My Diary ….
Kau tahu sendiri kan, ritual nyadran sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar warga kampungku. Setiap malam Jumat legi atau ada warga yang hendak punya hajat, pasti akan mengadakan selamatan dan nyekar di sebuah petilasan keramat. Bagi orang yang kurang paham, bisa jadi hal ini dianggap musrik atau menyekutukan Tuhan. Meski pada kenyataannya tidaklah demikian. Doa-doa yang mereka panjatkan tetap tertuju dan menyebut asma Tuhan. Uborampe yang dipakai hanyalah bentuk sedekah berbagi dengan sesama. Sedang pohon beringin dan makam yang ada di sana hanyalah sarana belaka.
Tapi my Diary, entah kenapa ajakan ritual nyadran yang hendak dilakukan nanti sore itu begitu mengganggu pikiranku. Perasaanku mengendus adanya ketidakwajaran yang bakal terjadi. Tapi dalam bentuk apa, hasil penerawanganku kurang jelas. Sepertinya di hatiku mulai ada ruang kosong yang memungkinkan pikiranku menelisik lebih jauh sesuatu yang hendak dilakukan. Padahal biasanya enggak begini, loh!
Duh! Aku bingung dan tak tahu apa yang garus kuperbuat. Mata batinku yang seiring berjalannya waktu juga semakin peka, membuatku lebih sensitive dalam menyikapi setiap peristiwa. Sumpah! Aku tak mau terjebak oleh perangkap teman-teman gaibku yang lebih sering nyerempet-nyerempet bahaya. Tapi di sisi lain, aku juga tidak mungkin menghindari tradisi nyadran yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat secara turun-temurun ini secara frontal. Jadi aku harus bagaimana, my Diary?
***
Malam Jumat legi, pukul 22.00.
My Diary, tadi petang selepas adzan Magrib, aku sudah berdiri di tengah sekelompok warga yang sedang khusyuk memanjatkan doa-doa di altar batu petilasan keramat. Aneka sesaji yang berupa tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya terhampar di hadapanku. Sebuah ingkung yang berasal dari seekor ayam dimasak bumbu lodho juga tersedia. Tapi jujur ya my Diary, mata dan pikiranku justru lebih terpusat ke tumpeng dan ingkung itu, daripada serangkaian doa yang sedang dibacakan. Ya, maklumlah saat berangkat tadi aku sengaja tidak makan dulu. Agar jatah makan di acara nyadran itu bisa makan lebih banyak. Maaf ya bukannya aku rakus. Kan enggak ada salahnya memanfaatkan keadaan untuk perbaikan gizi bagi tubuh ini. He he he he!
Tapi tunggu dulu my Diary, dalam ritual nyadran petang tadi masih juga aku rasakan adanya hal ganjil. Seingatku warga yang hadir tak lebih dari 12 orang, tapi kenapa suara yang kudengar begitu bergemuruh seakan yang ada di petilasan keramat itu berjumlah ratusan orang.
Oleh sebab itu, tadi aku sempat celingak-celinguk di tengah acara. Aku coba menelisik keberadaan para penghuni petilasan yang barangkali memang ikut serta meski tanpa diundang. Dan benar saja, my Diary! Pada keempat sudut petilasan aku lihat ada sosok-sosok menyeramkan yang sedang berdiri menatap kerumunan warga. Saat menyadari kalau aku bisa melihat keberadaannya, keempat sosok hitam tinggi besar itu malah menyeringai ke arahku. Bahkan aku sempat mendengar mereka pada menggeram menahan murka.
Duh! Aku sempat merinding karenanya. Aku takut sosok-sosok menyeramkan itu akan meluapkan amarah dan mendatangkan marabahaya. Tapi ternyata tidak, my Diary. Saat sesepuh desa mulai membakar kemenyan dan dupa, aku lihat hidung keempat genderuwo itu pada kembang kempis menghirup aromanya. Selanjutnya wajah para dedemit itu jadi sumringah karena telah mendapatkan jatah makan secara gratis.
