My Diary ….
Pernahkah kau dengar hujan yang turun di petang hari, ketika daun-daun pada luruh ke bumi. Burung-burung kecil pada pulang ke sarang, karena malam sebentar lagi datang. Matahari juga sudah bergegas beranjak ke peraduan, sebab kelelawar sudah beterbangan mencari makan. Segenap penduduk bumi berlindung di dalam rumah, mencari hangat dalam dekap keluarga yang ramah. Saat itu, masih ada satu sosok yang setia menatap tetes-tetes hujan petang dengan pikiran yang melayang jauh tentang perjalanan hidup tak lepas dari keruh. Dia adalah aku, my Diary!
Ya, petang ini aku duduk termangu sembari memendangi tetes air hujan dari balik kaca jendela yang tampak semakin buram. Pada petrikor hujan petang kutitipkan satu kerinduan yang selama ini tidak pernah mendapat sambutan. Nada-nada cinta yang terangkai dalam instrument hati hanya mampu membingkai mimpi tanpa realita yang pasti. Sepertinya benar kata orang, bahwa hujan itu terdiri dari 99% kenangan dan 1% genangan.
Dari tetesan hujan petang yang merembes ke kaca jendela, kugores menjadi gambar seraut wajah yang tak pernah lepas membawa gelisah. Aku tahu my diary, barangkali apa yang aku lakukan ini hanyalah bentuk pelarian dari rasa kesepian yang mencekam tapi setidaknya bisa mengisi kekosongan hati yang sudah terlalu lama memeluk kesendirian.
My Diary ….
Hampir setengah jam aku menatap tetes-tetes air hujan yang mengguyur petang itu. Titik-titik air hujan yang membuat lampu jalan menjadi temaram menyita perhatian tubuh yang mulai menggigil kedinginan ini.
Glelaarrr! Aku berjingkat kaget. Buru-buru kututup kedua telinga dengan tangan saat sebuah guntur menyambar tepat menjelang Magrib setelah sebelumnya didahului oleh berkelebatnya kilat membelah langit. Seketika kursi kayu yang kududuki serta daun jendela di depanku bergetar beberapa saat.
Ah! Serta merta aku mengucek-ngucek mata dan nyaris tak percaya dengan apa yang terlihat. Betapa enggak! Begitu gelegar Guntur berlalu, beberapa sosok bayangan berkelebat menembas hujan yang belum juga reda. Sosok-sosok bayangan hitam itu hanya terlihat samar-samar tapi jelas mengawang di atas permukaan tanah. Hanya sesekali satu di antara sosok-sosok hitam itu menoleh kepadaku sambil tersenyum memamerkan seraut wajah seram yang cukup mengerikan. Hiii …! Sepertinya para penunggu alam kegelapan yang bermukim di petilasan keramat sedang berkeliaran menikmati sussana hujan petang yang memang sangat mendukung hadirnya sebuah penampakan setan.
My Diary ….
Tanpa berkedip terus saja kupandangi sosok bayangan yang masih saja berkelebat di antara rinai hujan. Sosok-sosok yang seolah sengaja lewat untuk sekadar mengejekku. Bayangan-bayangan hitam itu berkelebat secara berpasangan sembari tersenyum mencemooh aku yang hingga detik ini masih sendirian.
Sakit hati ini tak terkira, my Diary! Ternyata bukan hanya sesama manusia yang suka mengejek. Bahkan setan pun turut serta. Apa hal ini berarti status jomblo sudah tergolong kategori sangat menyedihkan sekali. Memang sih, semua hal di dunia ini diciptakan Tuhan dengan berpasangan. Ada siang ada malam. Ada gelap ada terang. Ada hitam ada putih. Ada laki-laki dan ada perempuan. Hanya aku seorang yang tampaknya belum punya gandengan. Padahal truk saja bergandengan! He he he …!
Dasar Nini Diwut sialan! Hantu berwujud nenek renta itu selalu saja datang mengganggu tiap kali tahu kalau aku lagi galau. Sudah tahu kan kalau hujan di saat petang merupakan suasana romantis yang gratis untuk para jomblo apatis, masih saja golongan dedemit datang memberikan sentuhan sadis. Awas ya kalau suatu saat ada kesempatan pasti akan kubalas dengan lebih menyakitkan.
