“Mas. Jika iuran bulanan kesehatan sering naik seperti ini, lebih baik berhenti saja jadi peserta. Kebutuhan kita semakin banyak, Mas. Anak-anak juga mulai masuk sekolah, dan itu butuh biaya. Pokoknya aku gak mau tahu, Mas harus berhenti. Toh kita selama ini tak pernah ke Rumah Sakit. Jadi daripada uang dibayarkan iuran tanpa guna mending dipakai buat kebutuhan anak-anak,” omel istriku sambil membanting slip honor bulan ini.
Bola matanya yang melotot bulat-bulat tatapannya terpusat ke wajahku. Pandangannya yang mengghujam membuatku hanya bisa menahan perasaan.
Ya, aku paham atas pemikiran istriku. Aku maklum bagaimana sulitnya mengatur keuangan keluarga dengan penghasilan yang pas-pasan itu. Belum lagi harus memikirkan potongan Koperasi Simpan Pinjam. Dalam kondisi seperti ini, jelas membayar iuran rutin BPJS untuk empat orang dengan kategori layanan kelas 1 sangatlah berat. Sebagai seorang ibu sudah pasti istriku lebih menomorsatukan kebutuhan anak-anaknya daripada hal lain. Meskipun iuran kesehatan itu sebenarnya juga kebutuhan penting.
“Tapi yang namanya sakit itu datangnya tidak dapat kita prediksi lo, Dek.”
“Ya berdoa saja, semoga keluarga kita tetap sehat. Sudahlah gak usah banyak alasan, pokoknya bulan depan aku harus terima honormu utuh. Tanpa ada potongan kesehatan lagi. Kalau anak-anak sakit kan bisa kita bawa ke puskesmas. Malahan gratis.”
Akh! Aku terdiam. Ingin rasanya aku menjelaskan keuntungan ikut iuran kesehatan, tapi melihat amarah istriku yang cukup tinggi, niat itu aku urungkan. Percuma saja. Toh meski aku jelaskan sampai mulut berbusa, ia tak akan menggubrisnya jika masih emosi.
“Ya, baiklah. Terserah kau saja,” ucapku untuk meredam percekcokkan yang lebih jauh.
Menyerah? Tentu saja tidak! Aku harus mencari cara bagaimana supaya memberikan honorku secara utuh pada istri sekaligus tetap bisa membayar iuran kesehatan secara rutin.
Aku mulai memutar otak!
***
Tepat pukul 14.15, aku melangkah gontai memasuki halaman rumah ketika istriku sedang menyapu teras. Melihat aku datang, ia bukannya tersenyum menyambut, tapi justru ngedumel sambil merengut.
“Mas, sudah tiga bulan ini kau pulangnya kok selalu telat. Lebih sore dari biasanya. Jangan-jangan kau ada main di luar sana, ya?!”
Heh! Aku tersenyum getir. Rasa letih, haus, dan lapar yang sedari tadi kutahan, kini terasa semakin mencekam. Ceracau istri membuat suasana hatiku bertambah runyam.
“Ah kau ini, siang-siang ngigau. Suami datang bukannya diambilkan minum, eh, malah dituduh yang enggak-enggak. Lagian perempuan mana yang mau sama lelaki beranak dua dengan honor yang seadanya sepertiku.” Aku menyahut sambil nyelenong masuk rumah.
Tak kuhiraukan lagi wajah keruh istriku yang makin jutek. Terdorong oleh alunan musik keroncong yang sedari tadi konser dalam perut, aku bergegas mengambil makan di dapur setelah menaruh tas dan sepatu di sudut kamar.
Sungguh, ingin rasanya aku makan cepat-cepat agar cacing-cacing dalam perutku segera terlelap. Namun baru empat sendok nasi melintas di kerongkongan, pikiran tentang istri kembali membayang.
Oh! Aku merasa bersalah. Sebagai suami yang biasanya jujur, dalam tiga bulan ini aku telah membohongi istri. Aku telah merahasiakan suatu hal yang seharusnya tak kulakukan.
