“Nak....”
Seseorang memanggil. Orang itu duduk di salah satu booth yang berderet-deret di sepanjang jalanan masuk SMA Nusantara. Di hadapannya terdapat sebuah bola kristal seukuran kepalan tangan, bola itu menguarkan aura aneh melalui cahaya keunguannya yang temaram. Ara ragu-ragu, dia menoleh bergantian pada Vika dan Monic yang berdiri mengapitnya, melayangkan pandangan bingung.
“Nak,” panggil orang itu lagi.
Sekali lagi, Ara menoleh bingung. Siapa yang dipanggilnya? Dirinya, Vika, atau Monic?
Seolah bisa membaca pikiran Ara, orang dengan jubah hitam bertudung itu memperjelasnya, “Kamu yang di tengah. Kemari, Nak.”
Ara menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. “Saya?”
Orang itu mengangguk pelan.
“Tapi—”
“Sana gih. Orang itu kayaknya serius. Kali aja dia ngelihat sesuatu yang berbahaya bagi lo,” ujar Vika.
“Kalian ikut juga ya. Takut gue.” Ara berbisik pada kedua sahabatnya.
“Kamu. Hanya kamu,” pinta orang yang kini sudah berdiri dari kursinya. “Teman kamu bisa menunggu. Saya hanya sebentar.”
“Udah, buruan sana, kami berdua tungguin lo di sini,” timpal Monic sambil mendorong Ara mendekati booth bertirai merah marun tersebut.
Ara mendengus pelan, merasa tak punya pilihan. “Oke. Gue ke sana, tapi kalian beneran tungguin gue ya.”
“Iya. Kami mau beli minum sama snack dulu. Lo mau minum apa?” tanya Monic.
“Bubble milk tea,” jawab Ara.
Setelah kedua sahabatnya berlalu, Ara masuk dengan berbekal seluruh pikiran positif yang dimilikinya. Dia tidak suka berurusan dengan hal-hal semacam ini. Ramalan, atau hal-hal di luar logika lainnya. Namun tak tahu kenapa, kali ini seperti ada yang menariknya masuk. Ada sebagian kecil di alam bawah sadar Ara yang menyuruhnya mendengarkan apa yang orang itu hendak katakan.
Aroma bunga kamboja yang begitu pekat langsung menusuk hidung Ara. Tangannya spontan menutup hidung, akan tetapi segera dijauhkannya lagi. Ara takut itu akan menyinggung sang pemilik booth yang kini sudah kembali duduk.
“Tutup tirainya,” perintah orang itu.
Suaranya yang serak membuat Ara bergidik, tapi toh dia tetap menurutinya. Setelahnya, Ara mematung di hadapan orang asing yang tidak diketahui namanya tersebut. Bahkan dia pun bingung harus memanggilnya apa.
“Panggil saya Madam Maris,” ucap orang itu. Ara tersentak di tempatnya berdiri, rupanya orang itu memang bukan orang sembarangan. “Ya, saya bisa baca pikiran kamu. Duduklah,” lanjutnya.
Ara duduk dengan punggung tegak. Untuk beberapa saat, dia merasa mati gaya. Ara bingung, tapi juga takut. “Maaf, Madam, apa keperluan Madam memanggil saya kemari?” tanya Ara setelah keberaniannya berhasil terkumpul.
Madam Maris meraih tangan kanan Ara dan membalikkannya. Kuku-kuku tangannya yang panjang dipoles kuteks merah darah, ujungnya yang runcing menggores kulit Ara. Rasanya tidak nyaman, meski begitu Ara memilih diam dan menurut.
Seperti yang biasa Ara lihat dalam film, adegan selanjutnya adalah Madam Maris menyusuri garis tangannya untuk membaca nasib atau masa depannya. Selanjutnya Madam Maris mengangkat kepala hingga setengah wajahnya terlihat oleh Ara. Bibir tipis berpoleskan lipstik merah yang senada dengan warna kukunya membuat Ara lagi-lagi bergidik.
Bibir tipis itu bergerak perlahan. “Bahaya.”
Butuh beberapa detik bagi Ara untuk mencerna kata ‘bahaya’ yang terucap dari bibir Madam Maris. “B-bahaya gimana maksudnya, Madam?” Ara takut, juga penasaran.
“Saya melihat seorang kesatria berwajah tengkorak yang menunggang kuda putih.”
“I-itu maksudnya apa? Saya nggak ngerti.”
“Kematian.”
Keringat dingin sontak menyeruak dari seluruh pori-pori Ara. Kematian katanya?
Ara melengos sedikit, berusaha mengembalikan seluruh pikiran positif yang tadi ikut dibawanya masuk. Ingin rasanya menganggap semua yang dia dengar barusan adalah bagian dari omong kosong. Sayangnya, pikiran positif terakhir yang dimiliki Ara malah tergerus oleh sesuatu yang baru saja bercokol di benaknya.
Kematian.
“Hidup kamu dikelilingi oleh banyak cinta, bisa dibilang semua jenis cinta ada dalam genggaman tanganmu. Celakanya kamu lupa seperti apa harusnya semesta ini berjalan.” Madam Maris meremas tangan Ara. “Seimbang. Kamu jauh dari kata seimbang, Nak. Oleh sebab itu semesta akan menyeimbangkannya. Kamu harus mati agar cinta yang ada dalam genggamanmu bisa terbebas dan hinggap pada orang lain.”
Teori dari mana lagi ini?! pikiran Ara memaksa menyangkal. Namun, dia gemetaran. Suhu tubuh Ara mendadak turun drastis. “Apa tidak ada penangkalnya, Madam?” tanyanya setelah beberapa saat terpaku.
Madam Maris tersenyum tipis, yang di mata Ara lebih terlihat seperti senyum sarkas nenek sihir. “Tidak ada satu pun ruangan yang tidak berpintu, Nak. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.”
Ara buru-buru mengembuskan napas lega. Dia masih tidak tahu apa jalan keluarnya, tapi setidaknya dia lega masih punya kesempatan hidup.
“Kamu harus bisa membelokkan takdir jika ingin tetap hidup,” lanjut Madam Maris.
Membelokkan takdir? Memangnya bisa?
“Bisa,” tukas Madam Maris, lagi-lagi dia berhasil membaca pikiran Ara. “Kamu harus berbagi cinta dengan orang lain. Cintailah orang yang ada di sekelilingmu.”
“Saya mencintai orang-orang di sekitar saya, Madam. Orangtua, kakak, sahabat—” Kalimat Ara terhenti saat melihat Madam Maris menggeleng.
“Ada orang di sekitar kamu yang kekurangan cinta.”
Kening Ara mengernyit.
“Seorang anak laki-laki.” Madam Maris tersenyum lagi. Hanya saja kali ini senyumnya tidak terlihat mengerikan seperti tadi. Kali ini senyumnya terlihat tulus. “Jatuh cintalah. Memberikan cinta pada orang yang tepat akan menyelamatkan hidupmu.”
Ara terbelalak. “Jatuh cinta? Memangnya saya harus jatuh cinta pada siapa?”
Madam Maris menggeleng. “Saya melihat orang itu dekat dengan kamu. Kalian selalu berpapasan, kadang beriringan, tapi tidak pernah bersentuhan. Anak laki-laki yang benar-benar kekurangan cinta.”
“Siapa, Madam? Orangnya seperti apa?” tanya Ara meminta petunjuk. Lama-lama dia pusing sendiri.
“Kamu sendiri yang harus mencari dan menemukannya.”
Ara mengembus napas pasrah. Siapa sangka membelokkan takdir akan serepot ini. Selintas pikiran jelek singgah di benaknya. Mendingan gue mati aja daripada berburu cinta nggak jelas gini.
“Jangan.” Madam Maris meremas tangan Ara lebih keras. “Anak laki-laki itu juga sedang mencari alasan untuk bahagia. Percayalah, jika kamu bertemu dengannya dan memberikan cintamu padanya, kalian akan sama-sama bahagia.”
“Apa nggak ada cara lain, Madam?” Ara mencoba bernegosiasi.
Madam Maris menggeleng. “Kamu punya waktu sebelum ulang tahunmu yang ke-17.”
Ara memucat. Ulang tahunnya jatuh pada tanggal 1 April, itu artinya Ara hanya memiliki waktu kurang lebih tiga bulan dari sekarang.
“Saya masih bisa melihat kamu selama sembilan puluh hari ke depan, tapi hari berikutnya saya hanya melihat gelap.”
Sampai di sini Ara semakin tidak mengerti. Hati kecilnya ingin menyangkal semua ini, tapi entah kenapa rasa percayanya malah lebih besar. “M-maksudnya apa?”
“Sembilan puluh hari yang kamu miliki akan menentukan hari berikutnya. Masa depan bisa berubah, semua tergantung pada kamu sendiri.”
Cukup lama Ara terpekur. Dia benar-benar tidak habis pikir kenapa nasib baik yang selama ini menaunginya harus meminta bayaran di belakang. Apa benar selama ini dia merampas cinta yang harusnya dimiliki orang lain?
“Semoga kamu bisa melewatinya.”
Ara mengangguk dan menggumamkan terima kasih sebelum meninggalkan tempat yang baru saja menjungkirbalikkan akal sehatnya.
Mati, hah?
“Gue nggak mau mati!”
*