Tapi my Diary, lagi-lagi kesialan menyapaku dengan amat mesra. Guntut yang menggelegar menjelang Magrib itu nyatanya bukan hanya melangutkan rasa kesepian, tapi sekaligus menciptakan jurang sesal atas nasib buruk yang enggan pergi.
Terlebih saat bayangan Anggit tiba-tiba hadir timbul tenggelam di permukaan angan. Aku merasa semakin tersudutkan. Mimpi indah yang belum bisa kuraih menyisakan buih-buih kepedihan di sepanjang perjalanan. Asa yang belum menemukan muara untuk berlabuh, meninggalkan keresahan dan membuat hati semakin rapuh. Kerapuhan yang kerap dimanfaatkan oleh Nini Diwut dan kawan-kawan untuk menebarkan aroma kemenyan dari dunia kegelapan.
Oh! Aku terhempas dalam gelisah. Guntur menjelang Magrib telah membuat semangat jiwaku raib. Jika bagian terindah dari tidur adalah mimpi maka bagian terindah dari kesendirian adalah rasa sunyi. Aku pasrah dipeluk erat tangan-tangan kesunyian. Aku ikhlas dicumbui rasa sepi tanpa adanya pelangi yang menghiasi. Sebab dalam sepi, teman-teman gaibku yang tak kasat mata akan leluasa datang menemani.
Hujan di waktu petang adalah gerbang gaib, pintu masuk utama bagi segala jenis makhluk tak kasat mata yang berniat mengunjungi isi dunia. Apalagi bagi Nini Diwut dan kawan-kawan yang sudah terbiasa berinteraksi dengan makhluk bernama manusia. Hujan di waktu petang bisa menjadi wahana terselenggaranya sebuah pesta meriah kaum arwah.
Tarian kematian akan dibawakan dengan penuh penghayatan. Lagu dendam akan dinyanyikan sangat merdu agar mengusik getaran darah di setiap kalbu. Irama kegelapan akan ditabuh sampai berpeluh supaya malaikat maut cepat datang menjemput. Panji-panji berdarah ditegakkan pada tiang tertinggi sebagai sarana pemanggil bangsa burung pemakan bangkai.
Oh, my Diary! Hingga hujan petang itu berhenti, aku tak mampu beranjak dari depan jendela yang masih terbuka. Kekuatan gelap memaksa mataku untuk terus menatap petang yang semakin menghitam. Genangan air di pelataran rumah berwarna kecoklatan seperti kondisi hati yang basah ditikam kesepian.
Bayang diri Anggit menari-nari di permukaan angan sembari mengulurkan tangan untuk mengajakku mencumbui kesendirian. Aroma basah di luar rumah memberi hati nuansa resah yang tak bisa terusir dengan mudah. Aku terlilit selendang sunyi. Hujan di waktu petang merajam diriku dalam rasa gamang.
Oh my Diary, haruskah aku pasrah dalam keadaan. Ke mana harus kucari satu pelita untuk menerangi jalanku yang gelap gulita. Pada siapa harus kuadukan nestapa ketika diri terjerat oleh kerinduan yang tak nyata. Ingin aku menyepi di tengah petilasan keramat yang mistis agar kudapatkan satu kekuatan magis untuk melawan tangis. Besar hasratku untuk membakar dupa, supaya sosok-sosok gaib tak lagi datang menggoda. Akan kuhidu asap tipis yang mengepul dari ujung dupa supaya kesepian dan sakit hati terusir ke sudut neraka.
My Diary, pada hujan petang ini yang baru saja berhenti, ingin kutitipkan salam rinduku pada satu nama yang telah lama terukir indah pada dinding-dinding kalbu. Pada Guntur menjelang Magrib akan kupahat lukisan asa agar menjadi benteng di pelupuk mata ketika tangis hendak datang menyapa.
My Diary, semoga hujan di waktu petang tidak lagi datang agar hari-hariku jadi tenang jauh dari gangguan setan gentayangan.