Ya, semenjak istriku menyuruh untuk berhenti membayar iuran rutin BPJS, diam-diam aku bekerja sampingan di rumah seorang teman yang memiliki usaha mebel. Aku ikut bursak sofa. Kadang kalau lagi tak ada garapan, aku pinjam laptop padanya. Aku gunakan kesempatan untuk mengetik naskah cerpen yang akan aku kirim ke beberapa media cetak maupun digital.
Hasilnya? Alhamdulilah, aku bisa tetap membayar iuran rutin BPJS tanpa mengurangi jumlah honor yang kusetor pada istri. Aku yakin, apa yang kulakukan ini suatu saat pasti akan berguna untuk keluargaku.
Jika pun hingga akhir hayat aku dan keluarga selalu sehat, ya alhamdulilah. Namun jika kelak ada yang mengalami sakit, tentu saja iuran rahasia ini akan sangat bermanfaat. Aku selalu yakin bahwa siapa yang menanam pasti akan menuai. Keringat tak akan pernah berkhianat pada itikad.
Ah! Sepiring nasi yang seharusnya bisa kuhabiskan dalam waktu 15 menit, tak terasa jadi setengah jam akibat dikekang rasa bersalah atas kebohongan yang aku pendam.
“Maafkan aku, Sri!” gumamku lirih.
***
Siang itu, tepat jam 12.15. Aku baru saja melangkah keluar dari ruang kantor sebuah Sekolah Dasar tempat aku mengajar sebagai guru honorer ketika tiba-tiba ponselku berdering.
Perlahan kukeluarkan ponsel dari kantong celana. Hmm, aku tersenyum melihat nomor yang tertera di monitor. Tumben siang-siang begini istriku telepon.
“Halo, ada apa Sri?”
“Mas, sekarang juga kau susul aku ke Rumah Sakit. Iwan tadi tiba-tiba pingsan di depan tivi. Setelah diperiksa ternyata usus buntu. Kata dokter harus segera dioperasi. Cepat ya Mas, aku tunggu!” Suara istriku terdengar cemas. Karuan saja aku juga ikut cemas. Takut anakku Iwan kenapa-napa.
“Iya Sri, kau tenang saja. Aku segera ke sana.”
***
Sampai di Rumah Sakit, Sri istriku tampak mondar-mandir seperti seterika yang belum berhasil melicinkan sebuah baju di depan ruang operasi yang tembok dan lantainya bernuansa serba putih. Rasa khawatir jelas tergambar di raut wajahnya. Aku tahu pasti, ada dua kekuatiran yang sedang memenuhi rongga dadanya. Yang pertama jelas kekuatiran akan keselamatan anaknya. Eh, anakku juga ding! Yang kedua tentu kekuatiran soal biaya operasi yang tidak dapat ditunda.
“Bagaimana kondisi Iwan, Sri?” tanyaku saat menghampirinya.
“Oh, Mas ….”
Selain itu belum ada kata lain yang terucap dari bibirnya, sebab linangan air mata sudah mendahuluinya. Kecemasan akan keselamatan anak membuatnya gagal membangun sebuah bendungan yang kokoh di pelupuk mata.
“Sudahlah Sri, jangan nangis. Kita doakan saja semoga Allah memberi keselamatan dan kesehatan untuk Iwan,” hiburku seraya mengusap rambutnya.
Tak aku pedulikan tatap mata keluarga pasien lain yang ada di sekitarku. Aku hanya ingin istriku sebisa mungkin bersikap tenang. Meski aku tahu, naluri dan perasaan seorang ibu lebih mendalam dari seorang bapak sepertiku.
Perlahan kubawa istri melangkah ke bangku panjang berbahan besi yang bercat putih di depan ruang operasi.
“Sebenarnya bagaimana mulanya Sri, kok Iwan mendadak bisa seperti ini?” tanyaku saat kami sudah duduk.
Sambil menyusut air mata, istriku menjawab.
“Entahlah Mas, aku sendiri juga tidak tahu. Sebelumnya Iwan juga tak menunjukkan gejala apa-apa. Sepanjang hari ia tetap riang seperti biasanya. Tapi tadi waktu melihat tivi sama adiknya, tiba-tiba Iwan lemas dan jatuh pingsan. Makanya aku cepat-cepat minta tolong sama Pak RT untuk membawa Iwan ke sini. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Iwan kena usus buntu dan harus dioperasi. Terus ini bagaimana, Mas?” Tangisan istriku pecah kembali.
“Bagaimana apanya, Sri?” Sengaja aku pancing keluar kegelisahannya agar beban di hatinya bias berkurang.
“Biayanya, Mas. Biaya operasinya ….”
“Jangan pikirkan dulu soal itu. Doakan saja dulu semoga operasinya berjalan lancar. Itu lebih penting, Sri.”
Istriku mengangguk pelan. Sengaja aku belum menceritakan perihal iuran kesehatan yang sampai hari ini masih aku rahasiakan. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menyadarkan istri bahwa lebih baik sedia payung sebelum hujan daripada mencari payung setelah kebasahan. Bukankah sakit itu datangnya tak dapat diduga?
Seperti halnya rejeki, mati, dan jodoh walaupun sebagian besar penyakit menimpa akibat pola makan dan pola hidup yang salah, tapi tiada seorang pun yang bisa memperkirakan datangnya sakit yang akan mendera.
Padahal kesehatan adalah impian setiap orang. Namun dalam perjalanan hidup untuk menjemput impian sehat itu, orang lebih sering lalai. Bahkan teledor dan enggan akibat tergoda kenikmatan duniawi.
Sri masih sesenggukan seraya menyandarkan kepala di bahuku. Aku hanya bisa terdiam. Menatap ruang operasi sambil menata perasaan.
****
Bunyi peralatan operasi yang beradu jelas terdengar dari bangku ruang tunggu. Dentingan-dentingan itu semakin membuat jantung keluarga pasien serasa terpacu. Tiap kali pintu ruang operasi terkuak, hati ini bagai tersentak. Ada suatu dorongan yang memaksa hatiku untuk sebentar-sebentar melongok ke jendela ruang operasi itu. Meskipun tetap saja mataku tak dapat melihat apa-apa karena tebalnya kaca jendela.
Iatriku hanya duduk terpaku dengan mata yang masih sembab. Wajahnya tampak kusut sekusut perasaannya yang sedang carut marut.
“Bagaimana, Mas?” Tiap kali aku selesai melongok jendela ruang operasi selalu pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya. Sebagai jawaban aku hanya menggeleng sambil mengangkat bahu karena memang aku belum tahu hasil pastinya. Aku hanya berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja.
Hampir satu jam lebih detik-detik mencemaskan itu melanda. Hanya kartu kesehatan yang ada di kantong celanaku yang sedikit mampu menenangkan kalbu. Berbagai perasaan cemas selalu coba aku tepis, walau nyatanya masih juga terasa mengiris.
Aku tatap langit-langit ruang tunggu yang bebas tak berjelaga. Dalam hati aku munajatkan doa untuk keselamatan anak tercinta.
****
Alhamdulilah. Aku bisa bernapas lega. Operasi pengangkatan usus buntu itu berjalan lancar. Sambil menunggu Iwan sadarkan diri dari pengaruh obat bius, aku dan istri duduk di bangku beton depan ruang bedah.
“Mas, kata dokter kemarin biaya operasi Iwan sekitar enam juta lima ratus ribu dan harus dibayar di muka. Dari mana kau mendapat uang kok tahu-tahu dokter sudah melakukan tindakan?” Istriku bertanya dengan tatapan kelu.
“Sudahlah, Sri. Kau tak perlu cemaskan hal itu. Yang penting Iwan sudah selamat. Doakan saja ia cepat sembuh,” jawabku seraya merengkuh pundaknya.
“Tapi Mas, uang dari mana untuk mengembalikan jika uang itu dari hasil utang ke kantormu.”
He he! Aku tersenyum sekadar untuk mengurangi beban kecemasan di wajah istriku.
“Lagian, siapa yang utang, Sri?”
“Maksud, Mas?”
Sambil kugenggam erat kedua tangannya, aku pun bercerita tentang kerja sampingan yang selama ini terpaksa aku jalani agar dapat membayar iuran rutin kesehatan dengan tanpa mengurangi jatah honor tiap bulannya.
