“Moon ..,” panggilku lirih.
Ia menengok, melihat aku yang menahan air mata. Ia duduk dengan tenang, masih di tepi jendela. Sebuah syal berbahan rajut melingkar di lehernya.
Syal itu kurajut sendiri selama berada di Jepang. Kusiapkan untuk hari ulang tahunnya. Hadiah itu kukirimkan sebulan lalu, niat hati mengecohnya dari kedatanganku di hari ulang tahunnya―4 Desember. Moon menepati janjinya, mengenakan syal rajut dariku di hari ulang tahunnya.
Tanpa sadar aku melihat pada ke dua kakinya. Padahal Sun telah memperingatkan untuk menjaga sikap. Sepatu kets warna putih milikku maju perlahan. Mendekati pria tanpa kaki itu.
“Selamat datang kembali, Salli!” Ia tersenyum tipis. Ada nada getir dalam suaranya.
“Kau tak mengatakan apa pun, Moon! Selama itu … separah ini,” isakku tak tertahan. Aroma kesedihan menguar, menjalar merebut suka cita. Ya, hari di mana kubayangkan dapat merayakan ulang tahunnya berdua dengan Moon. Kini pupus sudah.
“Aku baik, Salli. Tak perlu khawatir, ada Tuan Neil dan Sun yang membantuku seperti dulu. Meskipun ingatan mereka berbeda denganku, tetapi keahlian dan kebiasaan mereka tak berubah. Sun selalu membantuku sejak aku hanya berdiam diri di kursi roda ini.” Moon mencoba menjelaskan keadaan dengan wajah tersenyum.
“Ti-tidak Moon, tidak bisa kita biarkan hal ini terjadi!” pekikku marah. Marah pada diri sendiri, marah pada kucing hitam.
“Mari kita cari kucing hitam itu, Moon!”
Moon menggeleng, dia sudah mendatangiku. Tertawa terkekeh di tepian jendela kamarku yag terbuka, seminggu setelah aku kehilangan kakiku.
“Apa tujuannya?” tanyaku mencecar.
“Hmm, masa lalu yang terbungkam.” Moon mendesah.
“Salli!!” suara seseorang dari arah belakang telingaku. Tepukan di bahuku membuatku tahu siapa dia.
“Tuan Neil!” seruku langsung memeluknya. Dia sudah seperti ayahku sendiri. Berbeda dengan ayah kandung yang kembali mengecawakanku. Berdasarkan cerita Sun, ayah telah meninggalkan ibu. Sama seperti dulu, saat tahun lalu di mana hanya aku dan Moon yang mengingatnya.
Malam ini, kami tetap merayakan hari lahir Moon dengan kesederhanaan. Aku belum mengabari ibu soal kepulanganku. Butuh waktu untuk sekadar menatap guratan yang sama seperti setahun lalu. Guratan penuh kepiluan yang aku kira dapat tersingkir dengan perubahan takdir yang terjadi pada orang tuaku dengan suatu kebetulan, Kenny―ayahku di tahun 2001―membaca surat-suratku. Ternyata aku salah. Karakter seseorang sudah terbentuk, begitupun garis takdirnya. Kenny yang sekarang tidak mengingat surat yang kukirimkan. Kenny tak dapat mengelak takdir meskipun ia inginkan hal itu.
Setelah semua makanan yang Tuan Neil dan Sun sediakan habis kami lahap, setelah segala perbincangan baik candaan dan juga serius saling kami lontarkan, Moon mengajakku menyingkir sejenak dari Tuan Neil dan Sun. Tatapan Sun mengawasiku yang mendorong kursi roda Moon menuju taman belakang. Aku tidak khawatir Sun akan cemburu. Kini yang ia ingat pastilah sikap sebagai seorang kakak pada adiknya.
***
Malam semakin larut, entah pukul berapa … aku hanya ingin menatap Moon lekat, tumpahkan semua kerinduan. Di bawah bayang sinar bulan di bulan Desember.
“Mengapa jadi begini, Moon?” suara tangisku tergugu.
“Hmm, ini takdir,” ucapnya lirih.
“Bukan Moon, ini permainan kucing hitam.”
