Read More >>"> KLIPING 2 (DAGELAN PENGUNDANG AIR MATA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - KLIPING 2
MENU
About Us  

Sedianya hari ini Pak Raskin akan datang ke kantor PLN guna mengurus pemasangan jaringan listrik di rumahnya. Karena di RT wilayah tempat tinggalnya, hanya rumah Pak Raskin yang belum pasang listrik. Maklum, Pak Raskin memang orang yang tak punya. Ia hanya seorang Guru Honorer di sebuah SD kecil tak jauh dari tempat tinggalnya. Honornya sebulan hanya dua ratus ribu. Tapi tugas dan tanggung jawabnya sama besar atau boleh dibilang lebih besar dari guru-guru yang sudah PNS dan dapat tunjangan sertifikasi.   

Dengan honor yang tak seberapa itu, Pak Raskin masih harus menghidupi seorang istri dan dua orang anak yang sudah SMP dan SMA. Sungguh sulit dibayangkan bagaimana ruwetnya kehidupan keluarga Pak Raskin. Entah bagaimana mereka mempertahankan hidup dengan penghasilan yang jauh dari cukup. Sementara pemerintah seakan membuta saja, belum juga memberi solusi untuk mengangkat Pak Raskin dan guru honorer yang lain jadi pegawai negeri agar mereka bisa mentas. Terbebas dari garis kemiskinan yang kejam. 

Dan selama ini, untuk penerangan rumahnya Pak Raskin masih nyalur dari tetangga sebelah. Beruntunglah, dua hari yang lalu ada saudara Pak Raskin yang terketuk hatinya. Dia baru pulang sebagai TKW di Hongkong. Lantas memberi Pak Raskin sejumlah uang agar listrik di rumah pak Raskin bisa segera dipasang. 

Tapi kiranya rencana Pak Raskin itu harus tertunda dahulu. Hari ini ia batal ke kantor PLN karena tadi ada undangan mendadak dari kecamatan. Kalau tidak salah akan ada pengarahan tentang Gerakan Hemat Energi dengan pembicara beberapa orang penting dari kabupaten dan dinas terkait. 

“Akh, tak apa. Tertunda sedikit kan gak masalah.” Begitu batin Pak Raskin guna menghibur dirinya.  

Jujur, sebenarnya Pak Raskin juga enggan menghadiri acara semacam itu. Tapi mau bagaimana? Yang memberi perintah adalah atasannya, Bapak Kepala Sekolah. Jadi ya terpaksa Pak Raskin tak bisa menolaknya. Sebagai guru honorer ia harus sendiko dawuh pada apa pun yang ditugaskan kepala sekolah padanya. 

Maka dari itu, begitu bel berbunyi dan murid-murid selesai berbaris di halaman, Pak Raskin buru-buru masuk ke ruang kelasnya. Baru saja Pak Raskin duduk, seorang siswanya langsung memberi komando untuk mengucap “Selamat pagi, Pak” dan pak Raskin menjawabnya dengan wajah berseri. Hal pertama yang dilakukan setelah itu adalah mengabsen kehadiran siswanya. Baru setelah itu ia memberikan tugas karena sebentar lagi harus meninggalkan kelas.  

Pak Raskin memang orang yang rajin dan disiplin. Ia selalu tepat waktu dan berusaha on time. Karena undangan dari kecamatan yang diterimanya dimulai jam setengah delapan, maka jam tujuh seperempat, ia pun berangkat. 

Dan entah karena Pak Raskin yang terlalu rajin atau memang jam orang lain yang suka ngaret, begitu tiba di kantor kecamatan, baru sedikit orang yang datang. Padahal jam tepat menunjukkan pukul setengah delapan. 

Oh, Pak Raskin mendesah. Dipaksanya untuk tersenyum ketika menyalami beberapa orang yang ia jumpai. Dan tanpa banyak kata lagi, Pak Raskin duduk di deretan kursi paling depan yang sama sekali belum terisi. 

Jam 08.00 acara baru dimulai, meski kursi yang tersedia belum sepenuhnya terisi. Acara dibuka oleh ketua panitia dan dilanjutkan oleh sambutan dari pak Camat sebagai tuan rumah. 

Pak Raskin tak begitu memperhatikan awal-awal acara itu. Ia malah sibuk memikirkan siswa yang ditinggalkannya. Ketika memasuki acara inti, barulah Pak Raskin berusaha menyimaknya dengan seksama. Bahkan sesekali ia tulis hasil presentasi dari para nara sumber yang dianggapnya bermakna. Yang pertama, nara sumber dari seorang pegawai kabupaten yang berkompeten dari masalah Sumber Daya Alam dan Energi.  

