My Diary ….
Hari ini hatiku sedang berbunga-bunga sehingga membentuk sebuah taman yang indah meski tanpa seekor kupu-kupu yang mendatanginya. Namun tentu saja hal ini bukan karena Anggit sudah mau membuka hati padaku, sebab soal itu aku tidak yakin kapan akan kesampaian. Ini soal lain, my Diary. Persoalan yang membuat kebahagiaanku membuncah. Andai saja aku kenal dengan Doraemon, akan kupinjam baling-baling bambu agar bisa terbang ke angkasa yang biru.
Kau tahu my Diary, saat aku baru melek tadi pagi begitu aku buka jendela kamar, aku temukan sekuntum mawar merah menggeletak di bawah jendela. Mawar yang masih segar dan baru dipetik. Aromanya wangi semerbak. Tapi siapa pengirimnya, aku tak tahu. Saat aku cari-cari tadi tidak ada seorang pun di dekat jendela kamar.
Karuan saja hidung pesek ini langsung mekrok dan menghidu aroma wangi dalam-dalam. Pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Aku coba mereka-reka siapa kira-kira bidadari yang telah berbaik hati mengirimkan sekuntum mawar merah ini. Sebab kata orang jika ada yang mengirimi bunga mawar itu berarti si pengirim sedang jatuh hati pada orang yang dia kirimi. Mawar adalah lambang cinta.
Kau lihat itu my Diary, mawar itu sekarang aku taruh di sebuah vas merah muda dengan ornament bunga yang cantik jelita. Aromanya memenuhi segenap ruang di kamar ini. Andai saja mawar merah ini kiriman dari Anggit, mungkin anganku sudah terbang tinggi menembus langit.
Sekarang satu per satu kucoba mengingat-ingat siapa sosok gadis yang selama ini dekat denganku. Tapi hingga berjam-jam aku coba mencari tahu, tidak seorang pun aku temukan kandidatnya. Semua jauh dari aku. Kecuali para peri dan kunti yang suka menggodaku dengan tawanya yang mengerikan. Atau juga si demit nenek peyot berjuluk Nini Diwut yang hobinya bikin kesal itu.
Tapi mana mungkin mereka kirim mawar merah untukku. Itu hil yang mustahal. Yang ada justru mereka yang lebih sering minta dikirimi mawar bersama kemenyan bakar. Waduh, sialan! Baru diomongin dalam hati, sosok-sosok gaib itu sudah pula nongol di kamar ini. Si kunti dengan rambut menjuntai dan gaun putihnya yang gak pernah ganti, duduk ongkang-ongkang di atas lemari. Si peri duduk mengawang di sudut kamar sembari senyum-senyum menatap sekuntum mawar di meja belajar. Dan si nenek renta Nini Diwut nempel di langit-langit kamar dengan posisi menghadap ke bawah. Semua pada mengincar mawar merah semerbak mewangi yang sedang kupegangi sambil curhat sama my diary.
Kau lihatlah my Diary, sepertinya dedemit-dedemit kesepian itu pada ngarep banget untuk mendapatkan mawar merah ini. Enak, saja! Aku yang mendapat kiriman saja belum sempat menikmati harumnya dengan puas, masa sudah mau diminta. Jangan harap, ya!
Eh, sialan! Sepertinya para dedemit itu juga mendengar apa yang baru saja aku katakan dalam batin. Peka banget sih mereka. Andai saja Anggit bisa sepeka mereka, niscaya duniaku akan lebih berwarna.
Oiya my Diary, daripada aku pusing mencari siapa sosok yang mengirimkan mawar merah ini, apa tidak sebaiknya kugunakan mawar ini untuk media penerawangan ya. Siapa tahu dari penerawangan itu akan terjawab segala pertanyaan misterius yang sekarang mengendap. Bagaimana my Diary, kau setuju?
Nah, karena kau tidak menjawab maka aku anggap kau telah sepakat. Untuk sekarang aku tinggalkan kau sejenak. Aku mau bersiap-siap melakukan ritual penerawangan. Mumpung para dedemit itu masih terus mengintaiku.
Daah … my Diary!
***
My Diary, aku kesel banget deh. Coba bayangkan, sudah aku bela-belain mengorbankan mawar merah dan minyak wangi, tapi hasil penerawangan yang baru saja aku lakukan nihil. Tidak ada hasil sama sekali. Air rendaman mawar dalam wadah baskom tembaga itu tidak menampilkan gambar apa pun juga. Yang ada cuma suara tawa cekikikan dari para dedemit perempuan yang membuatku salting. Apaan, sih? Orang lagi sumpek malah ditertawakan. Enggak sopan banget!
Sampai hampir satu jam loh aku pelototi air dalam baskom tadi. Tapi tetap saja yang terlihat hanya kepingan kelopak mawar yang sudah aku preteli. Sudah gitu Nini Diwut beserta para kroninya tiada henti mentertawai. Saat aku lagi suntuk itu, berkelebatlah sesosok bayangan putih di hadapanku. Semula aku kira itu adalah si kunti yang iseng menggoda. Tapi ternyata bukan. Si kunti tampak sedang duduk santai di tepi ranjang sambil mempermainkan ujung rambutnya yang panjang tergerai.
My Diary, kau pasti enggak akan percaya jika aku katakan kalau air dalam baskom tembaga itu tiba-tiba berubah warna menjadi semerah darah. Semula aku kira warna bunga mawarnya yang luntur, tapi ketika kuraba-raba ternyata enggak. Warna merah itu muncul serta merta diiringi oleh meruarnya bau anyir darah. Aku sampai bergidik ngeri karenanya. Betapa enggak! Maksud hati ingin mencari tahu siapa pengirim mawar itu, eh, yang kudapat malah darah anyir yang bikin mual.
Apaan coba maksud dari semua ini. Adakah hal yang terlewatkan saat memulai ritual penerawangan tadi? Rasanya tidak ada! Sambil menahan mual, sekali lagi kuperiksa semua uborampe yang telah kupai.
Ya ampun! Ternyata aku lupa enggak pakai dupa, my Diary. Dupa itu masih tegak berdiri tanpa nyala api di bagian ujungnya. Aku lupa menyulut dupa itu ternyata. Pantas saja Nini Diwut dan para pengikutnya pada tertawa cekikikan saat melihat aku dalam keadaan kebingungan.
Duh, aku kesal dengan kecerobohanku sendiri, my Diary. Pantesan penerawanganku gagal. Mau mengulang juga percuma. Bunga mawar merahnya sudah terlanjur hancur. Tak bisa lagi dipakai untuk sebuah ritual. Gara-gara lupa dupa semua upayaku gatot alias gagal total.
Jelas saja my Diary, aku melotot marah pada Nini Diwut dan kroninya itu. Kenapa coba mereka tak mengingatkan kalau dupa lupa belum aku nyalakan. Apaan sih, tujuan mereka dengan semua ini. Padahal kan semua yang kulakukan itu dalam rangka memberi jatah makan juga buat mereka. Dasar setan tak tahu terima kasih!
Brakk! Sambil menahan emosi kutendang baskom tembaga berisi cairan merah hingga seluruhnya isinya tumpah. Bahkan sebagian mengenaimu, my Diary. Maaf, ya. Kamu hanya basah sedikit kok. Meski cairan merah itu tumpahnya di lantai, tapi yang lebih basah adalah hati ini.
Sesal dan tangis yang tersembunyi di dasar kalbu, menciptakan mendung tebal sesaat untuk kemudian menjelma jadi hujan deras. Hati kecil ini menangis keras. Gara-gara lupa menyulut dupa, mawar merah yang semerbak mewangi itu hancur tanpa guna. Apaan sih? Kok bisa aku seteledor itu, ya.
Sekali lagi maafkan aku, my Diary! Karena keteledoranku kau jadi basah!