Read More >>"> KLIPING 2 (LAKI LAKI YANG MENCUMBU RESIDU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - KLIPING 2
MENU
About Us  

Ular-ular virtual merayap binal menyusuri kanal-kanal digital. Bermodal paket internet dan sinyal, setiap saat membuat dengan kalimat-kalimat gombal. Tak peduli janggal yang penting bisa terus membual. Dunia memang sedang janggal. Sesuatu yang tak masuk akal justru cepat menjadi viral.

Sesosok lelaki kumal merasa terjungkal. Hidup dilanda sial. Penuh modal ia mencoba untuk menjual ide-ide milineal. Hanya keyakinan sebagai bekal. Maklum, ia adalah professor yang abai soal amdal.

Di bawah jendela sebuah laboratorium berdebu tebal, Profesor Pinttarzi berdiri sebal. Matanya menatap nanar hamparan tanah yang kini telah kering kerontang. Tandus tanpa adanya sebuah tanaman yang menyejukkan pandangan. Sejauh mata melihat yang tampak hanyalah kepulan debu beterbangan tertiup angin. Angin tak henti menari ketika roda kendaraan melintasi.

Profesor pelontos itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa teramat berdosa pada seluruh penghuni dunia. Akibat salah menerapkan ilmu pengetahuan yang ia miliki, pencemaran alam merajalela.

Ya, semua petaka ini memang salahnya. Demi ambisinya untuk mewujudkan terciptanya kota metropolitan, ia merancang pembangunan rumah kaca dengan skala besar. Hampir semua gedung pencakar langit menggunakan teknik rumah kaca hasil ciptaannya. Akibatnya panas matahari terpantul kembali ke angkasa dan lapisan ozon penuh lubang menganga. Padahal lapisan ozon merupakan perisai bumi dari sengatan sinar ultraviolet yang berbahaya.

Hal itu masih diperparah lagi dengan berdirinya pabrik-pabrik yang selalu mengepulkan asap pekat lewat cerobong besarnya. Impor kendaraan bermotor serta mobil turut serta memperparah tebalnya polutan di udara.

Akibatnya sinar matahari tak terhalang lagi, dengan bebas memanggang bumi. Hawa panas melebihi ambang batas, mengeringkan kandungan air di dalam tanah hingga tandas. Pohon-pohon mati kekeringan. Permukaan bumi mengalami retak-retak akibat tiada akar yang mampu berdiri tegak.

Setiap embusan napas di hidung manusia, tidak ada lagi kesegaran. Semua terpaksa menghirup racun. Residu polutan bercampur udara menyerang organ pernapasan tanpa ampun. Masker tak dapat diandalkan lagi. Bahkan bisa jadi malah mempercepat datangnya malaikat kematian karena serangan rasa engap tak tertahankan.

Bumi megap-megap seperti ikan yang terlempar ke darat. Iklim tak lagi bersahabat karena global warning terus meningkat. Tanpa memikirkan nasib bumi yang semakin mengkerut akibat terpanggang matahari, rumah kaca hasil rancangan Profesor Pinttarzi terus berdiri saban hari. Robot-robot yang secara berkala dikirim ke jalanan untuk membersihkan tumpukan debu, tak mampu menjadi solusi atas kekeringan yang meresahkan itu.

“Jika ancaman global warming ini tidak segera teratasi maka dapat dipastikan tidak akan ada lagi bahan pangan yang bisa dihasilkan bumi. Dan itu artinya sebentar lagi seluruh spisies manusia akan musnah. Jika hal itu terjadi, kau satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini,” tuding Menteri Keamanan saat datang ke laboratorium Profesor Pinttarzi di suatu pagi.

Profesor Pinttarzi terdiam. Ia tak dapat menyangkal kalau dirinya memang biang kerok dari masalah ini. Ratusan juta penghuni bumi bergantung pada tindakan apa yang hendak ia lakukan selanjutnya.

                                                            ***

 

Tekanan berbau ancaman dari Jendral Rakustha membuat Profesor Pinttarzi tak bisa memejamkan mata. Keinginannya untuk dapat bertemu kembali dengan istri dan anaknya membuat ia berpikir keras. Beragam buku bertema tentang kekeringan panjang ia baca. Berbagai situs internet yang memposting ilmu pengetahuan ia jelajahi, hanya semata-mata untuk mencari solusi dari apa yang telah ia ciptakan.

Dalam otak jeniusnya selalu meyakini bahwa segala jenis racun pasti ada penawarnya. Demikian pula dengan bencana kekeringan ini. Ia tak ingin tragedi Ethiopia yang terjadi pada tahun 1983 sampai 1985 terulang lagi di abad ini.

                                                            ***

 

Tanpa memedulikan gulungan debu yang menyelubungi area bandara, Profesor Pinttarzi segera mengajak Jendral Rakustha memeriksa semua pesawat yang ada. Hal pertama yang menarik perhatian sang Jendral bukan muatan kapal-kapal itu, tapi justru sebuah lambang yang ada di bagian lambung pesawat. Sebuah gambar burung elang mencengkeram selembar pita bertuliskan slogan mulia. Di bagian dada elang itu tergantung tameng segilima yang masing-masing bagian memiliki gambar yang berbeda-beda.

Bencana kekeringan yang timbul akibat maraknya efek rumah kaca membuat daya ingatnya jauh lebih menurun dari biasanya. Sepertinya debu-debu kering yang berhamburan di mana-mana telah pula meracuni otaknya.

“Profesor, apa kau sudah gila?! Untuk apa kau datangkan ratusan ribu ton garam di negeri kita yang sedang kekeringan hebat ini?!” gertak Jendral Rakustha saat mengetahui bahwa seluruh kapal itu hanya mengangkut garam.

“Nanti Jendral akan tahu sendiri,” sahut Profesor Pinttarzi sambil terus melangkah.

 

                                                            ***

 

Siang harinya, sesuai permintaan dari Profesor Pinttarzi, Jendral Rakustha sedang memeriksa seluruh pilot andalannya yang sudah berada di bandara. Ada 10 pesawat khusus penyemprot disiagakan. Sambil menunggu persiapan yang sedang dirancang oleh Profesor Pint Arr, beberapa robot membersihkan tumpukan debu dengan mesin penghisap.

“Profesor, untuk apa garam-garam itu akan diterbangkan ke udara?” tanya Jendral Rakustha saat pesawat penyemprot yang membawa garam itu mulai mengudara satu per satu.

“Lihat saja apa yang akan terjadi, Jendral!” jawab Profesor Pinttarzi mantap meski sebagai seorang ilmuwan ia sadar kalau kekuatan alam tidak bisa dilawan oleh manusia. Tapi manusia punya kewajiban untuk berusaha.

Setelah semua pesawat mengudara dan timbul tenggelam di balik debu pekat yang menyelimuti angkasa, Jendral Rakustha dan Profesor Pinttarzi beranjak menuju ruang pengamatan. Dengan sebuah teropong berdaya tangkap tinggi, sang jendral memantau terus apa yang dilakukan para pilot di angkasa.

Sejenak Jendral Rakustha mengernyitkan keningnya. Ia heran mengapa para awak pesawat itu justru menyemprotkan butiran-butiran garam ke gundukanawan putih yang sedang melayang.

“Profesor, upayamu telah gagal. Dan seperti janjimu, sekarang juga kau akan kugantung di alon-alon!” kata Jendral Rakustha sejam kemudian.

“Silakan, saya tidak akan melawan,” sahut Profesor sembari mengulurkan kedua tangannya.

Dengan sinis, Jendral Rakustha memborgol kedua tangan Profesor Pinttarzi. Empat orang anggota pasukannya segera pula ia perintahkan untuk membawa Profesor Pinttarzi ke alon-alon.

Sampai di alon-alon, Profesor Pinttarzi tertunduk pilu. Perlahan dua orang anak buah Jendral Rakustha mulai menempatkan Profesor Pinttarzi di bawah tiang gantungan. Dengan diiringi tatapan sedih warga kota yang ada di alon-alon, ujung tali berbentuk kolong bersimpul mulai diturunkan mendekati kepala Profesor Pinttarzi. Lalu kepala professor dimasukkan ke dalam kolong bersimpul itu.

Hmm! Jendral Rakustha tersenyum tipis. Kemenangan sudah membayang di matanya. Namun, tiba-tiba senyumnya harus surut.

