Akhir-akhir ini sikap Angga sedikit berbeda terhadapku. Meski kami teman sejak kecil, tapi kami tak pernah benar-benar dekat. Angga memang selalu ada untukku, disaat sedang dibutuhkan. Sejak kecil dialah yang selalu mengantarku pulang bila ibu sedang tidak bisa menjemputku. Mang Didi, tukang ojek langganannya Angga akan mengantarku pulang lebih dulu, sebelum kemudian mengantar Angga. Bahkan ia akan menemaniku, bila ibu belum menjemputku.
Ketika SMP dulu, pernah aku diantarnya naik sepeda. Sepeda lipat Angga, kebetulan ada boncengan kecil dibelakangnya. Sepanjang perjalanan, kami tak saling bicara. Hanya kata terima kasih yang terucap dari bibirku saat itu, dan hanya sebuah senyuman yang ia sampaikan saat itu. Meski begitu, hal tersebut menjadi hal yang paling berkesan dan tak bisa kulupakan.
Keesokan harinya beberapa teman meledek kami, karena ketahuan berboncengan naik sepeda ketika pulang sekolah. Sejak saat itu, setiap kali Angga memaksa tuk mengantarku pulang dengan sepeda, aku selalu menolaknya. Namun entah kenapa, aku selalu melihat Angga mengayuh sepedanya tepat di belakang angkot yang aku tumpangi. Apakah dia ingin memastikan kalau aku baik-baik saja sampai di rumah?
***
Angga dan aku, sudah dekat sejak kecil, karena ibu kami memang bersahabat. Tante Widya, ibu Angga adalah sahabat ibu sejak SMA. Namun entah kenapa aku dan Angga tak bisa bersikap biasa saja, layaknya teman. Kami bahkan hanya bicara seperlunya.
Aku sengaja menjaga jarak dengan Angga. Bukan tanpa alasan, tapi karena setiap kali aku dekat dengannya, jantungku tiba-tiba berdebar kencang tak karuan. Aku takut sekali dengan perasaan aneh itu.
Mira pernah mengatakan, bahwa hal itu terjadi karena aku jatuh cinta pada Angga. Entahlah…mungkin saja. Aku sendiri tak mengerti. Kadang aku merasa tak pantas berada di dekat Angga. Aku si pemalu, kuu buku ini, mana yang cocok dengannya. Angga itu udah ganteng, pinter pula. Banyak sekali cewek-cewek yang naksir dan pengen jadi pacarnya. Aku sih, gak masuk kriteria.
***
Aku masih asik berkutat dengan tumpukan buku di mejaku, sementara Angga sudah berdiri tepat di depanku dengan tas di pundaknya.
“Yuk, Dit. Tadi Tante Hesti sudah mengirim pesan padaku. Gak bisa jemput kamu, katanya. Jadi Tante Hesti minta aku, tuk antar kamu pulang,” ujarnya sambil membantu memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.
"Gak usah, aku mau mampir ke perpus dulu," ujarku.
"Ya sudah, aku temani," jawab Angga.
"Gak usah, takutnya lama. Lagi pula setelah dari perpus, aku mau pergi ke toko buku untuk membeli beberapa hal," jawabku.
"Ya sudah, aku antar kamu ke toko buku. Pokoknya kemanapun kamu pergi, aku akan temani dan antar. Itu amanat dari Tante Hesti," ujar Angga dengan mimik wajah serius.
Akh, ibu ini benar-benar keterlaluan banget deh. Aku memang suka kalau Angga seperti ini, tapi aku takut kalau nanti aku jadi berharap lebih. Aku takut rasa sukaku ini akan berkembang semakin besar, hingga aku sendiri sulit tuk menolaknya.
Aku masih ingat saat TK dulu, saat itu ibu terlambat menjemputku dan akhirnya aku menangis sesenggukan di depan pintu kelas. Angga datang mendekati dan membujuk lembut pundakku sambil mengusap airmataku yang berlinang bak air terjun niagara. Sikap Angga bak seorang kakak yang sedang melindungi adik kecilnya.
"Ahh... Angga, jangan terlalu baik padaku. Nanti aku bisa salah sangka dengan kebaikanmu itu."