“Gue nggak mau lo mati.”
Kalimat Iago itu terus berputar-putar di kepala Ara sejak kali pertama dia mendengarnya. Sudah sejak pagi Ara menghabiskan hari Sabtunya dengan menonton drama Korea yang notabene mengandung banyak kutipan-kutipan bagus, harapannya agar kalimat Iago melebur dan hilang. Namun yang terjadi adalah wajah Song Kang berubah menjadi wajah Iago dan apa saja yang diucapkan aktor ganteng itu terdengar seperti kalimat Iago.
Ara mendesah panjang. Merasa percuma, dia akhirnya menutup laptopnya dan berguling ke tempat tidur. Hati dan pikirannya bersekongkol untuk kacau balau bebarengan.
Cukup lama Ara melamun. Lalu ketika akhirnya tersadar, dia spontan meraih ponselnya. Ada sebuah direct message di Instagram-nya. Itu dari Iago....
Hari Minggu mau jalan nggak?
Ara hanya menatap pesan itu, sama sekali tidak ada keinginan untuk membalas. Dia hanya sedang bingung. Setelah menimbang-nimbang, Ara memilih untuk keluar dari menu direct message dan mengabaikan pesan dari Iago. Ketika hendak menutup aplikasi Instagram, Ara dikejutkan dengan sebuah pemberitahuan baru.
imiago_vk started following you.
Ara mendesah panjang, berupaya membuang bayangan Iago dari benaknya. Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan ketimbang cowok itu.
Ara menelungkupkan benda kesayangannya itu di bantal, merenungi betapa cepat hidupnya berubah—mirip seperti telapak tangan yang tiba-tiba dibalik. Jika bisa, Ara ingin kembali ke hari itu. Hari di mana Madam Maris memanggilnya. Andaikan itu bisa terjadi, Ara akan bersikeras menghindari peramal itu dengan segala cara. Toh kalau memang harus mati, dia tidak perlu bersusah payah. Setidaknya dia masih bisa melalui hari-hari terakhirnya dengan bersenang-senang.
Entah karena lelah berpikir atau memang mengantuk, Ara menyerah pada kelopak matanya yang terasa semakin berat. Membiarkan dirinya jatuh ke dalam tidurnya yang polos tanpa berhias mimpi.
Mungkin inilah yang dia butuhkan.
Mungkin inilah yang dinamakan istirahat.
*
Paginya, ketika bangun, Ara merasa hati dan pikirannya sudah sedikit lapang. Dia meraih ponsel yang tergeletak di samping bantalnya dan langsung membuka Instagram untuk membalas pesan Iago.
Oke. Lo jemput gue jam berapa?
Jalan dengan Iago mungkin bukanlah ide bagus. Ara masih benci pada cowok itu—meski sebetulnya dia sendiri ragu apakah benar-benar masih membenci Iago. Ara mengibaskan kepalanya. “Gue cuma simpati sama dia,” gumamnya, menyugesti diri sendiri.
Tak berselang lama, Iago membalas pesannya.
Jam sepuluh.
Hingga detik ini Ara belum memutuskan apakah dia akan bersedia membantu Iago. Hatinya masih tak menentu, antara bersimpati dan ingin mengabaikan. Ah sudahlah, itu bisa dipikirkan nanti. Lebih baik sekarang mulai bersiap-siap.
Tidak ada persiapan khusus. Setelah mandi Ara mengenakan pakaian yang biasa dia pakai ketika sedang nongkrong bersama Vika dan Monic. Cut off blouse putih dan ripped jeans, serta sepasang sneakers putih. Untuk rambut, dia juga menatanya seperti biasa, mengikatnya rendah dan menyampirkannya pada bahu kiri.
Mama masuk ke kamar saat Ara tengah menyemprotkan body mist beraroma British Rose ke leher dan pergelangan tangannya. “Anak Mama mau ke mana? Pagi-pagi udah dijemput cowok ganteng.”
“Mau nongkrong doang, Ma,” sahut Ara.
Mama menyipit padanya, melemparkan pertanyaan tak terucap yang langsung dimengerti oleh Ara. “Iago bukan pacar Ara kok,” jelas Ara tak ingin Mama salah paham.
“Iago....” Ekspresi wanita bertubuh langsing itu berubah, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. “Kok Mama kayak nggak asing sama namanya.”
“Iyaaa. Dia itu Iago Kresna—”
“Anaknya Bramasta Kresna yang punya Kresna Grup itu?” Mama melotot saking terkejutnya.
Ara mengangguk.
“Ya ampun! Beruntung banget kamu ditaksir sama dia.”
“Maaa,” rengek Ara kesal. “Berapa kali sih Ara harus bilang kalau kami berdua cuma temenan.”
Mama mencebik. “Nggak ada temen yang kelihatan gugup waktu jemput temen ceweknya, kecuali dia punya perasaan sama kamu.”
Ara mendengus. “Terserah Mama deh. Ara pergi dulu ya, Ma,” pamitnya, lalu mencium kedua pipi Mama sebelum berlalu.
Tanpa Ara tahu, Mama dari belakang melepasnya dengan was-was. Melihat anak perempuannya dekat dengan seorang cowok dari keluarga terpandang memang membanggakan, tapi di sisi lain juga mengkhawatirkan karena status sosial mereka yang berbeda jauh.
Iago menanti Ara di ruang tamu. Seperti biasa, cowok itu mengenakan hoodie putih dan rambutnya tidak disisir—yang kadang kala membuat Ara gatal ingin menyurukkan jarinya untuk membuat rambut cowok itu lebih berantakan daripada menatanya.
“Yuk!” ajak Ara.
Iago mengangguk kecil setelah menatapnya selama sekian detik. “Nyokap lo di mana?”
“Di atas. Lagi beresin kamar gue,” jawab Ara tak acuh.
“Bokap lo?”
“Kenapa cari bokap gue? Mau diajak juga?”
“Gue mau pamitan.”
“Sayangnya bokap sama dua herder gue lagi mancing, dari semalem nggak pulang.”
“Oh....”
“Beruntung banget herder gue nggak ada, jadi lo bebas dari interogasi.”
“Gue malah pengin ketemu sama herder lo.”
Kening Ara mengerut samar.
“Pengin buktiin segalak apa mereka,” lanjut Iago seakan mengerti pertanyaan tak terucap Ara.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Iago. Ara membuka pintu di sisi penumpang dan langsung masuk. Setelah mereka sama-sama di dalam, ponsel Iago yang diletakkan di dasbor berbunyi.
Papi is calling....
“Lo marahan lagi sama bokap lo?” tanya Ara.
Cowok itu mendengus kesal. “Jangan tanya apa-apa dulu.”
Ara menelan ludah. “Oke.”
Tiba-tiba Iago menoleh pada Ara, menatap mata cewek itu lurus-lurus. “Lo bisa bikin gue lupa, kan?”
“Hah?”
“Jangan gerak,” pinta Iago.
Ara menurut meski tak paham apa maksudnya.
“Gue pengin lihatin lo sampai bayangan bokap gue hilang,” lanjut Iago yang lebih terdengar seperti desahan.
“Go—”
“Karena bagi gue lebih baik wajah jutek lo yang menuh-menuhin kepala gue daripada bandot sialan itu.”
Ara diam, jantungnya berdegup kencang. Sepasang matanya berkedip sekali, menatap cowok yang terlihat kesakitan menahan amarah. Untuk sesaat, jarum jam serasa berhenti berdetik, memberi kesempatan mereka untuk saling memahami melalui sorot mata. Entah disadari atau tidak, tangan Ara perlahan terulur, menggapai puncak kepala Iago.
“Sisakan sedikit tempat di kepala lo buat benci gue,” pinta Ara dengan suara lembut.
Iago terperanjat, bertanya-tanya, pada akhirnya dia hanya bisa mengangguk.
*
Dari kejauhan, Daniel mengikuti mobil Iago. Sebetulnya dia malas, kepalanya masih pening sisa clubbing semalam, kedua matanya juga masih merah akibat kurang tidur. Nanti, sebisa mungkin dia akan mencari kesempatan untuk mendekati Ara sekaligus menjauhkannya dari Iago.
Jika ditanya apakah Daniel benar-benar ingin mempermainkan Ara, maka jawabannya adalah tidak. Daniel tahu Ara adalah cewek baik-baik, akan tetapi ada suatu hal yang mengharuskannya melakukan hal bodoh ini, hal yang bahkan sama sekali tidak berfaedah untuk dirinya sendiri.
“Buruan! Ntar kita keburu kehilangan jejak mereka,” omel cewek di sampingnya.
Daniel mendengus kasar. “Wajar kalau Iago ogah balikan sama lo,” komentarnya, sama sekali tak ada hubungannya dengan perkataan cewek tersebut.
“Lo bilang apa barusan?”
“Hati lo busuk banget.”
Cewek berparas cantik itu malah tersenyum, tampak tak terlalu mengindahkan kalimat Daniel. “Oh ya? Terus gimana dengan lo? Hati lo suci kayak malaikat? Gitu?”
Daniel tak mengacuhkannya dan memilih untuk fokus pada jalanan yang ramai.
“Ck, udahlah, nggak usah komentar macem-macem soal gue. Kayak hidup lo udah bener aja,” lanjut cewek itu.
Mulut Daniel terkunci rapat, malas menanggapi cewek berwajah seribu di sebelahnya. Ingatannya bergerak mundur, lalu dia merasa heran sendiri, bagaimana bisa dia dulu menyukai cewek seperti ini? Wajahnya cantik, tubuhnya indah, sayang hatinya terlalu sombong—berpikir jika dia bisa mengendalikan dan mendapatkan segalanya.
“Hidup gue emang nggak ada bener-benernya, cuma setidaknya gue berusaha memperbaikinya. Bukan kayak lo yang makin hari makin parah,” balas Daniel setelah berhasil menemukan kalimat yang tepat.
“Bullshit! Lo juga pernah berniat jadiin Ara barang pameran lo, kan?”
“Sekarang udah nggak.”
“Sayang banget. Padahal tuh cewek cocok jadi—”
“Lo bisa diem nggak?!” bentak Daniel.
“Eh, lo berani ngebentak gue? Inget, Dan, rahasia lo ada di gue. Kalau sampai bokap lo tahu, habis lo!”
Daniel bungkam, membiarkan hatinya tetap berkecamuk.
Soal rahasia itu memang seperti mata rantai, sambung-menyambung, saling berkaitan, dan tak ada ujungnya. Daniel, cewek di sebelahnya, serta Iago tergabung dalam satu rantai. Sementara Ara, dia adalah orang tak tahu apa-apa yang kebetulan tersangkut dalam rantai mereka.
*