Dari teori hujan buatan yang dipelajari Profesor Pinttarzi, selain zat glasiogenik juga bisa menggunakan bahan kimia lain seperti zat higrosskopis berupa garam, CaC12, dan urea. Garam dan CaC12 ditaburkan ke awan yang ada di langit dengan pesawat terbang khusus. Setelah ditaburkan bahan kimia tersebut akan memengaruhi awan untuk berkondensasi dan membentuk awan yang lebih besar.

Hal itu yang akan mempercepat terjadinya hujan. Setelah garam atau CaC12 yang berhasil membuat awan berkondensasi, barulah bubuk urea ditaburkan. Urea ini membantu dalam pembentukan awan besar dan berwarna abu-abu. Setelah awan hitam terbentuk, larutan bahan kimia ditaburkan kembali. Larutan kimia tersebut adalah air, urea, dan ammonium nitrat. Awan ini yang akan mendorong awan hujan membentuk butiran-butiran air.

Proses penyemprotan garam ke awan itu mulai menunjukkan reaksi kimianya. Hasilnya, perlahan-lahan awan yang tadinya berwarna putih cerah mulai terlihat kehitaman. Makin lama semakin hitam. Sehingga matahari yang tadinya bersinar begitu garang, mulai tampak melemah tertutup awan.

Jendral Profesor Pinttarzi tersenyum. Angin yang semula membawa hawa panas kini dirasakan bisa memberikan sedikit kesejukan. Proses kondensasi yang sedang terjadi di angkasa membatasi ruang tembus cahaya matahari.

Pun demikian dengan debu-debu yang menyelubungi kota. Debu yang semula berhamburan perlahan-lahan mulai terdiam. Merasakan adanya perubahan cuaca yang tiba-tiba, satu per satu warga kota melongokkan kepala keluar jendela. Mereka ingin merasakan belaian angin semilir yang sudah begitu lama tak menjamah kotanya.

Tak lama kemudian, titik-titik air mulai jatuh dari angkasa. Serentak warga kota menyambut gembira turunnya hujan yang semakin deras. Hujan yang membasahi bumi turut serta menghanyutkan tumpukan debu di segala penjuru.

“Kau jangan puas dulu, Profesor! Hujan yang hanya sekali turun tidak akan mampu menyuburkan kembali bumi jika rumah-rumah kaca itu masih tegak berdiri. Ha ha ha …!” Tawa Jendral Rakustha sesaat setelah melepaskan kolong tali bersimpul dari leher Profesor Pinttarzi.

“Asal kau tahu, Jendral. Sebelum diterbangkan tadi, garam-garam itu sudah aku campur dengan zat kimia yang mampu menghancurkan kaca secara pelan-pelan sampai akhirnya tidak akan tersisa!”

Oh! Jendral Rakustha langsung pucat pasi. Dari apa yang baru saja ia dengar, barulah ia menyadari jika sejatinya Profesor Pinttarzi sudah mengendus adanya konspirasi antara dia dengan para pengembang rumah kaca. Jika hal itu sampai terbongkar, akan terbongkar pula kelicikannya yang telah menyuruh seseorang untuk menawan istri dan anak Profesor selama ini.

                                                            ***

 

Profesor Pinttarzi tersenyum di depan labolatoriumnya. Hujan buatan ciptaannya yang sudah turun dalam beberapa hari ini membuat bumi perlahan-lahan mulai bersemi kembali. Rumput-rumput mulai tumbuh. Beberapa jenis tumbuhan mulai bersemi. Hijau dedunan mulai menyejukkan mata yang sudah sekian lama hanya bisa menikmati kekeringan.

Sesuai rencananya, satu per satu deretan rumah kaca mulai retak-retak untuk kemudian hancur rata dengan tanah.

Setelah Jendral Rakustha dipecat dan dijebloskan ke penjara, Profesor Pinttarzi didaulat untuk menggantikan posisinya dengan didampingi oleh istri dan anaknya yang telah bebas. Hal ini menjadi awal dicetuskannya program pelestarian alam untuk menjaga bumi dari kekeringan.

Dalam penjara, kini Jendral Rakustha hanya mampu bercumbu dengan residu. Besar harapan semua orang semoga bencana kekeringan yang timbul akibat maraknya pencemaran alam tidak akan terulang lagi di dalam sejarah kehidupan.

 

 

 

Republika.id edisi 16 Juni 2024

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags