Iago duduk di kursi yang terletak di dekat meja belajar sembari membolak-balik secara acak salah satu buku milik Ara.
Sejarah Dunia yang Disembunyikan.
Terus terang Iago kurang suka membaca buku-buku yang berbau sejarah, dirinya lebih suka membaca buku-buku ilmiah. Entah, tak tahu kenapa judul buku itu berhasil menarik perhatiannya. Buku dengan judul asli The Secret History of the World itu dengar-dengar cukup kontroversial, mungkin karena itu Iago menjadi tertarik.
“Hati-hati kalau lo mau baca buku itu,” tegur sebuah suara.
Iago menoleh. Ara yang dikiranya masih terlelap rupanya malah duduk sembari memainkan ponsel.
“Logika lo bakalan berasa dibolak-balikin. Apa yang selama ini lo yakini benar, tiba-tiba aja jadi terlihat salah,” sambung Ara.
Sebelah alis Iago naik. “Oh ya? Kalau gitu gue pinjem buku lo ini ya.”
Ara mengangguk. “Bawa aja.”
“Oke.” Iago menoleh, mengarahkan pandangannya pada Ara. “Ngomong-ngomong, kalau kita akur gini rasanya nggak buruk juga, ya?”
Ara hanya mengedikkan bahu sebagai respons. Padahal dalam hati dia mengamini perkataan Iago. Saling benci dan selalu bertengkar rasanya begitu melelahkan.
“Ra, gue boleh tanya sesuatu nggak?” tanya Iago ragu-ragu.
“Um.... Boleh.” Bibir Ara mengerucut. “Tanya aja,” lanjutnya, kemudian menyimak.
“Lo masih benci sama gue?”
“Soal itu—”
“Karena jujur gue bingung aja sama sikap lo yang berubah-ubah. Kadang gue ngerasa kalau lo sebenernya nggak benci sama gue, tapi kadang gue juga ngerasa kalau lo benci setengah mampus sama gue,” terang Iago. “Gue jadi bingung harus gimana ngadepin lo. Gimana bantuin lo yang suka keras kepala kalau ngomong sama gue....” Banyak yang ingin Iago lakukan untuk membantu Ara, akan tetapi sikap Ara yang berubah-ubah membuat Iago bingung. Bahkan tak jarang penolakan Ara membuat Iago kecewa dan sakit hati.
Ara terlihat diam dan berpikir. Saat ini mungkin adalah saat-saat Ara harus jujur pada perasaannya sendiri. Sebenarnya, apa yang dirasakannya pada Iago....
“Gue nggak tahu apakah gue masih benci sama lo atau nggak,” kata Ara memulai. “Ini bukan soal lo minta tolong sama gue atau lo yang mau bantuin gue. Gue cuma ngerasa sejak kehadiran lo, hidup gue jadi makin kacau. Astaga, Go! Ramalan itu bener-bener bikin gue kacau. Ditambah lagi sama lo yang tiba-tiba minta tolong sama gue, terus kejadian Kak Lisa.... Sebelumnya hidup gue baik-baik aja, tapi sekarang hidup gue berasa jungkir balik.” Ara mendesah setelah mengucapkan kalimat terakhir. Sepertinya dia sudah benar-benar capek dengan permainan takdir yang semaunya sendiri ini.
Mata Iago menyipit. Di benaknya, terlintas sebuah pertanyaan yang sebenarnya begitu mengganggu. “Ra, lo beneran percaya sama ramalan itu?” Akhirnya Iago mengutarakannya juga. “Bukannya gimana, gue cuma ngerasa kalau ada yang janggal aja dengan ramalan itu.”
Ara menarik sebelah sudut bibirnya. “Awalnya gue juga menolak buat percaya. Tapi peramal itu tahu segalanya, bahkan pertanyaan dalam hati gue. Percaya atau nggak, peramal itu kayak bisa denger suara yang gue ucapin dalam hati.”
Iago yang tadinya duduk di kursi kini berpindah ke tepian tempat tidur. Tangan cowok itu menggapai puncak kepala Ara dan memgelusnya dengan sayang. “Kalau lo emang percaya sama ramalan itu, gue akan bantu lo sampai lo ketemu sama cowok yang lo cari,” ucap Iago.
Ara tersenyum dan mengangguk kecil.
Tanpa Ara ketahui, sebenarnya hal ini teramat berat bagi Iago. Cowok itu jelas tahu jika perasaannya sudah tertambat. Sayangnya, dermaga yang menjadi tempat perahu Iago berlabuh malah sedang menanti kedatangan perahu lain. Meski begitu Iago akan tetap berusaha untuk Ara. Mungkin dalam hidupnya Iago tidak memiliki kesempatan untuk bersama dengan Ara, tapi setidaknya dia masih bisa melihat Ara tetap hidup.
“Kadang gue ngerasa kalau lo juga punya perasaan yang sama kayak gue. Meski samar-samar,” gumam Iago tanpa sadar.
“Hah? Lo bilang apa barusan?”
“Nggak!” Iago menggeleng cepat. “Nggak ada.”
“Eh, telinga gue nggak budek, Go....”
Namun Iago tetap menolak mengulanginya. “Gue nggak bilang apa-apa. Lo aja yang salah denger mungkin.”
Ara mencubit lengan Iago dengan gemas, hingga cowok itu mengaduh kesakitan. “Gue denger lo ngomong sesuatu,” ujar Ara bersikeras.
“Nggak ada. Gue nggak ngomong apa-apa. Lo aja yang salah denger,” elak Iago sembari mengusap-usap lengannya yang baru saja dicubit oleh Ara.
“Gue nggak salah denger.” Ara kembali mengulurkan tangan, hendak mencubit Iago lagi. Namun dengan sigap Iago menangkap tangan Ara.
Jarak yang cukup dekat, serta tatapan mereka yang kebetulan saling tertambat, membuat jantung Iago berdegup kencang. Ingin rasanya dia membuang semua yang dirasakannya sekarang, tapi sepertinya mustahil.
“E-eh, gue ke kamar mandi dulu,” ucap Ara seraya menarik lepas tangannya dari Iago, memutuskan kontak mata di antara keduanya.
Tanpa menunggu respons dari Iago, Ara langsung pergi begitu saja, meninggalkan Iago di kamarnya.
Helaan napas panjang lolos dari bibir Iago. Ada perasaan geli ketika melihat Ara yang salah tingkah, entah kenapa Iago senang melihatnya. Rupa-rupanya di balik sikap Ara yang selalu galak dan jutek, cewek itu juga memiliki sisi canggung yang menggemaskan.
Ponsel Ara yang tergeletak di atas tempat tidur bergetar. Ada sebuh pesan WhatsApp baru dari Hendra. Berhubung itu pesan pop-up, mau tak mau terbaca oleh Iago.
Ra, pulang sekolah nanti gue sama temen-temen mau ke rumah lo nih.... Lo mau dibawain makanan apa?
Rahang Iago seketika mengeras. Kedua tangannya mengepal menahan sesuatu yang meluap-luap di dadanya. Hendra cowok yang baik, meski begitu tetap saja ada perasaan tidak suka saat membayangkan Ara dan Hendra bersama.
Ara kembali dari kamar mandi dengan langkah gontai. Wajahnya masih pucat walau sudah tidak sepucat tadi.
“Hendra sama temen-temen lo mau ke sini. Lo mau dibawain makanan apa?” beri tahu Iago pada Ara.
“Eh?!” Ara buru-buru menyambar ponselnya. “Lo ngintip WA gue?”
Iago mengangkat bahu. “Mau gimana lagi? Salah sendiri lo atur pop-up.”
“Ckck.... Untung bukan pesan penting.”
Senyum di wajah Iago mengembang samar. “Oh, jadi Hendra bukan orang penting buat lo?”
Ara memutar mata. “Ya nggak gitu juga konsepnya, Go. Udah deh, mending lo cabut sekarang.”
“Gue diusir nih?” Sebelah alis Iago terangkat.
“Gue nggak mau temen-temen gue salah paham,” ujar Ara dengan masih sibuk berkirim pesan dengan Hendra. “Masalahnya kita cuma berdua di rumah.”
“Gue nggak ngerti di mana letak masalah yang bisa bikin temen-temen lo salah paham.”
“Go....”
“Gue bakalan tetep di sini sampai temen-temen lo dateng,” putus Iago dengan nada yang sama sekali tidak menerima penolakan.
“Duh,” Ara memijat keningnya, “kayaknya lo emang sengaja dikirim Tuhan buat bikin hidup gue tambah susah.”
“Bisa jadi.”
“Lo itu bener-bener ya....”
“Iya. Gue bener-bener.... Bener-bener sayang sama lo,” tukas Iago yang seketika membuat Ara bungkam.
Iago tahu perasaannya pada Ara tidak mungkin terbalas. Sebab Iago tahu jika cowok yang Ara cari bukanlah dirinya. Namun selagi memiliki kesempatan untuk dekat dengan Ara, kenapa tidak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin?
“Udah. Gue asal ngomong doang,” ucap Iago. “Lo balik istirahat aja.”
Usai mengatakan itu, Iago kembali duduk di kursi dekat meja belajar dan lanjut membaca buku. Sayangnya rentetan kalimat yang dibaca Iago sama sekali tidak sampai ke otaknya. Kepala Iago berisik dengan suara-suara yang membuat perasaannya semakin tak menentu.
Iago pernah menyukai seseorang, tapi rasanya sama sekali berbeda dengan yang dirasakannya sekarang. Apa yang dirasakan Iago saat ini terasa lebih nyata, tulus, dan tidak egois, walau di sisi lain ada rasa sakit dan kecewa.
Anehnya, Iago tidak benci.
Iago menarik sebelah sudut bibirnya. Menyeringai. Tak ada yang menyangka bila keputusannya meminta tolong pada Ara malah berujung seperti ini. Jika saja Iago tidak meminta tolong pada Ara, kejadiannya pasti akan lain. Hanya satu hal yang Iago sadari, dia tidak pernah menyesal karena sudah meminta tolong pada Ara.
*