Tak lupa kembali aku tekankan betapa pentingnya ikut iuran kesehatan, mengingat bahwa penyakit itu bisa datang setiap saat.
Istriku hanya menunduk kelu mendengar penjelasan itu. Bibirnya terkatup rapat tanpa menjawab. Hanya genggam jemarinya yang aku rasakan semakin erat. Ada rasa bersalah dan sesal di balik genggaman hangatnya itu. Bukti bahwa iuran kesehatan dapat menjadi solusi yang tepat di saat darurat telah membuatnya menyesal atas larangannya dulu.
Kini ia telah menyadari sendiri pentingnya membayar iuran kesehatan secara rutin. Kesehatan jauh lebih berharga dari sekadar iuran bulanan yang pernah kujadikan suatu rahasia.
“Maafkan kesalahanku, ya Mas?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati aku juga meminta maaf atas iuran rahasia yang sempat kupendam. Besar harapanku semoga layanan yang diberikan BPJS akan semakin bagus sehingga lebih meningkatkan kesadaran masyarakat kecil akan arti penting Jaminan Kesehatan.
Lamat-lamat terdengar suara Iwan yang merintih. Sepertinya ia sudah mulai siuman. Dengan senyum bahagia, aku dan istri beranjak menghampiri Iwan sembari berharap semoga aku segera diangkat sebagai PNS. Agar perjalananku menjemput impian untuk membahagiakan keluarga bisa segera jadi kenyataan. Bukan sekadar kiasan layaknya memetik bintang di hari langit siang.
***
Minggu pagi, sambil memeluk pinggang Sri dari belakang kupandangi Iwan yang sedang bermain di teras. Wajah Iwan sudah kembali sumringah seolah tak pernah terjadi apa-apa atas dirinya. Begitu pun wajah Sri. Wajah oval bergigi gingsul itu selalu menyunggingkan senyum termanisnya.
“Terima kasih ya Mas atas kegigihanmu ikut iuran kesehatan. Andai saja Mas tidak bersikukuh seperti itu, aku tak tahu entah apa yang akan terjadi pada anak kita,” ucap Sri sembari mengusap punggung tanganku yang berada tepat di atas pusarnya.
“Berterima kasihlah pada cinta kita, Sri. Hanya karena besarnya rasa cinta kita yang membuat aku mampu bersikap tegar seperti itu,” jawabku setengah berbisik. Begitu dekatnya bibirku dengan telinganya sampai-sampai embusan napasku terasa menyentuh telinganya.
Perlahan Sri membalikkan wajah. Bola matanya yang bening mengerjap-ngerjap saat menatapku. Meski tanpa terucap, aku tahu apa yang ada dalam pikiran Sri. Sebagai balasannya aku labuhkan sebuah ciuman lembut di keningnya yang halus karena taburan bedak wangi.
Sungguh aku teramat bahagia saat ini. Sri yang telah menyadari keteguhan sikapku, benar-benar membuatku terharu. Sedang aku sendiri nyaris tidak yakin, jika aku bisa berbuat seperti itu. Bekerja sampingan setelah melaksanakan tugas mendidik anak bangsa yang honornya tak seberapa. Kalau dipikir secara logis, seakan hal itu mustahil terjadi. Ragaku yang ringkih tak mendukung untuk bekerja sekeras itu.
Namun nyatanya, aku sanggup. Semua itu terdorong oleh besarnya rasa cintaku pada istri dan anak. Tak akan pernah sanggup aku melihat mereka menderita. Karena itu, aku rela memeras keringat demi untuk membahagiakan mereka. Cinta mereka merupakan pelecut semangatku dalam mencari nafkah.
Hanya dengan melihat istri dan anak tersenyum, sirnalah sudah segala lelah yang sempat singgah. Cinta keluarga adalah sinar matahari pemompa semangat dalam bekerja. Setidaknya begitu yang aku rasa selama ini.
Memandang Iwan dan Sri bisa selalu tersenyum bahagia, semangat dalam dada akan selalu membara. Seperti bara cinta Sri yang terpancar di matanya. Dengan perlahan dan malu-malu ia menarikku masuk kamar dengan perasaan menggelora.
Pikiran Rakyat, 8 Juni 2024