Read More >>"> TANGAN TANGAN ASTRAL (MEMBACA SUARA HATI) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - TANGAN TANGAN ASTRAL
MENU
About Us  

My Diary ….

Hari ini aku sangat bahagia. Kau tahu kenapa? Yang jelas bukan karena uang saku yang diberikan bapak kelebihan. Lebih dari itu, ada sesuatu yang sangat spesial bagiku. Sepertinya hari ini ada iblis yang sedang berbaik hati kepadaku. Bayangkan saja, tak dinyana dan tak diduga, tiba-tiba di dalam laci bangku sekolah aku temukan sebuah amplop warna merah muda lengkap dengan gambar hati di bagian sudutnya.

Hati siapa yang tidak akan berbunga-bunga saat mendapatkan sebuah amplop yang dari warnanya saja sudah menunjukkan rona asmara. Dengan hati berdebar-debar halus, perlahan kueja satu nama yang tertera di bagian belakang amplop itu. Dari aku, Anggit. Begitu tulisannya.

Wajar dong kalau lantas dalam hatiku langsung menyanyikan lagu Sorak-Sorak Bergembira. Ini yang namanya pucuk dicinta amplop pun tiba. Sejenak kudekap erat amplop merah muda itu ke dada seakan aku sedang mendekap langsung pengirimnya. Wajahku yang biasanya kuyu, serta merta berubah sumringah. Tapi bukan glowing lo ya! Sebab di balik wajah seorang anak yang glowing, pasti ada orang tua yang pusing.

My Diary ….

Seperti biasa, sejenak aku celingak-celinguk mengedarkan pandangan ke ruang kelas. Setelah aku yakin tidak ada yang mengetahui perihal amplop itu, bahkan semut merah yang berbaris di dinding sekolah pun juga tidak tahu, buru-buru amplop itu kumasukkan ke kantong celanaku.

Kulirik arloji yang melingkar resah di pergelangan tangan. Sepuluh menit lagi bel masuk akan berdentang. Aku sempat berpikir untuk membaca isi amplop nanti saja setelah sampai di rumah. Tapi ya Tuhan … hatiku sudah tak sabaran. Rasa penasaran yang hebat mengaduk-aduk perasaanku. Iya kalau isi amplop merah muda itu berisi surat pernyataan cinta, tentu aku sangat-sangat berbahagia. Tapi bagaimana jika ternyata isi amplop itu adalah surat tagihan atas uang yang pernah aku pinjam darinya? Bisa mati berdiri aku. Lha wong sekarang kantongku lagi dilanda kemarau panjang. Kering kerontang.

My Diary ….

Meski dalam keseharian aku bukanlah tipe cowok rapuh, tapi desakan rasa penasaran yang hebat membuatku tak mampu bertahan. Aku ingin membaca isi amplop itu di sebuah tempat yang tenang agar bisa kuresapi setiap deretan kata yang aku yakin akan puitis seperti kisah cinta Romeo dan Yuliet yang ternama itu. Maka toiletlah yang menjadi pilihan utamaku.

Kau tahu my Diary, saat aku melangkah tenang meninggalkan ruang kelas, ada banyak mata yang menatapku culas. Atau bahkan memelas. Aku tak peduli. Sebelum aku selesai membaca suara hati yang terdapat di dalam amplop merah muda ini, aku akan bersikap cuek bebek andaikan langit runtuh menimpa bumi. Busyet, deh! Begitu dahsyatnya rasa cinta membutakan hatiku.

Begitu masuk toilet, tanpa memperhatikan itu toilet pria atau toilet wanita, langsung deh aku kunci rapat pintunya. Bergegas aku sandarkan punggung ke tembok toilet tanpa memedulikan aroma pesing yang cukup menyengat. Tak aku pedulikan pula tawa mengekeh dari sosok-sosok gaib macam Nini Diwut dan anak buahnya. Perhatianku vokus pada amplop merah muda itu.

Oh! Sesaat aku menarik napas tiga kali sambil mengeluarkan amplop itu dari kantong celana. Layaknya lelaki yang sedang kasmaran tingkat dewa, sejenak kukecup mesra amplop merah muda dengan penuh perasaan. Cup, cup, muaaacch! Setelah itu barulah perlahan-lahan aku sobek bagian penutupnya.

Wekk! Dalam sekali tarik, penutup amplop itu pun robek. Suara robekan kertas amplop itu terdengar seperti senandung rindu yang terlantum langsung dari bibir mungil pengirimnya.

Oh, my Diary …. Pagi tadi itu tidak ada siaran berita gempa dari BMKG, tapi mengapa dadaku bergetar dengan hebat. Lebih hebat dan bergemuruh dari saat pertama kali aku melihat wujud Nini Diwut yang menyeramkan itu. Hah, Nini Diwut? Ingat setan perempuan keriput ini timbul benih-benih kecurigaan dalam hatiku. Jangan-jangan hantu nenek renta itu telah membaca suara hatiku pada saat acara nyadran kemarin itu. Mungkin dikiranya aku benar-benar menginginkan jimat pengasihan agar Anggit bisa aku dapatkan. Lantas demit itu yang telah mengilik-ngilik hati Anggit sehingga tanpa sadar mengirimkan surat beramplop merah muda ini padaku.

Akh, persetan! Kalau cinta sudah melekat, biarlah jasa setan pun aku embat. Sambil menata hati dan membayangkan wajah Anggit yang sedang tersenyum manis padaku, perlahan kukeluarkan selembar kertas dari dalam amplop itu.

Dengan suasana hati bergemuruh syahdu, mulai aku baca deretan kata-katanya satu per satu.

Sayang … bacalah deretan kata dari sesosok tubuh ini. Ada sesuatu yang sangat ia dambakan, darimu, padanya. Jadi tolong, sampaikan ungkapan rasa cintaku ini, pada teman sebangkumu yang sangat aku kagumi. Dari aku, Anggit.

Hah! Serta merta mataku terbelalak lebar saking tak percayanya. Asa indah yang semula setinggi gunung Semeru, serta merta meleleh meremukkan segenap kalbu. Ingin aku menangis sejadi-jadinya karena ditikam rasa kecewa.

Oh my Diary … tolonglah aku. Rasanya diri ini tak sanggup lagi menatap matahari esok pagi. Dunia yang kata orang maha luas, kini terasa menyempit selebar sandal jepit. Aroma wangi parfum dari surat beramplop merah muda yang semula kusangka dikirim untukku, perlahan tapi pasti semakin menipis. Untuk kemudian terusir oleh bau pesing yang melambangkan kesialanku.

My Diary … sepertinya aku telah gagal membaca suara hati dari seseorang yang senantiasa menjelma dalam lipatan mimpi. Senyumnya yang telah menjadi candu dalam kehidupanku, kini mulai terasa menggerogoti dinding-dinding masa remajaku. Rindu ini berubah jadi dendam. Rasa cinta telah menjelma sebagai sebilah pedang tajam yang siap terhunus menikam perasaan.

Dengan hati yang remuk redam, aku robek-robek amplop beserta isinya itu seolah aku sedang merobek-robek hatiku sendiri. Robekan kecil-kecil itu kemudian kulempar ke lobang toilet dan kusiram dengan air satu ember.

My Diary, saking kecewanya diriku hingga bel masuk sudah berdentang sepuluh menit yang lalu, aku masih bergeming di dalam toilet yang cukup bau. Aku rasa bau kekecewaan lebih menyengat dari tumpahan air kencing yang lupa belum disiram.

Nini Diwut … aku butuh bantuanmu, gumamku waktu itu.

Lalu perlahan aku buka pintu toilet ketika terdengar ketukan keras dari luar. Sepasang mata menatapku sebal saat aku melangkah keluar. Sepanjang perjalanan menuju kelas, tiada henti aku menyumpah serapah pada kesialan nasib yang tak pernah bosan menghampiriku. Sekarang besar harapanku semoga Nini Diwut berkenan membaca suara hati yang sedang merintih ini.

Oh my Diary, jadilah kau saksi bisu atas sebuah persekongkolan hitam yang sebentar lagi terlaksana. Demi seluruh penunggu petilasan keramat aku tak bisa memaafkan penghinaan yang telah dilakukan oleh Anggit. Amplop merah muda itu telah menikamku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags