"Duh capek banget. Pengen mandi dan cepet-cepet rebahan di kasur rasanya", ujarku sambil rebahan di sofa. Angga masih saja memandangiku dengan mimik wajah serius, sementara aku pura-pura tidak melihatnya. Beberapa saat aku terdiam, lalu kemudian Angga mendekat dan duduk tepat di sampingku.
"Dit, kamu lagi berusaha menghindari pertanyaanku ya?" ujar Angga pelan di telingaku. Aku menggeleng tanpa memandangnya.
“Lalu, kenapa kau tidak menjawabnya?” cecar Angga lagi.
Aku tahu Angga takkan berhenti bertanya, kecuali aku menjawabnya.
"Oke, aku akan menjawab pertanyaanmu," jawabku sambil kemudian menatap tepat ke wajahnya. Jantungku makin berdegub kencang. Kukumpulkan semua sisa keberanian yang ada dan mulai bicara.
"Aku takut dan juga malu karena aku merasa tak pantas berada di dekatmu. Kamu tampan, populer, dan juga pintar. Apalah aku ini dibandingkan cewek-cewek cantik lainnya yang mengejar-ngejar dirimu. Jadi, aku memang sengaja menjauhimu, tiap kali kamu berusaha tuk dekat denganku. Aku takut kamu hanya berpura-pura baik saja padaku. Terlebih lagi aku juga takut menyalahartikan kebaikanmu padaku," jelasku. Angga memandangku dengan heran.
"Aku gak menyangka kamu punya pikiran seperti itu, Dit. Aku sama sekali gak pernah punya pikiran seperti itu. Sekarang kamu sudah tahu yang sebenarnya. Apakah kamu masih memikirkan hal yang sama?" tanya Angga. Aku menggeleng.
"Tidak ... tentu saja tidak!" ujarku.
“Aku sudah berkata jujur padamu tentang perasaanku. Meski aku tak tahu, hubungan apa yang kita miliki saat ini,” ujarku lagi.
“Bukankah aku sudah mengutarakan isi hatiku padamu. Apakah pelukan dan juga kata-kataku tadi tidak ada artinya bagimu?” ujar Angga sambil menatap sendu.
"Ya aku tahu isi hatimu dan aku merasa sangat bahagia saat kau bisikkan kata cinta itu ditelingaku. Pelukan itu pun sangat berarti buatku, tapi sekaligus juga membingungkan. Aku bingung, hubungan seperti apa yang kita miliki saat ini setelah semua yang terjadi," ujarku tak kalah sendu.