Iago, Daniel, dan ... Kak Lisa. Ketiga nama itu terus-menerus berputar di kepala Ara. Dirinya dan Iago sama sekali belum membuka mulut sejak meninggalkan tempat itu. Ara melirik Iago yang tengah mengemudi. Pandangan cowok itu lurus ke depan, akan tetapi Ara bisa merasakan jika pikirannya sedang ke mana-mana.
Hingga detik ini pun, Ara masih bingung antara ingin berterima kasih atau marah pada Iago. Cowok itu datang tiba-tiba untuk menyelamatkannya, bagaimana bisa Iago tahu jika dirinya tengah dalam masalah? Juga, bagaimana bisa Iago tahu tempat itu?
Kepala Ara berdenyut. Satu masalah belum selesai dan masalah lain menyeretnya dalam teka-teki.
“Kenapa Kak Lisa ngelakuin itu ke gue? Gue salah apa?” protes Ara lirih.
Iago menoleh sekilas. Ara sempat menangkap sorot mata Iago yang berusaha menghindar dari tatapannya. Sorot mata Iago memancarkan kemarahan, rasa bersalah, dan juga penyesalan.
“Go?”
“Ceritanya panjang. Rumit. Dan sekarang gue menyesal,” ujar Iago tanpa sedikit pun menoleh pada Ara.
Ara bergeming. Pikirannya benar-benar seperti gumpalan benang kusut.
“Gue cuma bisa bilang maaf sama lo, Ra. Cuma itu yang bisa gue lakuin,” lanjut Iago, masih enggan menoleh.
“Lo itu ngomong apa sih?!” Kesabaran Ara mulai menipis. “Gue butuh penjelasan dari lo, bukan permintaan maaf.”
“Lo butuh!” dengus Iago. “Ujung-ujungnya lo pasti butuh permintaan maaf gue, Ra....”
Ara memejamkan mata, mencoba meraba-raba dalam kegelapan yang kini dilihatnya. “Ada apa antara lo, Daniel, dan Kak Lisa?” tanyanya, lantas membuka mata.
“Lo nggak ngerti, Ra....”
“Kalau gitu buat gue ngerti,” balas Ara cepat. “Buat gue ngerti kenapa semua ini terjadi. Kenapa gue yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama kalian bertiga, harus mengalami kejadian yang bahkan lebih buruk dari semua mimpi buruk gue? Kenapa—”
“Sumber masalahnya itu gue, Ra!” tukas Iago, memotong kalimat Ara.
“Lo kenapa...? Gue berhak tahu, Go!”
Napas Iago memburu, pandangan cowok itu mulai tidak fokus akibat keruwetan pikirannya. Tak ingin mengambil risiko, Iago memilih untuk menepikan mobilnya.
Situasi ini bukan seperti rancangan awal Iago. Dari samping, Ara masih menatapnya. Cewek itu butuh penjelasan dan memang berhak tahu apa yang sedang terjadi. Iago memberanikan diri untuk membalas tatapan Ara. Ada ketakutan besar yang muncul tatkala tatapan matanya berserobok dengan Ara.
“Kita ke apartemen kakak gue,” ucap Iago.
Ara mendengus. “Kenapa kita harus ke sana?”
“Ada yang perlu gue omongin sama lo.”
“Kalau lo emang punya niat buat jelasin semuanya sama gue, nggak perlu banyak alasan. Di sini, dan detik ini pun juga bisa.”
“Lo perlu ganti baju, Ra.”
Ara terdiam beberapa saat, melirik dirinya sendiri yang masih mengenakan hoodie milik Iago. “Oke. Tapi lo harus janji sama gue buat ngejelasin semuanya.”
Iago mengangguk. “Dan gue minta lo juga janji satu hal sama gue....”
Ara menghela napas.
“Apa pun yang terjadi, jangan benci gue.”
Ara meringis. “Gue udah benci sama lo sejak pertama kali kita ketemu.”
“Kalau gitu,” Iago menatap Ara lekat-lekat, “jangan benci gue lebih dari itu.”
