Asrama Helling merupakan sekolah asrama terbesar dan terkenal di kabupaten Bogor. Asrama ini diketahui sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1928. Nama Helling berasal dari bahasa Belanda, yang berarti "lereng".
Seperti namanya, gedung sekolah asrama berlantai lima ini terletak di lereng bukit, yang menghadap ke arah hamparan kebun teh. Udaranya sangat sejuk, membuat murid-muridnya nyaman dan juga tenang.
Menurut sejarah, Asrama Helling awalnya merupakan bangunan yang didirikan misionaris asal Belanda, dengan tujuan menyebarkan ajaran agama sekaligus fasilitas pendidikan untuk kaum pribumi. Pada tahun 1980, saat Indonesia sudah merdeka, statusnya diubah menjadi sekolah asrama umum, yang menerima murid baik perempuan maupun laki-laki. Gedung asrama putri dan putra terpisah oleh sebuah jembatan penghubung.
Tak jauh dari Asrama Helling ada sebuah danau yang di tengah-tengahnya ada sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon jati.
Sebelum belajar, seluruh murid, guru-guru, serta para suster di Asrama Helling diwajibkan untuk mengikuti doa bersama setiap pagi. Selesai berdoa, para murid mendapatkan roti dan kue yang dibagikan oleh para suster.
Isaura, Mei, dan Narra mendapatkan roti dan muffin coklat yang dibagikan oleh Suster Prishilla.
"Terima kasih," ucap Isaura dan kedua temannya. Mereka pun memakan roti itu di taman, sebelum memasuki kelas.
"Enak, ya, suasana di sini?" tanya Mei.
Isaura memakan roti sambil mengangguk. "Asrama ini beda suasananya,ya, kalau pagi,"
"Aura di asrama ini memang berbeda saat pagi dan malam," Ucapan Narra si gadis indigo membuat Isaura dan Mei menoleh ke arahnya.
"Sebenarnya ada beberapa cerita horor yang terkenal di asrama ini..."
"Ra! Ini masih pagi, ah! Jangan cerita yang seram-seram!" protes Mei, mengisyaratkan agar Narra tidak melanjutkan ceritanya.
Isaura sebenarnya penasaran dengan cerita Narra, mengingat kejadian semalam saat ia datang ke Asrama Helling. Suasana asrama pada malam hari sempat membuat bulu kuduknya berdiri.
Padahal semalam Isaura memakai jaket wol yang melapisi pakaiannya. Apakah kedinginan yang ia rasakan karena hawa di sekitar asrama yang sejuk, atau...karena hawa mistis dan misterius yang dimiliki oleh Asrama Helling?
Yang jelas, suasana di asrama berbeda dengan suasana di rumahnya dulu. Suasana rumah lebih "dingin" karena ibu dan adik-adiknya yang bersikap dingin kepada Isaura, saat mereka masih hidup.
Selesai makan, Mei dan Narra lanjut mengobrol. Mereka bertanya-tanya lebih banyak hal tentang Isaura. Isaura pun menanggapinya dengan santai.
"Sekali lagi, aku turut berduka soal ibumu," kata Narra. "Kamu beruntung, ya, punya ayah tiri yang baik dan sayang padamu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita padaku atau Mei,"
Isaura tersenyum tipis. "Thanks, Narra,"
"Siapa sangka kita bertemu di sini karena kesamaan nasib,ya," kata Mei.
Narra dan Isaura tertawa kecil.
"Apalagi aku dibenci ibuku karena wajahku mirip orang yang menghancurkan hidupnya," ujar Isaura sambil memainkan kepangan rambutnya.
"Sebenarnya aku tidak sopan menanyakan soal ini..." Mei memandang Isaura, ia sedikit ragu saat hendak melanjutkan kalimatnya.
"Tanyakan saja," Isaura mempersilakan.
"Apa kamu...pernah bertemu atau tahu tentang...ayah biologis kamu?"
"Oh, aku sudah mendengar dari ayahku tentang laki-laki itu," jawab Isaura. "Aku tidak ingin menemuinya setelah apa yang dia perbuat pada ibuku. Sekarang dia sudah di penjara. Selain melakukan kejahatan pada ibuku, dia juga membakar rumahku, menyebabkan ibuku meninggal,"
Narra dan Mei kembali dibuat terdiam dengan cerita masa lalu Isaura.
"Bajingan pengecut seperti ayah biologismu itu pantas mendapatkannya! Orang seperti dia pantas membusuk di penjara!" maki Mei. "Dia tidak pantas disebut manusia,"
Isaura dibuat kaget dengan mulut tajam Mei. Sementara Narra menggelengkan kepala.
"Kurasa keputusanmu untuk tidak berhubungan dengan ayah kandungmu, juga keputusan ayah tirimu mengirim kamu kemari adalah keputusan yang tepat, Sa. Lebih baik kamu memulai hidup baru tanpa terbebani masa lalu," kata Narra sambil menggenggam tangan Isaura.
Isaura mengangguk. "Ya. Kurasa kau benar,"
"Bah! Orang seperti itu tidak pantas disebut ayah!" omel Mei. "Bukankah keluarga angkatmu juga sama, Ra?"
"Mei, jangan begitu, ah," sahut Narra. "Kalau mereka tak mengirimku ke sini, aku tak akan bertemu kalian,"
Narra kembali menatap Isaura sambil berkata.
"Satu hal yang harus kau ingat, Sa : kau teman kami. Kami tidak peduli seburuk apa pun masa lalumu. Kamu bukan aib. Kamu orang baik, tidak seperti ayah kandungmu,"
*****