnya Velove tidak benar-benar menghindari Dave. Lelaki itu baik, baik sekali padanya. Masalahnya, setiap kali Velove menatap ke dalam mata lelaki itu, ingatan Velove langsung tertuju pada satu nama yang masih tersemat di lubuk hatinya yang terdalam. Sekuat tenaga Velove berusaha melupa, tetapi faktanya dia benar-benar kesulitan. Sosok lelaki berengsek itu masih di sana, membayanginya bahkan setelah hampir delapan tahun mereka berpisah. Semua ingatan itu ... Bagai mimpi buruk.
"Sudah sampai, Nona."
Suara sopir taksi membuat Velove keluar dari lamunan. Selesai membayar tagihan, perempuan itu bergegas masuk ke kelab-menempati bangku yang sempat dia singgahi beberapa jam lalu sebelum tertangkap polisi.
"Beri aku satu gelas."
"Kau kemari lagi." Bobby—bartender kenalan lama Girls Knight mengerutkan kening, menatap Velove aneh. "Tadi kau masih baik-baik saja, kenapa sekarang kau punya luka?"
Tanpa sadar Velove menyentuh sudut bibirnya yang sempat mendapat pukulan dari lawan tarungnya. Ia terkekeh pelan, menarik gelas pemberian Bobby dan meneguk isinya hingga tinggal separuh. "Bagus, ya?" tanyanya.
Bobby menggeleng tidak habis pikir. "Bagus dari mananya? Lagipula, sejak kapan kau membiarkan wajahmu terluka? Katamu, wajah adalah investasi masa depan yang sangat kau lindungi."
"Itu benar."
"Lalu itu apa? Darahmu bahkan sudah mengering."
"Cerewet." Velove mendengus, mengulurkan gelasnya meminta di isi lagi.
Meski menyebalkan, Bobby tetap memaklumi. Dia sudah sangat hapal dengan karakter Velove yang seperti ini. Sudah tidak membuatnya heran. Lalu, ia teringat pada Keira. "Keira tadi juga ke sini." Katanya memberitahu.
Velove langsung teringat akan panggilan Keira yang sempat dia abaikan. Ia lalu mengaktifkan ponselnya dan mendapati dua panggilan lain di susul pesan singkat yang Keira kirimkan.
"Dia sudah pulang?" tanya Velove heran. Ini bahkan belum genap tengah malam dan Keira sudah meninggalkan kelab.
Bobby kembali menggeser gelas ke arah Velove, menumpukan lengannya di meja bar. "Dia sama sepertimu. Aku tidak tahu pasti jam berapa dia pergi, tapi seorang pria terus memperhatikannya."
Velove menegakkan tubuh, menatap Bobby tertarik. "Kau mengenalnya?" sekali pun terkenal dengan sikap dinginnya, Velove tetap perhatian. Selagi itu bersangkutan dengan Girls Knight, maka Velove akan berubah hangat dan menyenangkan.
"Teman mantan kekasihmu. Aku lupa pasti siapa, yang jelas salah satu dari mereka."
Teman mantan kekasih, heh?
Velove tahu siapa yang Bobby maksudkan, tetapi kenapa harus menyebut kata mantan kekasih? Membuatnya hilang mood saja.
"Apa Keira pergi dengannya?"
"Aku tidak melihatnya pergi, jadi aku tidak tahu."
Penggalan informasi dari Bobby tidak membuat Velove merasa tenang. Seperti yang pria itu katakan tadi, keadaan Keira tidak jauh berbeda darinya. Itu artinya Keira tidak sedang baik-baik saja.
Velove berusaha menghubungi nomor Keira tetapi tidak aktif. Ke mana dia?
"Wajahmu persis sepertinya ketika aku memberitahunya kau sempat kemari."
Sebelah alis Velove terangkat, meminta penjelasan.
"Dia nyaris pergi sebelum aku memberitahunya teman mantan kekasihmu melihatnya terus-menerus."
