My Diary ….
Mulai hari ini aku tidak akan pernah merasa kesepian lagi meskipun hingga sekarang perasaanku belum juga ditanggapi oleh Anggit. Tadi sepulang sekolah aku menemukan seekor kucing yang sedang kedinginan di pinggir saluran air dekat petilasan keramat. Kucing itu berbulu hitam dengan sepasang mata kuning keemasan. Terdorong oleh rasa kasihan, kucing itu aku ambil dan aku bawa pulang.
Sampai di rumah aku keringkan bulu hitamnya yang lebat di depan kipas angin. Tapi tetap saja kucing hitam itu mengeong-ngeong seolah ada sesuatu yang kurang. Lantas perlahan kuangkat kucing itu dan kuletakkan di atas kasur. Saat aku mengangkat tubuhnya itulah, aku rasakan bagian perutnya kempes. Sepertinya kucing itu sedang lapar.
Tanpa sepengetahuan emak, aku beranjak ke dapur guna mengambil nasi. Kebetulan di meja masih ada sepotong ikan asin sisa lauk tadi siang. Tanpa pikir panjang aku sambar ikan asin itu dan aku hidangkan untuk kucing baruku.
Hmm, aku tersenyum my Diary! Kucing hitam itu makan dengan lahap. Nasi lauk ikan asin yang kuberikan dalam wadah sebuah mangkuk kaca, dalam waktu dekat ludes disikatnya. Selesai makan kucing hitam itu langsung menghampiriku dan berbatring di pamgkuan. Bahkan saat aku menuliskan kisah ini, sang kucing hitam tetap berada di dekatku.
Sejak saat itu, setiap hari aku harus selalu menyisihkan jatah uang jajanku untuk membelikan ikan asin bagi kucing hitam itu. Tapi tak mengapa! Di banding jumlah uang jajan yang harus aku sisihkan, kesetiaan kucing hitam itu dalam menemani hari-hariku jauh lebih berarti.
Dan anehnya my Diary, semenjak adanya kucing itu tidak ada lagi penampakan makhluk gaib di kamarku. Si kunti yang biasanya suka datang di tengah malam, kini menjauh dan tak kelihatan lagi. Peri yang biasanya nongol ketika aku merasa kesepian, juga tidak pernah lagi menggodaku. Demikian pula dengan sosok pocong yang hobi lompat-lompat itu, dia juga sudah pergi menjauh. Mungkin mereka merasa cemburu dengan kehadiran kucing hitam yang selalu dekat denganku.
Padahal nih ya menurut kepercayaan orang-orang, keberadaan kucing hitam selalu dikait-kaitkan dengan makhluk gaib. Tapi ini nyatanya enggak. Aku justru terbebas dari teman-teman tak kasat mata yang biasanya datang dan pergi sesuka hatinya.
Satu-satunya demit yang masih sudi menampakkan diri hanyalah Nini Diwut. Itu pun dengan jarak tertentu tanpa berani mendekat seperti dulu. Demit berwujud perempuan renta itu hanya menatapku dari kejauhan. Sebuah tatapan tajam yang seolah menyimpan rasa tidak senang, atau bahkan dendam. Apakah setan-setan itu takut dengan aroma ikan asin yang jadi makanan favorit kucing itu? Tentu saja tidak! Dalam dunia perklenikan hal semacam itu tidak pernah disebutkan.
Tapi sayang, my Diary! Ketenangan yang kurasakan itu ternyata tidak berumur panjang. Bukan karena kucing hitamku itu mati, bukan! Bukan pula karena kucing betina itu pergi tergoda seekor penjantan, juga bukan. Tapi karena sesuatu yang lebih ekstrim dan belum pernah terpikirkan olehku.
Betapa tidak! Suatu hari karena di sekolahan sedang ada banyak kegiatan, mengharuskan aku pulang sore hari. Aku sih asyik-asyik saja karena dalam kegiatan itu ada pula Anggit sebagai salah satu pesertanya. Lantaran terlalu asyik akibatnya aku lupa kalau belum membelikan ikan asin untuk kucing hitamku. Ya, pikirku sih nanti bisa aku kasih makan dengan telor dadar.
