Laju motor Angga semakin kencang, hingga aku semakin erat memeluk pinggangnya. Kupejamkan mataku selama sisa perjalanan karena rasa takut.
"Dit, Dita...! Kita sudah sampai." Ujar Angga pelan sambil mengusap lembut jari jemariku, yang memeluk erat pinggangnya. Perlahan kubuka mataku, lalu buru-buru kulepaskan pegangan tanganku dari pinggang Angga.
"Te, terima kasih, Ngga. Maaf tadi aku memeluk pinggangmu begitu erat. Aku takut. Kamu terlalu ngebut, jantungku sampai mau copot rasanya," ujarku malu-malu sambil sesekali menatap wajahnya. Angga tersenyum lebar sambil kemudian mengacak-acak poni rambutku.
"Kamu lucu sekali, Dit. Menggemaskan ...," ujarnya sambil tertawa.
Kupegang poni rambutku yang tadi diacak-acak olehnya, sambil memperhatikan tawa renyahnya yang begitu menggoda.
“Angga, senyumanmu itu .... Ah, benar-benar memporak-porandakan hatiku,” gumanku dalam hati. Kukumpulkan semua kekuatan agar dapat berdiri tegak. Kedua kakiku mulai terasa gemetar dan lemas saat itu.
"Terima kasih!" ujarku, lalu kemudian berlari kecil menuju pintu gerbang rumah.
"Iya, Dit ... sama-sama. Sampai ketemu besok di sekolah ya!" ujar Angga sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Kubalas lambaian tangannya. Tak berapa lama kemudian, ia sudah menghilang di ujung jalan.
Kebetulan rumah Angga hanya berjarak satu gang saja dari rumahku. Dan entah kesambet setan apa, aku masih saja berdiri di depan pintu pagar, sambil terus memandang ke arah ujung jalan yang sudah sepi.
Pesonanya, sepertinya sudah mulai merusak nalarku. Aku baru beranjak dari pintu pagar rumahku setelah tak lagi mendengar suara deru mesin motornya. Entah sejak kapan aku memiliki rasa ini terhadapnya? Mungkinkah ini cinta, seperti yang pernah Mira katakan.