My Diary ….
Hari ini kampung dan sekolahanku gempar. Kabar tentang Anggit yang sudah tiga hari ini hanya duduk diam sembari memandang ke arah petilasan menjadikan warga berpikir macam-macam. Terlebih lagi banyak orang yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri, tatkala gadis itu memeluk erat tiang listrik yang berdiri di depan rumahnya sambil menangis dan tertawa sendiri. Kata sebagian orang perubahan perilaku Anggit yang aneh itu bermula saat dia pulang belajar bersama.
Dari kabar yang beredar di tengah masyarakat kampungku, setelah pulang dari belajar bersama malamnya Anggit berteriak-teriak tidak karuan persis seperti orang sedang kerasukan. Dia menangis sambil tertawa-tawa dengan tangan mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tentu saja my Diary, berita tak sedap ini membuatku takut sekaligus bingung. Aku takut jika pada akhirnya orang-orang mengetahui kalau yang mengajak Anggit belajar bersama malam itu adalah aku. Orang-orang pasti akan menyalahkan aku dan menuduh aku telah melakukan hal-hal yang tak semestinya pada Anggit.
Namun di balik semua itu, aku juga bingung. Seingatku Nini Diwut telah berjanji untuk tidak mengganggu Anggit setelah aku berhasil mengajak gadis itu nyekar ke petilasan. Tapi sekarang? Setelah ritual nyekar aku jalankan kenapa Anggit masih juga kehilangan kewarasan? Bedebah! Aku harus membuat perhitungan dengan teman-teman gaib yang telah jelas-jelas melanggar kesepakatan.
Karena itu my Diary, di saat orang-orang masih pada sibuk membahas tentang sikap aneh Anggit yang setiap hari hanya memeluk tiang listrik sambil tertawa dan menangis sendiri, secara diam-diam aku menyelinap pergi ke petilasan. Berbekal sebuah dupa dan satu bungkus kembang telon, saat gelap mulai menyelimuti bumi aku melangkah hati-hali melintasi pematang sawah.
Sepanjang perjalanan, aku menyadari adanya beberapa makhluk gaib yang sengaja mengikuti langkahku. Bahkan sesosok makhluk hitam yang tak jelas bentuknya, mengikuti aku dengan cara meniti bentangan kabel listrik di pinggir jalan. Setiap kali aku menghentikan langkah, makhluk itu juga berhenti merapatkan tubuh pada tiang listrik yang berwarna hitam sehingga keberadaannya tak kelihatan. Tapi aku tetap bisa merasakan kehadirannya lewat aura mistis yang meruar dari tubuh mereka. Ingin rasanya aku langsung menghadang makhluk itu, tapi aku rasa percuma. Nini Diwut pasti sengaja mengirim makhluk itu hanya untuk menguntitku. Tidak untuk menjawab pertanyaanku.
Dalam jarak 25 meter dari petilasan keramat, aku menyulut ujung dupa yang kubawa sampai tempak membara. Asap putih yang mengepul dari ujung dupa itu sengaja aku tebarkan dengan cara menggerak-gerakkan dupa itu ke atas dan ke bawah. Dengan bantuan hembusan angin malam dengan cepat asap dupa menyebar sampai memasuki area petilasan.
Tinggal sepuluh langkah lagi aku sudah bisa memasuki gapura masuk petilasan. Tanpa menghiraukan hawa dingin yang mulai menusuk, aku segera mempersiapkan kembang telon dan minyak wangi. Perasaanku mengatakan kalau apa yang akan aku lakukan ini hendak mendatangkan sedikit permasalahan.
Dan ternyata benar saja, my Diary! Belum sempat kakiku menginjak gapura masuk petilasan tiba-tiba tiang listrik yang semula berjejer di tepi jalan, semuanya roboh dan meluncur cepat menutup gerbang petilasan. Beberapa kulit kabel nampak terkelupas dan menimbulkan percikan-percikan api.
Takut tersengat aliran listrik, aku mundur beberapa langkah. Namun tumpukan tiang listrik itu juga ikut bergeser seolah sengaja mengejarku. Lilitan kabel listrik yang melintang tak tentu arah bergerak-gerak liar berusaha menjerat tubuhku.
Diiringi hembusan angin yang semakin menderu, terdengarlah tawa mengekeh dari atas pohon beringin yang bergoyang-goyang terbawa angin. Disusul kemudian oleh munculnya sosok-sosok hantu aneka rupa yang berdiri membentengi pintu masuk petilasan. Makhluk-makhluk menyeramkan itu pada menatapku tajam.
Karuan saja, aku kesal! Dalam hal ini bukan aku yang bersalah. Tak seharusnya Nini Diwut mengerahkan bala bantuan sebanyak itu hanya untuk menghalangi niatanku mencari keadilan.
Hei, Nini Diwut sialan! Singkirkan dong tiang listrik-tiang listrik itu dari hadapanku! Aku hanya ingin menuntut keadilan atas kesepakatan yang kita buat! teriakku sambil mulai membaca mantra-mantra untuk sekadar berjaga-jaga kalau-kalau setan perempuan keriput itu memerintahkan anak buahnya untuk menyerang diam-diam.
Lewati dulu tiang listrik-tiang listrik yang siap menyetrum tubuhmu itu kalau ingin bicara denganku! Hi hi hi hi …! Tawa Nini Diwut membuat gerakan lilitan kabel yang memercik-mercikkan api semakin liar.
Oh, my Diary … sepertinya aku terlambat menyadari kalau bangsa setan itu adalah pembohong kelas kakap. Jangankan kesepakatan dengan manusia, selagi kesepakatan dengan Tuhan saja, mereka tetap berani berdusta. Karena itulah sepanjang hidup mereka telah dikutuk sebagai penghuni tetap neraka. Bangsa setan sengaja tak pernah pensiun menyesatkan manusia dalam rangka mencari tambahan koloni sebagai wadyabala masuk neraka.
Tapi aku juga tidak mau menyerah, my Diary. Secara diam-diam pula aku membuka tutup botol kecil minyak wangi, kemudian membalurkan isinya secara merata di telapak tangan. Kembang telon sudah pula aku buka pembungkusnya. Kuambil sebiji kembang kantil yang ada di dalamnya, lalu kucabuti mahkota bunganya yang masih kuncup.
Saat Nini Diwut masih tertawa-tawa mengekeh, dengan cepat kutaburkan potongan mahkota bunga kantil itu ke tumpukan tiang listrik yang kabelnya masih saja menggeliat-geliat dengan percikan api yang membara.
Aaarrrggghhh …! Seketika terdengar jeritan melengking panjang. Serta merta tumpukan tiang listrik yang tadinya menghalang pintu masuk petilasan, pada berdiri dengan sendirinya kemudian melesat ke tempat semula mereka berada. Dalam waktu sekejap semua tiang listrik sudah berdiri kembali di tepian jalan dengan bentangan kabel yang tetap rapi seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Nini Diwut, aku hanya ingin kau mengembalikan kesadaran Anggit seperti semula! teriakku sambil menaburkan sisa kembang telon ke batang beringin besar yang masih meliuk-liuk akibat terpaan angin malam. Sumpah my Diary, sebenarnya aku juga merasakan ketakutan yang besar, tapi demi kesembuhan Anggit, aku maju tak gentar.
Begitu menyentuh batang pohon beringin, sisa kembang telon yang baru saja aku taburkan seketika menghitam seperti habis terbakar. Dalam waktu singkat menjadi abu dan mengepulkan asap hitam yang membumbung tinggi menembus langit malam.
Bawa abu kembang telonmu itu dan taburkan di bawah tiang listrik yang selalu dipeluk Anggit! kata Nini Diwut sebelum menghilang dari hadapanku.
Oh, aku bisa bernapas lega, my Diary. Sepertinya nasib baik sedang berpihak kepadaku. Dengan abu kembang telon yang sudah aku kumpulkan, sebentar lagi tiang listrik yang dikendalikan Nini Diwut akan kembali normal. Menjadi tiang listrik biasa yang tidak akan berpengaruh apa-apa bagi Anggit.
My Diary … sekarang aku tinggal mencari cara bagaimana caraku agar dapat menaburkan abu kembang telon ini tanpa diketahui oleh warga.