Malam, tidakkah kau dengar?
Raungan alam memanggil jiwa yang hilang
Mata yang terpejam serukan nama malam
Dalam rengkuhan langit temaram
Sanubari yang terikat, tidakkah kau ingat?
Bahwa hilir kan ditempat
Di mana hulu jalinan kaubuat
Saat cakrawala melintang
Kala semburat jingga membentang
Akankah kau pulang
Hentikan jerit alam yang malang?
***
Derap kaki kecilnya terdengar menggema, tak sanggup mengimbangi langkah besar wanita di depannya. Napasnya terengah, dia ingin menangis. Tak ada yang bisa dia lihat selain gaun putih dan perut besar wanita di depannya. Sudah berapa jauh dia berlari? Sebenarnya sejauh apa lagi dia harus membawa pergi kaki kecilnya yang sudah berdarah-darah itu?
Anak kecil itu berhenti, tangan mungilnya terlepas dari tangan wanita dewasa itu. Matanya berpendar, tidak ada selain mata makhluk-makhluk liar mengerikan dan pepohonan raksasa yang bisa ditangkap maniknya, seolah mereka semua memberikan perhatian pada si anak kecil dan wanita dewasa itu.
"Ibu... aku takut, kakiku sakit." Anak kecil itu merintih, sepasang kaki kecilnya sudah dipenuhi goresan dan kerikil kecil yang tertancap.
Wanita dewasa itu berbalik, putra kecilnya tertinggal cukup jauh. Jauh di belakang mereka, seorang pria membawa obor kian mendekat. Wanita itu tak punya lebih banyak waktu dari ini atau pria itu akan meraih mereka.
"Sedikit lagi, sayang." Satu tangan wanita itu kembali menggenggam tangan si anak kecil, kembali membawanya berlari menjauh, semakin masuk ke dalam hutan. Suara lembutnya membuat si anak kecil mengikuti langkahnya tanpa ragu walau kaki mereka sudah terluka.
Dersik angin meniup dedaunan dan ranting mengiringi langkah mereka berdua. Anak kecil itu merintih. Peluh menetes dari keningnya. Beberapa kali dia mencoba menoleh ke belakang, tapi si wanita dewasa tak mengizinkan itu. "Jangan lihat ke belakang, sayang," ucap si wanita dewasa sambil menghalangi pandangan si anak kecil dan terus berlari.
Sebenarnya apa yang kita hindari? Anak kecil itu bertanya-tanya. Napasnya tersengal, tapi wanita dewasa itu terus berlari, menyingkirkan dedaunan dan ranting pohon yang menghalangi jalan mereka.
Mulut gua terlihat tak jauh di depan mata. Anak kecil itu melihat kedua sudut bibir si wanita dewasa terangkat, terlihat binar di matanya saat kedua manik indahnya bertemu manik si anak kecil. Kedua pasang kaki itu masih tidak berhenti, meski harus diseret-seret demi meraih mulut gua yang dipenuhi kegelapan.
Tidak ada cahaya, semua gelap.
Baru selangkah masuk, udara dingin di dalam gua membuat bulu kuduk si anak kecil meremang, kakinya gemetar dan matanya berair. Gua itu apek, aroma lembap memasuki rongga hidungnya, memberikan suasana tak nyaman. Tanah becek yang dia injak pun tak menjadi hal baik, lukanya jadi terasa sakit. Tangan kecilnya menggenggam tangan si wanita dewasa dengan lebih erat.
"Ibu... apa itu?" Si anak kecil bertanya, tapi si wanita dewasa hanya bergeming sambil memandangi ukiran besar sepasang mata di dinding gua.
"Humo ed terram, destine et redestine."
Mata si anak kecil terbelalak, napasnya tercekat ketakutan. Ukiran raksasa sepasang mata di depannya seakan berbicara dalam bahasa yang tak dia pahami. Tangan mungilnya mencoba menarik si wanita dewasa, tapi wanita dewasa itu tampak bergeming.
"Ibu, ibu... ayo kita pergi!"
Si anak kecil gemetar lantaran wanita dewasa itu tak mendengarkannya. Dia tak sanggup berdiri di dalam gua gelap dan lembap itu, tidak dengan ukiran mata yang bisa bicara itu. Dia berbalik, hendak memaksa si wanita dewasa untuk berlari tapi berakhir mematung. Seorang pria dengan api berdiri di mulut gua, perlahan menghilang berganti lidah api yang menjalar masuk mengejar si anak kecil di perut gua.
Api begitu cepat menyambar hingga mulut gua tak lagi ada dalam pandangan si anak kecil. Warna merah kini mengganti gelapnya gua, seluruh relief di dinding gua terlihat seiring api itu mendekat ke arahnya. Tidak ada rasa dingin yang menusuk lagi, tapi si anak kecil tetap membeku.
Anak kecil itu hanya menutup mata, tidak ada jalan keluar. Kobaran api itu tak jauh darinya dan ujung lidahnya akan menarik badan si anak kecil dengan mudah ke dalam perut sang jago merah. Dia rasakan lengan si wanita dewasa melingkarinya, memberinya kehangatan nyaman di tengah lembap dan panas yang bersatu.
"Humo ed terram, destine et redestine."
Tangan si wanita dewasa membelai lembut wajah si anak kecil, suara lembutnya membisikkan kalimat asing tadi di telinga anak kecil itu. Maniknya menatap lembut wajah mungil si anak kecil yang dia peluk dengan hangat, berakhir dengan kecupan hangat di ubun-ubunnya.
Si anak kecil membuka matanya. Manik hijau indahnya memancarkan binar dan berkaca-kaca menatap mata si wanita dewasa yang tenang bahkan dengan lidah api yang sedikit lagi menyentuh mereka.
"Jangan takut, putraku Noct. Semua yang pergi akan kembali. Tujuan sejati adalah tempat pulang."
***