Namun apa yang terjadi selanjutnya, my Diary? Sudah capek-capek aku buatkan telor dadar lengkap dengan nasi hangat, kucing hitam itu tak mau memakannya. Jangankan memakan, mengendus pun tidak. Kucing hitam itu malah berlari menjauhiku. Tatapannya mengandung amarah.
Ya, ampun my Diary! Gara-gara tidak ada ikan asin kucing hitam itu ngambeg. Tidak mau lagi dekat-dekat dengan aku. Selalu menjaga jarak meskipun diam-diam terus mengawasiku.
Semula ya aku cuek saja. Cuma aku lihat saja bagaimana tingkahnya. Sampai kemudian terjadilah petaka di tengah malam itu. Tepat ketika bulan purnama berada di atas kepala, kucing hitam yang semula mendekam di pojok kamar itu tanpa aku sadari makin lama makin membesar. Ukurannya yang luar biasa sampai memenuhi seluruh ruang di kamarku. Semua barang-barang di dalam kamar jadi tergeser rapat ke dinding. Termasuk juga tubuhku ikut terhimpit hingga nyaris terjepit di sela pintu lemari.
Dengan rasa takut yang semakin besar menjalari hati, aku tetap bertahan walau napas semakin sesak. Tubuh kucing hitam yang sudah berubah menjadi sosok raksasa itu telah memenuhi ruang kamarku.
Oh my Diary, aku sudah pasrah pada nasib. Andai malam itu aku harus tewas hanya gara-gara lupa membelikan ikan asin untuk kucing sialan itu, aku rela. Mungkin itu memang sudah takdirku. Bahkan untuk terakhir kalinya aku sebut nama Anggit tiga kali dengan mata terpejam rapat. Aku tak berani lagi terlalu banyak berharap tentang hari esok. Andaikan bisa kulewati malam ini, sungguh itu sudah merupakan suatu anugerah terindah.
Hingga beberapa saat kemudian terdengar bunyi gemeretak. Aku kira tembok kamarku yang mulai jebol. Atau paling tidak langit-langit kamar beserta rangka penyangga atapnya.
Tapi ternyata bukan, my Diary! Setelah aku amati dengan seksama bunyi gemeretak itu ternyata dari tubuh si kucing hitam yang mulai retak-retak. Semula hanya retakan-retakan kecil yang menggurat permukaan kulitnya. Tapi makin lama makin melebar hingga akhirnya tubuh kucing hitam itu meledak menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di kamarku.
Darah dan cuilan daging berceceran di mana-mana. Dari lantai, dinding, sampai langit-langit kamar semua penuh bercak darah dengan serpihan daging yang memerah. Aku bergidik ngeri dan terduduk bersimpuh dengan tubuh lemah. Mataku terbelalak lebar dengan mulut ternganga.
Akh, my Diary! Belum lagi aku sempat bergeser dari tempatku bersimpuh tiba-tiba kudengar tawa cekikikan yang sudah tak asing lagi. Ya, suara tawa mengekeh dari mulut Nini Diwut yang berdiri mengambang di atas lantai kamar membuatku tersentak. Kiranya demit perempuan renta itu belum ada kapok-kapoknya dalam mengerjaiku.
Ah, sayang my Diary, aku terlambat menyadari kalau kucing hitam yang hanya doyan makan dengan lauk ikan asin itu tak lebih hanyalah rekayasa dari Nini Diwut agar dapat selalu mengawasiku. Andai saja aku tahu dari awal, sudah aku biarkan saja kucing hitam sialan itu mati kedinginan di tepi selokan. Jiwaku yang lemah dan rapuh ini selalu dijadikan celah bagi bangsa dedemit untuk mengusikku.
Sejak saat itulah my Diary, aku jadi gak doyan makan ikan asin. Setiap kali melihat ikan asin aku jadi teringat serpihan daging kucing hitam berlumur darah yang meledak di tengah malam itu.