My Diary ….
Hari ini warga kampungku gempar setelah tadi malam semua mata menyaksikan adanya aneka warna kembang api yang membumbung ke langit. Padahal sekarang kan bukan malam tahun baru. Kemunculan kembang api itu benar-benar menyedot perhatian semua orang. Laki-laki perempuan, tua muda, besar kecil, semua keluar rumah untuk menyaksikan kejadian ganjil itu.
Terlebih ketika para sesepuh desa pada menyadari kalau kembang api ternyata memancar dari area petilasan keramat. Semburan lidah api aneka warna tersebut berasal dari pucuk-pucuk daun beringin yang berdiri kokoh di area petilasan. Langit di atas petilasan keramat jadi nampak indah bermandikan cahaya aneka warna.
Semula banyak orang mengira jika pesta kembang api berasal dari suatu lapangan desa yang sedang ada pasar malam. Ada pula yang mengira ada seorang warga kaya raya yang sedang mengadakan hajatan besar.
Namun setelah semua menyadari kalau kembang api itu memancar dari pohon beringin di petilasan, rasa ngeri dan penasaran jadi berbaur dalam hati semua orang. Dengan dipimpin oleh sesepuh desa dan perangkat desa, semua warga berduyun-duyun menuju petilasan. Mereka ingin melihat dari dekat fenomena alam yang menggemparkan itu.
My Diary, andai saja kau dapat melihat, semalam tadi di desa ini seperti sedang terjadi konvoi besar-besaran. Semua warga rela meninggalkan rumahnya demi untuk menyaksikan adanya kembang api ajaib.
Termasuk aku, my Diary! Aku juga tak mau ketinggalan ikut arak-arakan warga menuju petilasan. Tapi aku melihat satu hal aneh yang tak bisa dilihat oleh semua orang. Dari balik kilatan kembang api yang terus menerus menyembur ke langit malam, kusaksikan adanya gerombolan orang-orang tanpa kepala yang keluar dari area petilasan keramat. Hantu-hantu tanpa kepala itu berjalan dengan arah berlawanan dengan tujuan warga.
Gerombolan setan tak berkepala itu justru berjalan meninggalkan petilasan keramat menuju ke perkampungan. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya. Ingin rasanya aku peringatkan orang-orang agar kembali ke desa, tapi mulutku terkunci. Tak bisa bersuara. Satu kekuatan tak kasat mata seakan sengaja membungkam mulutku agar tidak mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Sungguh, my Diary! Saat itu aku sempat memisahkan diri dari arak-arakan warga dan berhenti sejenak di pinggir jalan yang remang-remang. Dengan dada bergemuruh hebat, aku pandangi gerombolan setan tanpa kepala yang terus merangsek ke pemukiman warga. Satu hal yang membuat jantung ini berdetak lebih kencang, yakni adanya lelehan darah segar yang terus mengucur dari pangkal leher yang baru digorok secara asal. Tetesan darah berbau anyir itu membasahi sepanjang jalan desa yang belum beraspal.
Untunglah tidak ada seorang warga pun yang dapat melihat keberadaan gerombolan setan itu. Andai saja warga dapat menyaksikan gerombolan setan yang sedang bersimpang jalan dengan mereka, dapat dipastikan akan terjadi jeritan histeris yang panjang.
Oh, my Diary! Entah aku ini bodoh, tolol, atau sok berani. Bukannya meneruskan langkah untuk melihat kembang api ajaib dari petilasan keramat, aku justru berbalik haluan mengikuti gerombolan setan tanpa kepala itu.
Tanpa menghiraukan jeritan burung gagak yang terbang rendah mengitari kampung, aku terus melangkah ke sudut-sudut gang gelap yang menjadi jalur perjalanan gerombolan setan tanpa kepala itu. Sesekali beberapa kelelawar juga terbang melintas di atas kepalaku sambil meneriakkan suaranya yang khas. Ditambah lagi kicauan burung hantu yang bersembunyi di balik tanaman perdu. Suara-suara itu semakin membuat bulu kuduk berdiri tanpa malu-malu.
