My Psycopaths CEO
Bagian 2 : Lana
By Ika SR
Sebuah email balasan nyatanya lebih ditunggu-tunggu kedatangannya dibanding chat dari sang gebetan. Apalagi jika itu adalah email panggilan kerja. Tak terkecuali bagi Lana, gadis berumur 24 tahun itu baru saja lulus dari sebuah universitas kecil di pinggir kota. Mencari pekerjaan adalah prioritas utamanya sekarang. Ia berusaha keras menghalau semua ajakan teman-teman sebayanya untuk pergi travelling atau sekedar berleha-leha di rumah terlebih dahulu alih-alih langsung mencari pekerjaan. Tapi bagi Lana yang tidak bisa menggantungkan hidupnya pada orang tua. Mencari uang adalah hal mutlak yang harus ia lakukan. Tabungannya mulai menipis, apalagi ia sudah lulus dan tidak lagi mendapat uang beasiswa dari kampusnya.
Kedua orangtuanya sudah meninggal semenjak ia berumur 12 tahun. Semenjak itu pula ia harus hidup mandiri, seorang diri tanpa siapa pun yang bisa ia andalkan. Untung saja, nasib baik masih berpihak padanya. Tetangganya mau membantunya, padahal mereka sama sekali tak memiliki hubungan darah.
Reno, anak tetangganya yang umurnya 3 tahun di atasnya juga bersahabat dengannya. Keluh-kesahnya akhirnya ada yang mendengarkan. Karena Lana juga tak yakin ia bisa memendamnya sendirian.
Tring!
Ada sebuah notifikasi email masuk. Lana sengaja mengencangkan suara ponselnya menjadi mode luar ruangan. Agar jika ada notif, ia segera bisa mengeceknya.
Lana yang sedang menyapu ruangan dengan sigap menjatuhkan sapunya. Menyambar ponselnya dan mengecek email. Air mata bahagianya hampir merebak jatuh. Ia menutup mulutnya yang hampir berteriak sekencang-kencangnya. “Akhirnya, terimakasih ya Tuhan.”
Kebahagiannya bertambah dua kali lipat begitu ia meneliti lagi perusahaan yang menerimanya bekerja. Group CA Holding Company. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang property terkenal yang begitu besar.
“Astaga! Aku diterima bekerja di perusahaan sebesar ini. Padahal saat wawancara aku merasa aku tidak akan diterima. Terimakasih Tuhan, penantianku tidak sia-sia.”
***
01 July 2019
Beberapa peralatan rumah tangga masih terbungkus dalam kardus. Lana sedang bercermin di sebuah cermin seukuran tubuhnya. Ia merapikan lagi penampilannya. Ia tidak boleh terlihat berantakan di hari pertamanya kerja, apalagi ini adalah perusahaan besar yang begitu besar namanya.
Baju putih panjang selengan dengan rok hitam selutut dengan belahan pendek di bagian belakangnya. Rambut cokelat bergelombangnya digerai, panjangnya mencapai punggung. Ia menaburkan lagi sedikit bedak di wajah mungilnya. Bibirnya yang tipis dipoles dengan lipstik merah muda yang cerah. Ia memeriksa kembali bajunya pakaiannya. “Ah, bajuku hampi saja tidak muat. Menyebalkan, selalu saja terasa sempit di bagian dada,” gumannya sendiri sambil menatap cermin. Bisa dibilang ia mendapatkan anugerah lebih karena ia mendapatkan aset yang cukup besar. Dan membuat pria mana pun tergoda. Tapi, entahlah. Melihat semua bajunya yang terlalu sempit. Lana tak yakin lagi, ini anugerah atau musibah.
“Sudah siap,” katanya dengan riang.
Ia menyambar tas selempang hitam miliknya. Beranjak menuju halte bus dekat kamar kos yang baru saja ditempatinya. Karena perusahaannya terletak di tengah kota, mau tak mau ia harus pindah dari rumah kecilnya di pinggir kota.
Panas terik kota Jakarta, membakar kulitnya yang putih bening. Sayangnya, halte bus juga menghadap ke timur, tepat ke arah terbitnya matahari. “Ah, akhirnya bus datang,” gumannya. Lana segera menaiki bus transjakarta. Sepi, hanya ada dia dan beberapa orang lainnya.
***
Dada Lana berdegup dengan sangat kencang. “Wow, apakah ini mimpi?”
Argh! Ini benar-benar menakjubkan. Gedung kantor mewah setinggi 30 lantai ini menjulang dengan begitu kokoh. Ia yang seorang mahasiwi lulusan universitas yang tak punya nama bisa bekerja di tempat seelit ini. Tuhan, memang benar-benar selalu memberikan kejutan yang membuatnya tak bisa berkata-kata lagi.