Ara tertegun. Perutnya mendadak berdesir karena ditatap Iago seperti itu. “Oke.” Pada akhirnya Ara setuju walau dalam hati dia ragu apakah rasa bencinya pada Iago masih tersisa.
Iago mengulurkan tangan untuk menjangkau puncak kepala Ara, mengelusnya lembut seolah tengah menyampaikan apa yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata. Dalam hati, Iago sedih. Dia tahu hatinya sudah terjerat, tapi dia juga tahu bila seseorang yang telah menjeratnya pada akhirnya akan pergi meninggalkannya. Terlepas dari semua rencananya, berjalan mulus ataupun meleset, Ara tetap akan pergi darinya.
Gue bener-bener berdoa, berharap semoga lo beneran bisa menepati janji lo buat nggak benci sama gue, Ra.... Apa pun yang terjadi, gumam Iago dalam hati. Kemudian Iago menarik tangannya dari kepala Ara dan mulai mengemudikan mobilnya perlahan.
*
Apartemen ini sangat tenang dan ... kosong! Ara mendekap tubuhnya sendiri saat Iago membimbingnya masuk ke dalam apartemen mewah milik kakaknya. Apa yang terjadi tadi benar-benar memengaruhi mentalnya, tempat tenang yang seharusnya membuat Ara merasa aman rupanya malah membuatnya was-was dan tidak tenang.
“Ini apartemen kakak gue yang nomor dua. Sekarang dia tinggal di Australia sama suaminya,” terang Iago seraya membuka salah satu pintu yang ternyata adalah kamar. “Baju-bajunya banyak yang masih baru, lo pilih sendiri mana yang mau lo pakai.”
Ara memasuki kamar yang barang-barangnya masih lengkap meski sudah tidak lagi ditinggali oleh pemiliknya. Dibukanya lemari baju yang terletak di sudut kamar. Benar kata Iago, banyak baju di dalam situ yang labelnya masih belum dipotong.
“Gue tunggu di luar,” beri tahu Iago, lalu berjalan keluar dan menutup pintu.
Ara memilih kaus hitam polos dan menarik labelnya hingga putus. Dengan cekatan Ara mengganti bajunya yang sudah robek di sana sini, kemudian memperhatikan kembali penampilannya di cermin. Wajahnya masih pucat dan rambutnya awut-awutan. Ara tak mau ambil pusing, dia menyisir rambutnya dengan jari dan bergegas menemui Iago. Saat ini penjelasan dari Iago lebih penting daripada apa pun.
Di ruang tamu, Iago duduk bersandar di sofa dengan kedua mata terpejam. Dada cowok itu naik turun perlahan, sesekali tersendat seperti tengah menahan sesuatu.
Ara mengguncang pelan tubuh Iago. “Lo tidur?”
Iago menggeleng, kedua matanya masih terpejam.
Ara duduk di sebelah kiri Iago. “Apa yang mau lo omongin?”
“Dulu, gue pernah suka sama cewek. Namanya Lisa. Dia datang ke hidup gue sebagai cewek manis yang bikin hari-hari gue berwarna.” Iago menelan ludah. “Sampai suatu hari, gue tahu cewek yang saat itu udah jadi pacar gue, ciuman sama cowok yang udah gue anggap sebagai temen gue, namanya Daniel.”
Jantung Ara bedetak cepat. Pelan-pelan, dia mulai mengerti.
“Belakangan gue tahu kalau gue hanya dimanfaatin Lisa,” lanjut Iago, lalu membuka mata, menatap Ara yang kini sedang menatapnya.
Ara berpaling untuk menghindari tatapan Iago.
“Di saat dia ngerasa gue yang menguntungkan, dia ada di sisi gue. Dan di saat dia ngerasa Daniel yang lebih menguntungkan, dia pergi ke sisi Daniel.”
Sampai di sini Ara masih bungkam. Dia tak tahu harus berkata atau merespons seperti apa. Meski semuanya mulai terlihat jelas, tetapi Ara belum sepenuhnya paham.
“Dan sekarang Lisa ngejar-ngejar gue lagi. Dia tahu kalau gue bakal mengacaukan rencana bokap gue dengan pacaran sama lo. Jadi,” Iago diam sejenak, “dia ngelakuin segala cara biar gue nggak bisa pacaran sama lo.”
Gumpalan benang kusut di kepala Ara bertambah ruwet. “Bisa nggak, lo lebih terperinci lagi ngejelasinnya? Gue beneran bingung.”
“Lisa ngedeketin gue karena waktu itu bokap gue adalah investor terbesar buat perusahaan bokapnya, lalu saat bokapnya Daniel yang jadi investor terbesarnya, Lisa pergi dari gue dan ngedeketin Daniel.” Iago menarik napas. “Bokap gue itu temennya bokapnya Daniel. Tapi seperti lo tahu, dalam bisnis nggak ada yang bener-bener temen. Mereka temen, tapi juga saingan. Awal tahun ini entah ada masalah apa, banyak investor yang cabut dari perusahaan bokapnya Lisa, termasuk bokapnya Daniel. Singkatnya saat ini cuma bokap gue yang jadi harapan perusahaan bokapnya Lisa.”
“Karena alasan itu Kak Lisa ngejar-ngejar lo lagi?”
Iago mengangguk. “Gue nggak tahu kenapa bokap gue bisa nurut banget sama Lisa. Entah gimana caranya, Lisa bikin bokap gue yakin kalau dia adalah cewek yang tepat buat gue. Ikatan antara gue dan Lisa akan saling menguntungkan bisnis keluarga kami.”
Ara memijat keningnya sendiri. Sungguh, apa yang didengarnya ini membuat otaknya bekerja keras.
“Lo temenan sama Daniel?” tanya Ara.
“Bisa dibilang iya, tapi juga bisa dibilang nggak.”
Ara mendengus. “Lo kenapa ngejelasinnya sepotong-sepotong sih?! Yang ada gue malah tambah bingung.”
“Gue, Daniel, bahkan Lisa ... di antara kami bertiga nggak ada yang tersembunyi. Daniel kecanduan narkoba, Lisa sedang berusaha keras mempertahankan posisinya sebagai calon tunangan gue karena perusahaan bokapnya sedang kesulitan keuangan, dan gue berjuang keras agar gue masih bisa ketemu sama orang yang paling gue sayangi.”
Setiap kalimat yang meluncur dari bibir Iago membuat Ara merenung. Rupanya masih ada orang yang hidupnya jauh lebih rumit dari pada hidupnya.
Namun tiba-tiba mata Ara terbelalak. Sesuatu telah luput. Potongan-potongan cerita Iago kini menjadi masuk akal. “Kenapa harus Kak Lisa sih?!”
Iago tak merespons.
“Sialan lo!” umpat Ara ketika menyadari bila dugaannya tidak meleset. “Gue benci banget sama Kak Lisa,” geram Ara kemudian menggigit sudut bibirnya. Kedua tangan cewek itu mengepal.
Iago mencoba menyentuh bahu Ara, tapi langsung ditepis. “Ra—”
Pikiran Ara merangkak mundur, bukan karena kejadian tadi, melainkan kejadian beberapa bulan lalu. Ara tahu kebenciannya pada Kak Lisa tidak ada sangkut pautnya dengan Iago, akan tetapi apa yang terjadi padanya tadi membuat Ara kian membenci orang yang telah membuatnya mengambil keputusan untuk hengkang dari tim cheer.
“Ra....” Iago masih mencoba untuk mengajak Ara berbicara. Dan lagi-lagi Ara menolaknya.
“Gue mau pulang!” tukas Ara, lantas berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Iago.
Iago refleks berdiri dan mengejar Ara. Disambarnya tangan Ara hingga cewek itu berhenti. “Gue anter lo.”
Ara meringis dan menarik tangannya, berusaha lepas dari Iago. “Lepasin gue,” rontanya, masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Iago.
“Nggak! Gue nggak mau lepasin lo!”
“Lepasin!”
“Nggak!”
Air mata Ara mulai merebak. Dia tahu ada orang lain yang memiliki masalah lebih rumit dari pada dirinya, tapi kenapa harus melibatkannya juga?
“Lo tadi udah janji sama gue, Ra,” rengek Iago. “Lo nggak bakalan benci sama gue, apa pun yang terjadi....”
“Gue bener-bener benci sama kalian. Kak Lisa, Daniel, dan lo! Gue salah apa sama kalian, kenapa kalian harus ngelibatin gue?! Gue salah apa?!”
Tak ada jawaban dari Iago. Cowok itu hanya memberikan tatapan penyesalan pada Ara. Banyak, begitu banyak yang ingin dikatakannya, hanya saja Iago tahu semua itu tak ada gunanya sekarang.
Selama beberapa saat, mereka hening, sibuk menenangkan diri. Napas Ara memburu, dikuasai emosi yang meletup-letup di dadanya. Dalam waktu sekian detik, Ara menyadari bila dia sudah terlalu banyak membuang-buang waktunya dengan Iago.
Perlahan Ara menoleh, menatap Iago yang sedari tadi masih menatapnya. “Harusnya dari awal gue nggak pernah ketemu sama lo. Gue bener-bener benci sama lo, Go. Benci banget!”
“Lo boleh benci gue sebesar yang lo mau. Tapi gue nggak bakal lepasin lo. Nggak akan pernah,” balas Iago.
Ara menggeleng. Menolak untuk mengerti.
“Ra—”
“Kenapa sih lo bikin hidup gue kayak di neraka?!” sentak Ara. “Gue—”
“Gue sayang sama lo, Ra,” tukas Iago cepat.
Kalimat Iago berhasil membuat Ara membeku. Sekian detik berlalu tanpa ada satu hal pun yang dipikirkan. Benar-benar kosong.
“Gue nggak berharap apa pun dari lo sekarang. Gue cuma minta, lo dengerin gue sekali ini aja,” kata Iago lagi.
Ara bergeming.
“Waktu pertama kali gue mutusin untuk minta tolong sama lo, gue nggak berpikir kalau perasaan gue akan berpindah jalur kayak yang gue rasain sekarang. Gue cuma berpikir kalau lo adalah cewek yang cocok karena lo benci setengah mampus sama gue. Tapi entah sengaja atau nggak, lo bikin gue ngejar-ngejar lo, bikin gue semakin penasaran.” Iago menghela napas, mengharapkan reaksi dari Ara. Namun Ara masih saja diam. “Kita berdua hampir-hampir selalu bertengkar setiap kali ketemu, lo bikin gue jengkel dengan semua penolakan lo, tapi gue nggak bisa berhenti. Sampai akhirnya perasaan gue ikut terseret. Gue nggak suka dengar Hendra yang curhat ke Brian soal lo, gue marah waktu gue tahu Daniel deketin lo lagi. Gue berusaha ngelindungin lo.”
“Cukup, Go! Gue nggak butuh semua omong kosong lo! Mulai detik ini, gue mohon lo angkat kaki dari hidup gue.”
“Gue nggak bisa!”
“Lo bisa!”
“Tapi gue nggak mau!”
“Lo beneran udah sinting!”
“Lo yang bikin gue sinting, Ra!”
Ara menutup kedua telinganya, tak ingin mendegar suara Iago lagi. Pikiran dan perasaannya kacau, Ara tak sanggup jika Iago terus menjejalkan omong kosong padanya.
“Gue pasti akan temukan cowok itu buat lo,” ungkap Iago serak. Sepertinya dia juga mulai lelah.
Ara mendengar itu. Tentu saja karena kedua telapak tangannya tak sepenuhnya mampu memblokir suara Iago. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, Ara berjalan menjauhi Iago.
“Gue bakal angkat kaki dari hidup lo, jadi orang asing buat lo ketika lo udah ketemu sama cowok yang lo cari.” Iago berusaha tersenyum walau tahu Ara tak akan menoleh untuk melihatnya. “Lo nggak perlu jawab apa-apa, apalagi bales perasaan gue. Cukup biarkan gue tetep sayang sama lo.”
Ara memejamkan mata, tangannya gemetar ketika hendak membuka pintu. Air matanya sudah nyaris tumpah, Ara segera melarikan diri agar Iago tak sampai melihatnya menangis. Padahal di belakang Ara, Iago juga melepasnya dengan rasa sakit yang menyesakkan dada.
*