O iya my Diary, saat melihat sosok-sosok seram penghuni petilasan keramat itu sempat terlintas satu nama dalam pikiranku, yaitu Bang Uyat. Teringat nama penjual dimsun di kota Bandung itu aku sempat berpikir bagaimana seandainya aku mintakan ajimat penglaris buat dia. Siapa tahu dengan begitu dagangan dimsumnya jadi laris manis sehingga dia jadi milyader yang banyak istrinya. Aku sering merasa kasihan padanya yang tetap saja berstatus jomblo karatan. Jadi kalau perlu sekalian aku mintakan jimat pengasihan.
Tapi setelah aku pikir-pikir lebih baik enggak usah deh. Takutnya dia nanti jadi kepedean terus besar kepala. Pan jadi repot kalau Ramadan, enggak ada ukuran songkok yang pas buat dia. Makanya lantas aku urungkan niat itu. Lagian aku enggak enak hati kalau dia mencari rejeki dengan jalan sesat begini. Takutnya dia nanti masuk neraka terus dia malah kerasan tinggal di sana karena banyak artis cantik dan ternama. He he he!
Maaf ya my Diary, kok aku malah jadi ghibahin orang lain. Sementara hatiku sendiri lagi kosong. Apa enaknya aku minta jimat pengasihan untuk diriku sendiri saja, ya. Agar Anggit tergila-gila padaku sampai lupa daratan. Jadi ingatnya cuma lauuut saja. Enggak ajak ke mall, ke bioskop, ke caffe, maunya hanya melaut.
Duh! Aku bingung, my Diary.
Meski di kampungku ini masih berlaku falsafah cinta ditolak dukun bertindak, tapi tetap saja aku merasa kurang sreg untuk menjalani hubungan cinta berdasarkan aroma kemenyan. Aku takut hal ini malah dimanfaatkan oleh Nini Diwut yang suka nyaru sebagai gadis pujaanku. Bisa muntah tujuh hari tujuh malam aku kalau sampai terjebak hubungan terlarang dengan neneknya para setan itu. Lagian ini kan acara ritual nyadran, tak etis rasanya kalau aku manfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Karena itu my Diary, sepanjang acara nyadran tadi malam aku memilih bersikap banyak diamnya. Dengan mata terpejam dan telinga pura-pura tak mendengar suara-suara gaib yang memanggil-manggil, aku nikmati sesajian nasi yang sebelum acara mulai sangat aku nantikan.
Entah mengapa rasa lapar yang tadinya menyiksa, seketika berkurang. Nafsu makanku hilang setengah bagian. Melihat sosok-sosok genderuwo penunggu petilasan yang menghidu ruar aroma dupa dan kemenyan, sebagian ruang dalam perutku sudah merasa kenyang dengan sendirinya.
Jangan bilang-bilang ya my Diary, saat menghidu aroma dupa dan kemenyan itu, para genderuwo sambil melayang pelan mirip adegan slow motion dalam film percintaan. Dari celah bibir mereka menetes air liur berbau basin. Air liur itu mendarat di atas sajian makanan yang terhidang. Dan karena ketetesan air liur para genderuwo itulah semua makanan yang tersaji dalam acara nyadran jadi terasa lebih nikmat dari biasanya. Hal ini yang mendasari para pedagang nakal untuk memanfaatkan cari jimat penglarisan. Benar-benar menjijikkan!
Duh, my Diary … maaf ya terpaksa aku harus curhat soal ini karena aku tak mau banyak warga tersesat dalam kegelapan. Biarlah aku saja yang suka bermain gelap-gelapan, karena bagiku gelap itu mengasyikkan. He he he!
Dalam gelap kutemukan kedamaian. Dalam gelap kudapatkan ketenangan. Dalam gelap banyak hal yang semula tak terlihat justru menjadi jelas kelihatan. Asal jangan masa depan aja yang gelap. Iya, kan?
Duh, my Diary gak terasa ini sudah tengah malam. Bobok dulu, yuks!