Angga memerintah wajahnya. Aku menatapnya bingung. Tak seperti biasanya Angga begini. Saya memilih diam dan menunggu Angga tuk bicara lebih dulu. Jari jemarinya memainkan jari jemariku dengan gugup dan entah mengapa aku merasa seperti berhadapan dengan Angga yang berbeda.
"Ehem...." Sengaja aku berdehem, karena sudah sekitar lima menit suasana hening, dan entah kenapa lima menit itu rasanya begitu lama sekali. Angga kaget mendengar suara dehemanku.
"Hmm, maaf...maaf, Dit. Aku tak tahu harus berkata apa, tapi yang pasti aku ingin kamu tahu satu hal, bahwa aku sangat menyayangimu. Aku mungkin bingung saat ini. Aku bingung dan tak punya jawaban atas pertanyaanmu itu, saat ini," ucapAngga, masih sambil memainkan jari jemariku dengan gugup.
"Kamu saja bingung. Bagaimana dengan aku, Ngga? Sepertinya kita berdua sama-sama butuh waktu untuk berpikir. Terlebih lagi kamu, Ngga. Pikirkan baik-baik tentang perasaanmu yang sebenarnya. Bila sudah dapat jawaban, katakan padaku. Aku akan menerima apa pun jawabanmu. Apapun itu," ujarku kemudian. Kurengkuh balik jari jemari Angga yang sedikit gemetar. Aku tersenyun sambil menyentuh lembut pipinya, berusaha menenangkan jantung yang gundah. Aku tak pernah melihat Angga seperti ini.
"Tak apa, aku akan menunggu. Jangan khawatir. Kita jalani saja hari-hari kita seperti biasanya, oke. Ayo tersenyumlah. Jangan buat aku takut dengan diam terus seperti ini, Ngga. Mana Angga yang kukenal dulu. Yang selalu ceria dan jahil. Aku mau Angga yang itu,” ujarku sambil mencubit kedua pipinya dan tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Angga akhirnya tertawa juga dan merangkul bahuku.
"Kamu memang adikku yang manis dan juga penuh pengertian. Terima kasih ya, Dit. Sabarlah sebentar ... sebentar saja!" Ujarnya pelan ditelingaku.
"Adik", gumanku dalam hati. Dia hanya menganggapku sebagai adik. Apa-apaan ini. Ah, Angga.