"Berhenti menyebut kata mantan kekasih, Bob. Namanya Logan Hywell."
Bobby terkekeh pelan. "Aku, 'kan tidak tahu."
"Sekarang kau sudah tahu." Balas Velove malas.
"Lukamu harus diobati, Vee."
Hening.
"Kau yakin tidak mau mengobati Lukamu?" tanya Bobby yang kembali Velove abaikan. Alih-alih menerima sarannya, Velove malah mengibaskan tangannya—memberi gerakan mengusirnya.
Dasar tidak berperasaan.
Mengabaikan semua kegundahan hatinya, Velove kembali meneguk habis gelas ketiganya. Selama ini, Velove menyadari bahwa dia selalu menutup diri. Dia bukan trauma. Hanya saja, mencari pengganti yang mampu memahami dirinya sangat sulit sekali. Sudah lewat bertahun-tahun namun Velove tetap belum menemukan seseorang yang mampu menandingi kepeka-an mantan berengseknya.
Sebenarnya, apa bagusnya dirinya, sih? Kenapa dia seberarti ini untuk hatinya yang rentan?
Beberapa saat kemudian Velove sudah larut dalam dentuman musik. Meski ia menyandarkan kepalanya pada lipatan tangan, anggukan kepala perempuan itu masih menyambut hingar-bingar nada yang seakan mengundangnya untuk menari. Merasakan elusan tangan seseorang menyentuh pundaknya, dengan refleks Velove memutar lengan lelaki itu, menahannya di meja bar. Memicu sedikit keributan.
"Jangan sembarangan menyentuhku."
"Akh!" lelaki itu berteriak, melirik Velove kesal. "Lepaskan aku, bitch."
Senyum mencemoh Velove tersungging, kentara sekali hingga membuat lelaki itu merasa terhina.
"Bitch!" lelaki itu berteriak lagi. Kali ini lebih keras karena Velove sengaja mematahkan tulang lengannya.
"Kalau pun aku jalang, kau tidak akan sanggup membayarku, bajingan!" Lalu, Velove pergi begitu saja tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Memang siapa yang peduli? Itu sepadan dengan hinaan tak berdasar yang bajingan itu tujukan padanya. Jangan karena dia perempuan, laki-laki bisa memandangnya remeh. Well, dia belum tahu saja siapa dirinya.
Mood buruk Velove kembali. Niat hati ingin melepas stres, bajingan itu malah membuatnya kesal. Kira-kira, kegiatan apa yang menyenangkan untuk dilakukan sekarang?
Kau punya red place.
Ah! Seketika bisikan dewi batin Velove membuat perempuan itu menyeringai. Benar. Dia masih memiliki red place untuk semua emosinya.
Di tengah perjalanannya, Velove dikejutkan dengan suara teriakan seseorang yang cukup familiar di telinganya. Velove mencoba menekan dirinya sendiri. Mengabaikan halusianasinya. Sayangnya, teriakan-teriakan lain kembali menyadarkan Velove kalau itu bukan halusianasinya.
Kemudian Velove mencari sumber suara, menyelinap ke sebuah rumah gubuk yang hanya terdapat lampu temaram. Ia mengedarkan pandangan-memperhatikan sekeliling yang sepi sebab gubuk tua ini berada di antara gang-gang kecil yang buntu. Velove mulai mengendap-endap, mengintip dari celah lubang pintu dan melihat sosok yang dia kenal benar-benar tersekap di dalam.
Apa yang terjadi padanya?
Dalam kekalutannya, Velove masih mencoba menimbang.
Haruskah dia masuk?
Haruskah dia menolongnya?
Untuk apa? Pertanyaan itu datang dari logikanya yang sudah setengah sadar. Velove membenarkan. Untuk apa dia repot-repot kalau hubungan mereka saja sudah berakhir sejak lama?