“Dalam UUD 1945 ada satu pasal yang menyangkut tentang sumber daya alam. Di sana dijelaskan bahwa segala hal yang menguasai hajat hidup orang banyak akan dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyatnya. Itu artinya bahwa negara berhak mengelola segala jenis sumber daya alam demi kemakmuran rakyatnya. Hal itu dilakukan agar, apa yang menjadi hajat hidup orang banyak itu tidak jatuh ke tangan swasta yang bisa mengakibatkan permainan harga yang sepihak dan tak terjangkau oleh masyarakat kita.”  

Kemudian yang kedua, pidato dari seorang kepala PLN tingkat kabupaten.  

“Hadirin yang terhormat, beberapa bulan yang lalu PLN pernah memberlakukan pemadaman bergilir. Itu dikarenakan ada beberapa pembangkit listrik yang mengalami keterlambatan pemasokan batu bara. Sehingga proses produksi listrik menurun.  Untuk itu, kami mohon kepada masyarakat agar menghemat pemakaian listrik terutama pada waktu beban puncak yaitu antara jam lima sore sampai jam 10 malam. Matikan lampu dan peralatan elektronik yang tidak begitu penting pada saat itu. Atau pergunakan selalu lampu hemat energi. 

Di samping itu kami juga terus berusaha menertibkan pemasangan lampu jalan raya. Termasuk pencegahan pencurian strom sekarang marak di mana-mana.  Apalagi tahun ini telah dicanangkan Gerakan Hemat Enenrgi. Untuk itu PLN siap mendukungnya dengan tetap memberikan pelayanan yang terbaik dan terhemat untuk masyarakat Indonesia.” 

Plok plok plok …! Tepuk tangan menggema ke segenap penjuru ruangan. Tak terkecuali Pak Raskin ikut bertepuk tangan sembari berharap semoga apa yang baru saja didengarnya tadi bukan cuma slogan kosong, seperti janji wakil rakyat dalam pemilu yang baru lewat.   

                                                              ***

 

Esok harinya, barulah Pak Raskin punya kesempatan untuk datang ke kantor PLN. Kebetulan hari itu jam pertama hingga istirahat, kelas Pak Raskin waktunya pelajaran agama. Sehingga Pak Raskin punya sedikit waktu luang. Yah, kalau lagi tidak ada kepentingan sih biasanya waktu seperti itu digunakan oleh Pak Raskin untuk mengerjakan administrasi mengajarnya. Atau mengisi kelas lain apabila ada salah seorang teman guru yang tidak masuk atau lagi ada acara. 

Berbekal izin dari kepala sekolah maka Pak Raskin pun berangkat ke kantor PLN guna mengurus kepentingannya yang dari kemarin tertunda. Besar harapan Pak Raskin semoga ia mendapatkan harga murah dan hemat seperti yang disampaikan dalam seminar kemarin tentunya.  

Tiba di kantor PLN, suasana sudah ramai. Semua pegawai nampak sudah standbay di kursi kerjanya masing-masing. Pak Raskin langsung menghadap ke bagian informasi.

“Selamat pagi, Pak,” sapa petugas informasi ramah. 

“Pagi,” sambut pak Raskin lembut pula. 

“Ada apa, Pak? Kalau mau bayar listrik, bisa langsung ke loket satu,” kata orang itu sambil menunjuk ke ruangan yang ada di ujung barat. 

“Oh, tidak Pak. Saya hanya mau ….”   

Belum selesai Pak Raskin bicara, orang itu langsung memotongnya. 

“Mengadukan gangguan listrik di rumah Bapak?”  

Pak Raskin menggelengkan kepala.

“Lalu ada apa Pak kalau begitu?” 

“Daftar pemasangan jaringan baru.” 

“Oo,” desah orang itu dengan senyum. 

“Di mana tempatnya, Pak?” 

“Di bagian layanan. Sebelah selatan loket satu. Temui saja pak Yuli atau pak Dino.”

“Baik Pak, terima kasih.” 

“Sama-sama.” 

Pak Raskin berjalan melewati loket satu yang tampak sudah ramai. Banyak orang antri hendak membayar rekening listrik bulan ini. Tepat di depan pintu ruang layanan, Pak Raskin sudah disapa seseorang.

“Cari siapa, Pak?” 

“Pak Yuli.” 

“O, saya sendiri. Mari silakan masuk.”  

Pak Raskin pun masuk dan langsung duduk di kursi yang telah tersedia. 

“Ada perlu apa, Pak?” tanya pak Yuli ramah. 

“Saya mau pasang listrik, Pak.” 

“Oh ya ya, bisa. bisa.” 

“Ee … berapa biaya pemasangannya, Pak?”

“O, itu tergantung daya yang Bapak minta.” 

“Maksudnya?” 

“Begini, Pak. Untuk pemasangan jaringan baru, PLN hanya melayani yang 900 watt, 1200 watt, dan 2500 watt. Jadi terserah Bapak mau pilih yang mana?”    

Pak Raskin terhenyak. Ia nampak mikir-mikir sejenak.  

“Bagaimana, Pak?” tanya pak Yuli agak mendesak. 