Sesekali pula aku masih sempat menoleh ke belakang, pada kumpulan warga yang sedang berdiri tegak di jalan depan petilasan. Pandangan mereka terpusat pada satu arah, kembang api yang masih terus memancar dari pucuk-pucuk beringin.
Hiiih, aku merinding, my Diary! Apa sesungguhnya yang akan terjadi di kampungku. Apakah pageblug akan datang lagi? Akankan kematian banyak warga tanpa disertai sebab yang jelas akan kembali melanda? Jangan ya, Tuhan! Kasihanilah hambaMu yang masih jomblo dan belum pernah tahu indahnya surga dunia.
Dengan perasaan sesak bercampur takut, aku terus melangkah mengikuti para dedemit tanpa kepala itu. Hingga tanpa aku sadari langkah para dedemit itu telah membawa diri ini ke halaman rumah Anggit.
Hah! Aku tersentak. Dengan mata melongo kusasksikan satu per satu demit tak berkepala itu masuk ke rumah Anggit dengan menembus pintu yang jelas-jelas masih tertutup rapat. Disertai hembusan angin yang tiba-tiba menderu, aku terdiam di tempat tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sepertinya pesta kembang api di petilasan tadi merupakan genderang perang bagi pasukan setan yang merasa belum terima atas rencana penggusuran petilasan yang masih tertunda. Tampaknya setan-setan tanpa kepala itu hendak menuntut balas pada papanya Anggit selaku ketua proyek penggusuran.
Oiya, my Diary! Tapi kenapa aku justru lebih mengkawatirkan keselamatan Anggit ya daripada papanya? Apa otak di dalam kepalaku ini sudah konslet sehingga punya pikiran yang begitu. Entahlah! Walaupun jelas-jelas Anggit telah mengecewakan aku, tapi tetap saja hati kecil ini tak rela jika dirinya sampai celaka.
Barangkali benar kata orang kalau cinta itu memang buta. Buta itu gelap. Jadi jangan heran kalau orang bercinta lebih suka di tempat-tempat yang gelap. Segelap pikiranku yang langsung beranjak dari halaman rumah Anggit yang semakin membuat perasaanku sesak.
***
My Diary ….
Pagi ini hatiku tenang kembali saat di tengah jalan kulihat Anggit berangkat sekolah dalam keadaan baik-baik saja. Wajahnya yang ayu semakin bercahaya seperti kembang api yang kusaksikan kemarin malam. Dengan sepeda ontel yang sudah usang, aku buntuti dirinya yang sedang dibonceng oleh teman sebangkuku. Cowok beruntung yang telah berhasil merasakan sentuhan hangat bibir Anggit yang selalu basah merekah.
Melihat senyum sumringahnya, walau senyum itu bukan untukku, segenap kekawatiran yang kemarin malam sempat bersarang dalam dada, seketika sirna. Pagi ini hatiku dipenuhi kembang api dari percikan sisa-sisa cinta bertepuk sebelah tangan yang sampai saat ini masih aku pertahankan.
Jika my Diary mau menganggapku bodoh, silakan! Bagiku cinta adalah suatu pengorbanan yang mengharuskan hati selalu ikhlas menerima setiap keadaan. Tidak mengapa kalau di dunia nyata dia lebih nyaman dalam pelukan orang lain, asal dalam mimpi dia masih mau singgah tak perlu lagi berkeluh-kesah.
Seperti matahari yang tak pernah letih menyinari bumi, begitu pula hatiku. Akan selalu memancarkan kembang api cinta untuk menghiasi langit asa. Tak sebilah pedang yang tajam akan mampu palingkan aku darimu, Anggit.
Maaf ya my Diary, aku jadi pingin nangis di pojokan. Aku terharu atas kesetiaan hatiku yang tak pernah digubris oleh bidadari pujaan kalbu. Ini bukan malam tahun baru, jadi bukan saatnya untuk ngehalu.