Dan Velove benar-benar beranjak pergi, menjauh dari gubuk tua itu. Sayangnya, suara terbatuk lelaki di dalam sana membuat langkah Velove kembali terhenti.
Persetan! Kalau mereka memang masa lalu memangnya kenapa? Saat ini dia hanya perlu menjadi manusia yang berguna untuk orang lain dan melupakan esok. Pada akhirnya, Velove kembali ke sana dan mendobrak pintu tua itu hingga terpental jatuh.
"Dove...." lirih lelaki itu.
Velove hanya melirik lelaki itu sekilas sebelum kemudian orang-orang bersetelan hitam itu mulai menyerangnya.
"Siapa kau?!"
"Kau tidak perlu tahu siapa aku." Velove menyeringai, menendang jatuh sebuah pistol di tangan pria berkulit gelap yang kini dia jatuhkan ke lantai. Velove mengambil alih pistol itu dan mulai menembak beberapa yang lain sambil terus bertarung dengan lawan terdekat.
Velove menarik seorang pria untuk melindunginya dari gencatan senjata, menjadikannya tameng dari serangan yang kini menyerang dirinya. Tatapan fokus dan insting tajam Velove berhasil melumpuhkan mereka sebagian. Seakan sudah memperhitungkan, Velove segera mendekat ke arah kursi dan melepas ikatan lelaki itu dan kembali menyerang begitu selesai.
"Vee—"
"Jangan sampai aku mati konyol di sini." Sela Velove cepat. Seakan menegaskan kalau dia tidak ingin bicara.
Benar. Velove hanya perlu menyelesaikan ini lalu pergi. Dia tidak harus meladeni lelaki itu.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?" mengabaikan perkataan Velove, lelaki itu tetap mencoba mengajak Velove bicara sekali pun mereka sedang berada di tengah-tengah lawan. "Vee...."
"Bisa diam tidak? Selesaikan saja dengan cepat." Katanya dan mereka kembali menyerang. Kali ini pertempuran tanpa senjata. Velove membabat habis pria-pria berbadan besar di bagian timur sementara lelaki di belakangnya menghabisi bagian barat.
"Belum ada semalam aku sudah olahraga dua kali. Haish...." gumam Velove yang masih terdengar.
"Kutebak kau habis keluar dari penjara lagi."
Velove mendengkus. "Bukan urusanmu."
"Kapan kau mau berubah, Vee?"
"Kubilang bukan urusanmu!" Pukul Velove tepat di tulang pipi lelaki itu.
Lelaki itu menyeringai, meludah ke sembarang arah. "Pukulanmu sudah lebih baik." Katanya membuat Velove kesal. Lelaki ini masih saja menyebalkan. Mengabaikannya, Velove kembali menghabisi orang-orang yang tersisa. Melampiaskan kemarahannya.
"Vee—"
"Diam!"
Dalam diam senyum lelaki itu terbit. Meski sangat tipis, arti dari sebuah senyumannya sudah menjadi jawaban berarti.
Selesai menuntaskan mereka semua, keduanya menghadap satu sama lain—saling bertatapan. Napas keduanya memburu, tampak sekali kelelahan. Dan tanpa mengatakan apa-apa Velove pergi dari sana. Tapi belum sempat melangkah keluar dari pintu, lelaki itu menahannya.
"Kita butuh bicara."
Velove menyentak lengan lelaki itu, menatapnya dingin. "Tidak ada lagi yang perlu di bicarakan."
"Tentang malam itu—"
Bugh!
Satu tinju Velove kembali mengenai pipi lelaki itu. Membuatnya diam. Keduanya kembali bertatapan, saling menatap penuh dengan sejuta kata-kata yang tak mampu terucapkan.
"Tidak ada." Jawab Velove tegas. Kali ini, Velove melangkah mundur dua kali begitu tinju lelaki itu mengenai dirinya.
"Inikan yang kau mau?"
Velove tersenyum miring. Dan di detik berikutnya mereka sudah terlibat baku hantam. Saling melempar tinju dan tendangan. Keduanya tampak tidak mau mengalah. Terlihat sangat penuh dendam yang nyata.
Keadaan mereka tak jauh berbeda. Lebam dan luka di mana-mana, tetapi itu cukup mengurangi rasa kesal karena mereka bertemu kembali setelah sekian lama.
"Kau tidak lelah, Vee?"
"Kau yang lari. Kenapa harus aku yang lelah?" Velove bangkit, meringis pelan begitu ngilu di bibirnya begitu sangat terasa. Kebas. Pipi Velove seperti mati rasa. Sialan! Sebenarnya separah apa mereka berkelahi tadi?
"Kau juga menghindariku."
"Aku tak pernah menghindari siapa pun. Termasuk kau." Katanya lalu pergi dari sana.
Dengan langkah tertatih Velove mencoba sembunyi, berusaha keras menahan air matanya yang mendesak keluar. Dia berjongkok di bawah pohon besar, meringkuk—memeluk lututnya menyembunyikan isak tangisnya. Air matanya meluruh tiba-tiba. Sangat tiba-tiba hingga membuat Velove kesulitan menahan dirinya.
Mengapa?
Sudah sekian lama kenapa mereka harus bertemu kembali?
Pertanyaan Velove hanya mengendap di kepala. Terjebak nostalgia. Isak tangis Velove terdengar menyakitkan, membuatnya tanpa sadar meremas dadanya sendiri. Sakit.
Apa melupakan harus sesakit ini?
"Apa aku menyakitimu?" lelaki itu berjongkok di hadapan Velove, menemukannya di balik pohon. "Vee, katakan padaku—"
"Pergi!" teriak Velove dengan suara bergetar. Tidak, Velove tidak bisa menghentikan dirinya.
"Vee—"
"Kubilang pergi!"
"Velove Agnieszka!"
Bugh. Suara tinju di depannya membuat Velove mengangkat wajahnya, dan terbelalak mendapati Dave berada di atas tubuh lelaki itu.
"Dave, stop!"
"Dia menyakitimu, Vee."
"Tidak. Aku yang menyakiti diriku sendiri." Jawabnya sambil menyeka pipinya.
"Vee, kau masih mau membela bajingan ini?" cengkraman Dave masih berada di kerah kemeja lelaki itu sementara satu tangannya yang lain terhenti di udara.
"Dave, tolong hentikan."
"Tapi—"
Velove berkedip, mengulum bibirnya. "Bawa aku pergi."
Dave menatap Velove terkejut. Bukan karena permintaannya, tapi bagaimana perempuan itu merasa enggan melihat ke arah lelaki di bawahnya. Lantas, ia segera bangun dari atas tubuh lelaki yang tidak ia ketahui namanya itu dan membantu Velove berdiri—menuntunnya ke mobil.
"Kau membuatku khawatir." Dave mengembuskan napas panjang, membantu Velove memasang sabuk pengaman. "Siapa pria tadi, Vee?"
Tidak ada sahutan.
Dave mengangguk pelan. "Lupakan."
"Maaf aku merepotkanmu lagi," Alih-alih menjawab pertanyaan Dave, Velove memilih memejamkan matanya, berusaha keras tidak menangis lagi.
Dan, Dave? Tentu saja hanya bisa menghela napas sabar menghadapi Velove yang memang seperti ini.
____________________________________
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE,
KOMENTAR AND SHARE YA BABY'S!____________________________________
Gas, ga? Jawab Ngenggg!
Gimana perasaannya di part ini?
Udah seru atau belum nih?
Yuks, biasakan ninggalin komentar di tiap updatean biar bisa konsisten. Uwuuu🔥
Tentukan kapalmu!
#Tim LeVee (Axelle-Vee)
#Tim DaVee (Dave-Vee)
Salam hangat
Ann💙