“Ee … maaf Pak, apa yang 450 watt tidak ada?”  

Sebelum menjawab Pak Yuli tersenyum. 

“Wah, sekarang sudah tidak ada Pak. Pemasangan paling kecil 900 watt.Tapi ini juga murah kok Pak. Biaya beban perbulan hanya delapan belas ribu. Jadi hanya selisih sedikit dengan yang 450 watt.” 

“Iya Pak, saya tahu. Tapi … saya orang gak punya Pak. Saya hanya seorang guru honorer. Honor saya sebulan hanya tiga ratus ribu. Jadi kalau yang sebesar itu, saya takut gak kuat bayar bulanannya. Jadi tolonglah Pak, tidak bisakah orang kecil seperti saya diberi prioritas agar dapat pasang yang 450 watt saja.” 

Lagi-lagi Pak Yuli tersenyum. 

“Sekali lagi maaf, Pak. Tidak bisa. Pemasangan jaringan baru yang ada sekarang, terkecil memang 900 watt.” 

“Tapi Pak, sekarang kan lagi ada gerakan hemat energi. Kemarin di kecamatan kepala PLN kabupaten juga mengatakan ikut mendukung gerakan ini. Mohon agar masyarakat hemat listrik. Nah, kalau semua masyarakat harus masang yang 900 watt, bukankah itu berarti pemborosan energi?” Pak Raskin berusaha memberi alibi. 

“Secara teori Bapak benar. Tapi realita di lapangan berkata lain, Pak. Yang disuruh hemat itu adalah para pemakai listrik, bukannya kami sebagai pemasoknya. Kami hanyalah pelaksana. Semua aturan, perusahaan yang memutuskan. Jadi kalau memang Bapak mampu dan bersedia pasang yang 900 watt, ya silakan. Kalau tidak, juga tak apa-apa.”  

Pak Raskin menghela napas berat. 

“Jadi … benar-benar Bapak tidak bisa menolong saya?”  

“Maaf, tidak bisa Pak.” 

“Kalau begitu baiklah. Saya bersedia. Ini identitas saya.” Pak Raskin menyerahkan KTP dan selembar fotocopynya. Pak Yuli langsung menerimanya dan mengisikan data-data Pak Raskin pada berkas yang tertera di monitor computer. Setelah selesai kemudian diprint dan diserahkan pada pak Raskin untuk ditandatangani. 

“Silakan tanda tangan, Pak. Tepat di atas materei.”

Tanpa menjawab Pak Raskin langsung tanda tangan rangkap dua. Kemudian menyerahkan biaya pemasangan sebesar 1.200.000 rupiah. Tunai. Pak Yuli menghitungnya baru kemudian memasukkan uang itu ke laci meja kerjanya.  

“Pemasangan dilakukan dua hari lagi, Pak. Jatahnya hanya tiga titik, untuk penambahan, biaya sendiri.”  

“Ya.” Singkat Pak Raskin menjawab seraya menerima kwitansi pembayaran dari Pak Yuli.

Sampai di rumah Pak Raskin geleng-geleng kepala sendiri. Heran dan tak mengerti Gerakan Hemat Energi yang dicanangkan dan digembar-gemborkan ternyata hanyalah bohong. Seperti melarang orang jualan miras, tapi tak mau menutup pabriknya. Entahlah, mengapa di era reformasi ini, pejabat masih suka melihat butir keringat kaum kecil yang terjerat. Pemerintah masih suka mendengar, dengus napas rakyat kecil yang terkapar. Kotbah soal moral, omong keadilan sudah jadi sarapan pagi mereka. Betapa tidak! Katanya mau hemat listrik, tapi pemasangan harus berdaya tinggi. Paling kecil 900 watt. Bukankah itu pemborosan? Belum lagi, tiap tahunnya tarip listrik selalu dinaikkan. 

Bah!! 

Ini benar-benar lawakan yang tidak lucu. Di mana program pemerintah tak lebih bagai serangkaian banyolan dari badut-badut yang masih amatiran. Belum berpengalaman. Bayangkan! Bukankah negri kita ini kaya akan sumber daya alam? Ada begitu banyak sungai yang dibendung jadi pembangkit listrik. Negri kita juga kaya akan batu bara. Tapi kenapa harga listrik semakin melangit? 

Atau barangkali ini memang dagelan nusantara. Yang sengaja mengobral janji-janji untuk meninabobokkan masyarakat agar tidak bangun dan bergerak menyuarakan harkat rakyat yang semakin terinjak-injak. Kalau perlu, mata dan mulut rakyat akan diplester dengan paksa, supaya hanya bisa mendengar tapi tidak melihat dan tak bisa buka suara. Diam terhadap segala omong kosong dan tindakan tercela.

Dari mereka, para dagelan yang hanya pintar mengundang air mata dari para jelata! Namun, Pak Raskin tak lagi bisa berbuat apa-apa.    

 

 

Radar Kediri, 9 Juni 2024

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags