Tim basket dari SMA Ventura berhasil memenangkan pertandingan dengan skor akhir 21-18. Cukup menegangkan karena kedua tim bermain dengan sangat alot, susul-menyusul skor.
Kebanggaan berkilat di mata Alan ketika cowok itu bersalaman dengan pemain dari tim lawan.
Ara melempar senyum samar sewaktu Alan berlarian kecil menuju ke arahnya. Dia suka melihat Alan bermain basket, dia juga suka melihat Alan bersinar sebagai bintang lapangan. Hanya saja jauh di atas itu semua, ada sebuah kelegaan milik Ara sendiri yang bertengger di posisi paling atas, rasa bersalahnya pada Alan sudah jauh berkurang.
Lalu, mengenai perasaannya pada Alan, Ara masih merasa buta. Dia hanya bisa meraba-raba, sejauh melewati waktu bersama Alan, apa yang dirasakannya?
Kalau kata Monic jatuh cinta itu indah, maka dengan Alan, Ara tidak merasakan apa-apa—perasaannya hanya sebatas rasa kagum. Meski begitu Ara tidak mau mundur, dia harus tetap membuka hatinya untuk Alan. Toh hatinya pasti akan tahu seperti apa ‘cowok kekurangan cinta’ yang dia cari.
Senyum Ara mengembang ketika melihat Alan sudah berdiri di hadapannya, tubuh cowok itu basah oleh keringat. Dengan cekatan Ara mengambil handuk dari tas milik Alan yang tadi dititipkan padanya.
“Nih.” Ara menyodorkan handuk itu pada Alan.
“Thanks ya.”
“You’re welcome.” Ara mengamati ekspresi wajah Alan. Ingin rasanya mengatakan sesuatu, tapi mendadak tenggorokannya terasa tercekat.
Seolah mengerti, cowok di hadapannya itu buru-buru membuka omongan, “Gue boleh duduk di sini? Kita bisa ngobrol sambil nunggu keringat gue kering.”
Ara sempat terdiam karena kikuk sebelum akhirnya memberi Alan sebuah anggukan.
Mereka berdua duduk bersebelahan di tribun yang menghadap ke barat. Jauh di depan sana, matahari sudah merendah mendekati kaki langit. Keduanya hening cukup lama, sama-sama menikmati pemandangan ini sembari bergelut dengan pikiran masing-masing.
“Ra, makasih ya lo udah mau nonton gue.” Lagi-lagi Alan yang terlebih dulu membuka omongan.
“Santai aja kali, Al. Gue juga lagi kosong kok,” balas Ara, lalu menggigit bagian dalam pipinya seperti yang biasa dilakukannya ketika ragu-ragu. Jujur Ara ingin menanyakan seperti apa perasaan Alan padanya sekarang, tapi kesannya terlalu frontal. Jadi sebaiknya pembicaraan ini dibiarkan mengalir begitu saja.
Alan mengambil botol air minum dari tasnya dan meneguk isinya hingga hampir habis. Napas cowok itu sudah mulai stabil, keringat di tubuhnya pun juga sudah mulai kering.
“Tahu nggak, tadi gue sempat mikir buat nembak lo lagi,” ujar Alan. Dia menunduk sejenak, kemudian membuang muka dari Ara. Entah ekspresi seperti apa yang berusaha Alan sembunyikan.
Mendengar itu, Ara langsung antusias. Baginya ini seperti sebuah lampu hijau, jalan untuk menemukan ‘cowok kekurangan cinta’ itu sudah menemui titik terang. Tinggal bagaimana caranya dia jatuh cinta pada cowok itu.
“Tapi gue sadar kalau itu adalah kelakuan yang nekat,” sambung Alan.
Titik terang di kepala Ara langsung meredup. Dan padam seketika.
“Kalau lo tanya, apa gue masih suka sama lo, gue dengan jujur jawab iya. Cuma rasanya udah nggak sebesar dulu.”
Ara menyimak.
“Tujuan gue minta lo nemenin gue main hari ini adalah ... yah, gue pengin aja lo nonton gue. Permainan gue udah jauh lebih bagus, kan?” Alan tersenyum ganjil untuk menghibur diri.
“The best,” sahut Ara singkat.
Mungkin baru kali ini Ara merasakannya. Hatinya kalang kabut, kecewa karena cowok yang tadinya sudah memberinya sebuah harapan, tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Itu artinya perjuangannya mencari ‘cowok kekurangan cinta’ masih akan berlanjut.
Diam-diam Ara menghela napas panjang. Sungguh melelahkan!
“Tenang aja, kita masih temenan kok. Lagian kalau emang kita jodoh, bakalan ada jalannya sendiri lo balas perasaan gue,” ucap Alan yang langsung membuyarkan pikiran Ara.
Ara menarik napas dalam-dalam. Kemudian menggumamkan ‘iya’ dengan pelan.
“Nggak menutup kemungkinan sepuluh tahun lagi lo tiba-tiba jatuh cinta sama gue di saat gue masih jomlo. Untuk sekarang, gue nggak mau berharap apa-apa,” imbuh Alan entah apa maksudnya.
“Segitunya banget lo,” anggap Ara.
Alan hanya mengangkat bahu. “Gue rasa cukup bahas soal perasaan. Biarkan mengalir apa adanya,” katanya bermaksud menyudahi, sebab lama-lama obrolan ini membuatnya tidak nyaman sendiri. “Yang penting kita masih temenan dan lo nggak perlu lagi ngerasa bersalah sama gue soal kejadian itu,” Alan tertawa kecil, “gue aja yang terlalu percaya diri.”
Ponsel yang sedari tadi dipegang Ara bergetar, ada sebuah pesan WhatsApp dari Hendra. Ara membacanya dengan cepat dan segera membalasnya.
“Kakak lo?” tanya Alan.
Ara menggeleng. “Hendra,” jawabnya singkat.
“Oh....” Alan manggut-manggut. “Lo deket sama dia, ya?”
“Duh, gimana ya,” Ara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “gue sama dia lumayan sering jalan bareng sama anak-anak. Kalau cuma berdua sih belum pernah.”
“Semua orang juga tahu Hendra suka sama lo.”
“Apaan sih?” Ara memalingkan wajahnya ke arah lain, otaknya berpikir keras untuk mengalihkan topik. “Hendra tadi WA gue cuma buat ingetin soal susunan acara Valentine Charity.”
Kening lawan bicara Ara berkerut, agak asing dengan istilah yang diucapkan Ara barusan.
Sebelum Alan sempat bertanya, Ara sudah terlebih dahulu menjelaskan, “Itu acara OSIS sekolah kita waktu Valentine nanti. Hendra berpikir kalau acara yang manis-manis udah terlalu biasa, jadi lebih baik kami mengadakan acara yang lain daripada yang lain, yaitu amal di hari Valentine.”
Alan tak langsung menanggapi, ekspresinya mengatakan bahwa dia masih memproses informasi yang diberikan oleh Ara.
“Jadi nanti kami bakalan jual bunga, terus hasilnya akan disumbangin ke panti asuhan,” lanjut Ara. “SMA Ventura harus bisa tampil beda.”
Alan bertepuk tangan. “Ide yang cemerlang. Gue boleh ikutan?”
“Boleh dong. Nanti gue bakal tempel pengumumannya di mading.”
“Sip deh!”
Di kejauhan, mereka melihat seseorang berjalan mendekat. Karena langit sudah gelap, Ara dan Alan tidak tahu siapa gerangan hingga orang itu berdiri di hadapan mereka.
Prince.
Cowok itu menatap Ara yang kebingungan. “Lo udah selesai sama dia?” tanyanya tanpa basa-basi.
Ara sontak berdiri. Setiap kali melihat Iago, emosinya seperti dipompa naik. “Maksud lo?”
Iago memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie putih yang dikenakannya. “Kalau lo udah selesai sama dia, berarti sekarang giliran gue.”
“Mau lo apa sih? Lo pikir gue cewek apaan?!”
“Gue cuma mau ngomong sama lo.”
“Ya udah, tinggal ngomong aja susah amat!”
“Cuma sama lo.” Lalu Iago menatap tajam Alan, memberinya isyarat untuk pergi.
Ara membuang napas pendek. “Gue ke sini sama Alan, jadi gue pulangnya sama dia juga.”
Iago mendecih. “Nanti gue yang bakal anter lo pulang.”
Alan yang berada di tengah-tengah memilih untuk mengalah. Daripada terlibat urusan dengan Iago, lebih baik dia mundur teratur. Alan menepuk bahu Iago dan berujar, “Oke, gue pergi. Kalau lo mau anterin Ara pulang, jangan malem-malem. Herdernya di rumah ada dua, galak semua.”
Iago mengernyit.
“Ra, gue cabut dulu ya. Kalau perlu apa-apa, telepon gue. Ingat, kita temen.”
Tak punya pilihan, Ara hanya bisa mengangguk.
Iago menunggu hingga Alan benar-benar lenyap dari jarak pandangnya. Namun sekalinya bicara, cowok itu melontarkan kalimat yang membuat dunia di sekeliling mereka berhenti berputar.
“Lo mau jadi pacar gue?”
*