Semoga, ini adalah jalan yang terbaik untuknya.
Lana melangkahkan kakinya dengan ringan menuju loby. Seorang recepcionist cantik menyapanya dengan ramah. Ia langsung diantarkan ke sebuah ruangan menggunakan eskalator. “Wah, ternyata tempat ini seperti mall. Ada eskalator juga di dalamnya,” batin Lana saat mereka menaiki eskalator menuju lantai berikutnya.
Saat mereka naik, tatapan mata Lana langsung terpaku pada seorang pria muda berjas hitam rapi yang menaiki eskalator yang turun. Pria itu diikuti dengan beberapa pria kantoran lainnya yang nampak lebih tua.
Lana terpaku pada sosoknya yang menawan dan sempurna. Pria itu tinggi, ramping, atletis, putih, memiliki mata yang tajam. Hidung mancung dan bulu matanya yang lentik bahkan masih bisa terlihat dari samping.
“Ach!”
Jeritan Lana sedikit tertahan, hampir saja ia terjatuh. Tanpa ia sadari, ia telah sampai di penghujung lift. Ah bahaya, pria tampan itu membuatnya kehilangan fokus.
Lana mengekor di belakang recepcionist cantik yang mengantarkannya.
Pria itu menoleh, namun Lana sudah terlanjur menjauh.
“Bau parfume ini tidak asing,” batinnya.
Wanginya membuatnya kembali mengingat kelembutan, kehangatan yang pernah ia rasakan. Dulu, dulu sekali.
“Pak?”
Pria itu menoleh. “Ya?” tanyanya dengan nada datar.
“Mobilnya sudah menunggu di depan.”
Ia mengangguk.
***
“Huft... hari pertama dan berkas-berkas ini sudah menggunung di hadapanku,” guman Lana.
“Tapi, aku harus tetap semangat. Aku tidak boleh mengeluh. Aku pasti bisa,” lanjutnya lagi.
Ia sudah merasa cukup bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang sebesar ini. Tentu saja, ia tidak akan mau menyia-nyiakannya. Dan beruntungnya lagi ia bertemu dengan Bu Magrieta, senior ramah yang diberikan tugas untuk membimbingnya.
“Gimana Lana. Kamu ada kesulitan tidak?” tanya Bu Magrieta.
“Ah, tidak Bu.”
“Jangan panggil bu dong. Kita kan hanya terpaut 4 tahun aja. Panggil Magrita aja biar lebih akrab.”
Lana mengangguk.
2 jam kemudian...
“Akhirnya selesai,” guman Lana.
“Lana, ayo kita makan siang dulu di kantin.”
Lana menoleh pada Magrieta yang mengajaknya ke kantin dan mengangguk. “Semoga saja makanannya tidak mahal-mahal,” harapnya dalam hati.
Seolah bisa membaca isi hati Lana, Magrieta langsung menimpali. “Tenang saja. Kantinnya gratis kok. Itu sudah termasuk di fasilitas karyawan.”
Lana hanya tersenyum, tapi dalam hati ia bersyukur mati-matian. Setidaknya, ia bisa berhemat.
***
Sajian makanannya lengkap dan terlihat lezat. “Lana, kau sudah bertemu dengan CEO perusahaan ini?” tanya Magrieta dengan penuh semangat.
Lana menggeleng, pikirannya masih berputar tentang ayam panggang lezat yang memenuhi mulutnya. “Uwah, kalau kau nanti ketemu. Kamu pasti langsung ngiler!” katanya dengan penuh semangat.
Lana hanya bisa benggong, tak tahu harus menanggapi apa. Satu-satunya hal yang membuatnya ngiler adalah makanan. Dan pria tadi.
“Dia begitu tampan,” kata Magrieta dengan semangat.
Tapi, wajahnya berubah lesu seketika. “Sayang dia sadis. Cuek, nggak suka kompromi, galak, dingin. Tapi mempesona dan senyumnya menggoda.”
Lana terdiam. Seniornya yang satu ini nampaknya memiliki mood yang bisa berubah drastis. Dalam satu kalimat, ia bisa mengungkapkan kekurangan sekaligus kelebihan CEO yang sama sekali belum pernah Lana temui. Yang tentunya levelnya beda jauh.
Hutf...
Yang terpenting bagi Lana sekarang adalah ia bisa mendapatkan pekerjaan dan melanjutkan kehidupannya dengan tenang.