“Hmm, ya aku tahu!” Moon melempar pandang ke arah bulan, seperti dulu … yang sering dilakukannya. Termenung menatap bulan.
“Moon, aku melakukan penyelidikan. Mengenai kotak pos merah dan kucing hitam.”
“Apa yang kau temukan?” tanya Moon tanpa menoleh. Pembawaannya tenang, juga waspada.
Aku mengeluarkan buku jurnal dari tas kanvas yang kusampirkan di pundak. Menyerahkannya pada Moon hati-hati. Tangannya mengulur menerima, membuka dan membaca saksama. Aku melihat pada sinar matanya tidak ada keterkejutan. Lalu tiba-tiba kuingat sesuatu, tanganku menunjuk sebuah foto dalam potongan artikel.
“Sun bilang, kau mengetahui ini?” tanyaku sambil menunjuk foto Miya.
“Foto asli keluarga itu ada dua, satu tergantung di dinding kamar kakek, dan satunya lagi di bawa oleh Miya, anak kecil dalam foto tersebut. Kakekku yang memotret gambar mereka.” Moon menjelaskan panjang lebar.
“Miya itu nenekku!”
“Ya, aku juga baru tahu dari ibumu. Bahwa alasannya datang ke panti selain kegiatan sosial adalah untuk menatap foto kecil ibunya begitu lama karena dia merindukannya.”
“Selama ini aku bertanya-tanya asal-usul ibu, tetapi ia enggan menjawab, hanya berkata bahwa ia tumbuh besar di panti asuhan setelah orang tuanya berpisah.”
“Kurasa perubahan masa kini mengubahnya menjadi lugas bercerita tentang masa lalunya.” Moon mengambil kesimpulan.
“Moon, apa kau tahu? Orang yang paling sering aku hubungi ketika aku berada di Jepang bukanlah ibuku, tetapi kau, Moon!”
“Mengapa?” tanya Moon kaget.
“Entahlah, aku merasa asing dengan mereka semua. Aku menyadari meskipun buruk tidak sepenuhnya buruk, ada masa-masa manis ceria pada keluarga kami, dan ingatan mereka kini sungguh berbeda.” Kuungkapkan saja semua unek-unek yang selama ini mengganggu pikiranku.
“Aku pun menyadarinya, seolah ini semua lucid dream… jujur menganggap ini semua bukanlah nyata, dapat membantuku mengatasi shock akibat kehilangan dua kaki.” Moon menatap lututnya yang tertutup selimut, menggantung di kursi roda. Ia tak mengijinkan aku untuk melihat kondisinya secara jelas.
“Kita harus kembalikan keadaan seperti dulu, Moon. Kenyataan yang dulu terjadi adalah takdir terbaik. Lagi pula, ayahku tetap meninggakan keluarga demi wanita lain dan orang tuamu tetap tiada akibat kecelakaan, bukan?”
“Sekarang kau mengerti ‘kan Salli? Pilihan jahat atau baik memang di tangan kita, tapi kita sebagai manusia tak dapat mengubah takdir yang ditetapkan oleh semesta. Jadi, kau dilahirkan atau tidak, ayah dan ibumu tetap akan melalui takdir yang sama.”
Aku mematung. Semua yang dikatakan Moon ada benarnya. Bukankah selama ini tujuanku mengirim surat menembus waktu untuk mengubah keadaan orang tua. Melarang mereka bertemu dan justru yang terjadi berkebalikan dari pengharapan, suratku justru mempecepat pertemuan keduanya, mengubah jalan hidup Sun dan celakanya lagi mengubah nasib Moon.
“Lalu kau sendiri Moon, apa kau masih menyalahkan dirimu akibat kematian orang tuamu?” tanyaku asal bicara―yang kemudian aku sesali.
“Semua berkaitan Salli, keluargamu dan keluargaku. Kurasa ayahmu dan Sun hanyalah bidak catur di antara peristiwa dalam keluarga kita.”
“Maksudmu?” aku mengernyitkan kening bingung, “jadi siapa tokoh utama yang sebenarnya?” tanyaku bergumam.
“Entahlah, mungkin saja kakek dan keluarga pemilik kafe gerimis yang asli.” Moon menatapku, kemudian melanjutkan pemikirannya kembali.
“Kehadiran ibumu di tahun 2001 telah tertulis di nyanyian gerimis yang telah lebih dulu dinyanyikan kakek pada tahun-tahun sebelumnya, nyanyian itu bukanlah kakek yang menciptakan, tapi kucing hitam yang memberikan pada kakek dengan iming-iming perlindungan pada keluarga. Ibumu anak dari Miya si pemilik kucing hitam yang menaruh dendam pada kakek dan mengutuk semua keturunannya―termasuk aku.”
Terhenyak mendengar penuturan Moon, tapi aku terdiam, yang dikatakan Moon masuk akal juga, meskipun itu hanyalah pendapat pribadi.
“Pastinya kucing hitam telah lama menunggu tahun 2001 tiba, menunggu keturunan Miya dan ….” Aku tak berani meneruskan kalimatku.
“Mematikan anak terakhir kakek yaitu ibuku.” Moon mendesah.
“Sampai akhir hayatnya kakek tak mengetahui niat buruk sesungguhnya dari si kucing hitam, Salli!” Moon menambahkan.
“Ibu pun tak pernah mendengar kabar pasti kematian Miya, dia hanya tahu ditinggalkan di panti asuhan tempat Miya kecil dulu tinggal. Moon, kita harus kembalikan situasinya seperti sedia kala. Seperti saat surat-suratku belum terbang ke tahun 2001, aku sadar―tidak menginginkan kematian seperti tahun 2023―sudah seharusnya manusia tidak campur tangan pada takdir yang terjadi.”
“Apa yang harus kita lakukan, Salli?” tanya Moon gamang.
“Kembali mengirim surat pada tahun 2001, Moon!” ujarku pasrah.
“Bagiamana kita tahu surat itu akan tepat menuju tahun 2001?” tanya Moon lagi.
“Yeah, setidaknya kita mencoba dulu, kita tulis saja kepada seseorang di tahun 2001 seperti sebelumnya. Bukankah memang begitu cara kerja kotak pos merah itu, Moon? Kendati kakekmu telah mengirim ribuan surat pada tahun-tahun sebelumnya, tak ada satu surat pun berhasil mendapat jawaban. Hanya menghilang, karena mungkin saja nyanyian yang diberikan kucing hitam pada kakek telah merencanakan ini semua.”
Moon dan aku terdiam beberapa saat. Kurasa ia berpikir sama denganku. Teka-teki nyanyian gerimis yang menyebutkan waktu―tahun 2001―sepertinya meramalkan sesuatu yang akan terjadi di tahun 2001. Kemungkinan kehadiranku dan Mama di Kafe Gerimis sebagai keturunan Miya telah ia rencanakan sedari awal.
“Apakah kakek tahu bahwa Luna adalah anak Miya, ya?” tanyaku lebih seperti bergumam.
“Kurasa ia tahu, sebab kakek pun rutin melakukan bantuan sebagai donatur di panti asuhan tersebut, ada bukti-bukti transaksinya. Hal tersebut kupelajari cukup lama pada buku catatan keuangan Kafe Gerimis di masa lampau hingga kini, sekian persen penghasilan akan otomatis mengalirkan dana pada rekening panti tersebut.”
“Sun pun telah menceritakan padaku, kau Moon … disambut dan diperkenankan memasuki kantor ibu panti, ia megenalimu sebagai donatur tetap pantinya.”
“Hmm, ya. Padahal aku hanya meneruskan catatan keuangan yang kakek lakukan. Aku pun tak tahu ada kisah di balik itu.”
Tak ingin membuang waktu lagi. Aku bergegas mendorong kursi roda Moon menuju meja kerjanya. Gemetar mencari-cari secarik kertas dan pena tinta. Moon diam saja. Pandangan mata menerawang dan pikirannya melalang buana. Jika dulu aku penuh rasa benci ketika menulis surat untuk tahun 2001, maka keadaannya kini berubah. Perasaanku lebih ke arah kasihan pada nasib Moon. Jika aku tak mengubah takdir keluargaku, tentunya takdir Moon juga tidak akan berubah. Ini semua salahku. Sekarang aku sadar, nyanyian gerimis yang sengaja diciptakan untuk mendengungkan rumor tidak berhasil memanggil Luna―ibuku yang baik hati―tetapi, hatiku yang penuh rasa amarah dan dendam berhasil ditarik pada drama yang dibuatnya.
Jam berdenting untuk kesekian kali. Suasana ruangan kafe diselimuti hawa dingin yang tak dapat dijelaskan. Berkali-kali kegugupanku membuat kertas dan pena tidak bekerja sama, hasilnya aku harus mengorek-ngorek kembali isi laci untuk menemukan kertas-kertas berikutnya.
Moon menarik napas, “Tenangkan dirimu, Salli!”
Bibirku memberikan senyuman kepadanya, kendati isi hatiku sendiri campur aduk. Tidak ada yang mengetahui kegiatanku dan Moon malam ini. Pastinya Sun dan Tuan Neil telah tertidur di suatu tempat, dan aku harus bergegas sebelum pagi menjelang. Berharap bahwa reaksi Sun danTuan Neil esok hari ketika membuka pintu kafe telah kembali pada kondisi tahun 2023.
Surat berhasil kutulis dengan rapi. Seseorang harus membacanya sebelum peristiwa Desember tahun 2001. Entah siapa pun orangnya, sayangnya aku memang tidak dapat mengatur kepada siapa surat yang kutulis tertuju. Aku membiarkan Moon membaca apa yang kutulis dan mengoreksinya, tetapi ia hanya mengangguk tanda setuju. Surat itu berbunyi―
Kepada seseorang di tahun 2001
Senang mengenalmu walau hanya melalui surat yang melintasi dimensi waktu. Kamu harus percaya hal ini karena kami dari tahun 2024 ingin meminta bantuanmu, temui pemilik kafe gerimis ini. Katakan padanya untuk tidak melakukan apapun pada takdir yang terjadi. Percayalah kami telah mencobanya, dan takdir akan kembali berputar, berulang bahkan untuk kejadian yang lebih buruk lagi. Terimalah seorang anak kecil sebagai cucu angkatnya. Rawat dan sayangi ia seperti cucu kandung sendiri. Lantas bila ada seorang gadis musisi yang bernyanyi dan bermain gitar di Kafe Gerimis, katakan pada kakek pemilik kafe … biarkan gadis itu tetap bernyanyi di malam pergantian tahun. Percayalah itu yang terbaik, biarkan takdir berjalan sebagaimana mestinya.
Salli, 2024
Aku segera melipat kertas surat tersebut, memasukkan pada sebuah amplop. Mengangguk pada Moon serta mendorong kembali kursi rodanya, bersama-sama menuju kotak pos merah di halaman kafe gerimis.
Fu … fu … fu …
Hembusan angin bersuara mirip sebuah tawa. Benar saja, sebuah bayang berkelebatan sayup-sayup terdengar tawa mengejek di antara kedua kaki yang lincah begerak itu. Bulu kudukku merinding, kembali sunyi tak ada tanda-tanda pergerakan. Tiba-tiba saja keheningan yang merayap naik dipecahkan oleh gelegar petir di kejauhan. Titik-titik gerimis mulai jatuh di tanganku yang mencengkeram kuat pegangan pada kursi roda Moon. Moon menggenggam tanganku, memberi kode untuk terus berjalan menuju kotak pos merah.
Fu … fu … fu …
Suara tawa itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Ini bukan tiupan angin, ini memang berasal dari bayangan kucing hitam yang berlarian mengelilingi kami. Moon gelisah, tak sabar mengambil alih laju dengan kedua tangannya―menarik sendiri roda pada kursi rodanya, bergegas membuka selimut dan mengambil suat yang tadi kutulis. Memejamkan mata sejenak lantas dengan gerakan kilat memasukkan surat tersebut pada kotak pos merah. Sempat menahan napas, akhirnya aku mengembuskannya lega. Keringat di kening Moon bercucuran, padahal udara cukup dingin, kedua tangan Moon menelungkup pada kotak pos merah, sedikit terengah, ia melirikku tersenyum.
Seketika aku terduduk lemas di samping kursi roda Moon, menarik-narik lengan Moon gemetar.
“Moon,” bisikku lirih.
Moon menoleh dan terkesiap melihatku pucat pasi. Aku mendongakkan kepala menunjukkan sesuatu ke arah atas kepala Moon. Benar saja, Moon pun terperanjat, sedikit melonjak saking kagetnya.
Sepasang mata hijau, seekor kucing hitam mengawasi kami. Duduk elegan di atas kotak pos merah. Sementara tetes gerimis mulai rapat menyentuh kulit kami. Aku dan Moon tidak beranjak sedikitpun, bisa dibilang kami mengadu nyali. Sekarang kami tahu kejaiban ini berasal dari dendam seekor kucing hitam yang menjadi korban kecelakaan berpuluh-puluh tahun lau. Wujudnya tidaklah nyata. Dulu, mungkin ia berhasil mengendalikan kakek dan mempermainkan penyesalan kakek sebagai pembalasan dendamnya. Tetapi kini, aku dan Moon memutuskan untuk lebih mempercayai takdir dari Tuhan saja.
Tanpa sadar aku dan Moon berpegangan tangan saling menguatkan. Dalam hatiku berkata ‘yang terjadi maka terjadilah’.
Gelegar petir menjadi-jadi. Kucing hitam itu menggeram, semakin lama suaranya melunak. Mirip sebuah dengkuran.
Aku tak berkutik, bagai terdakwa di hadapan kucing hitam, penyesalanku merajalela akibat masa lalu yang pernah menginginkan kematian. Berpegangan kuat pada lengan tangan Moon, aku berusaha tidak peduli pada sosok mistis tersebut. Mengabaikan rintik gerimis yang telah membuat rambutku basah sepenuhnya. Moon masih menatap tajam pada kucing hitam di hadapannya.
Kleek …
Bunyi yang kami tunggu-tunggu akhirnya terdengar juga, diikuti kemunculan sebuah surat yang mengendurkan ketegangan kami dengan kucing hitam.
Entahlah, aku dan Moon memang berpikir untuk tetap menunggu kehadiran surat balasan. Aku yakin malam ini juga waktu yang tepat. Mengirim surat sekaligus menantikan balasan. Mengikuti insting yang dibenarkan oleh semesta. Kucing hitam dan gerimis di awal bulan Desember adalah perpaduan epik membuka gerbang dimensi waktu. Apakah itu alasan mengapa kucing hitam tetap berdiam diri di atas kotak pos? Entahlah, dialah yang menciptakan keajaiban ini, membuat takdir kami berputar-putar. Dalam geraman suaranya, seolah ia melakukan kontak telepati pada kami. Tanpa berbicara, seakan kami mengerti maksudnya untuk menolong kami. Hmm, mungkin saja ia berkeinginan menyudahi keajaibannya sendiri.
***
Kucing hitam bisa saja telah melakukan kejahatan namun, semua ini bermula dari sifat Kakek Gerimis yang serakah dan mengambil alih harta dan usaha milik temannya. Penyesalan juga rasa bersalah Kakek di kemudian hari tidak menjadikannya sebagai tokoh protagonis. Jiwa kucing hitam yag terluka terus hidup dan menuntut balas atas kehancuran keluarga Miya. Sebab itulah, kehilangan demi kehilangan terus dirasakan oleh kakek Gerimis. Kejayaan dalam bidang usaha memang tak pernah surut sebab keberhasilan bisnis bersama kawannya itu pun dikarenakan keuletannya menemukan inovasi dalam meracik biji kopi. Sama sekali tanpa bantuan dari orang lain. Ada pun kebaikan yang diingat dari kawannya itu adalah harta benda untuk memulai usaha yang tidak sedikit.
Tuan Neil pernah bercerita, sikap loyalnya pada kakek karena kakeklah orang menurunkan ilmu padanya. Selain itu, Tuan Neil selalu mendengarkan kisah pilu dua sahabat yang akhirnya berselisih karena wanita. Akhirnya, aku dapat mengerti situasi masa lalu yang dulu pernah Tuan Neil kisahkan. Senang juga karena aku menemukan letak titik sambungnya.
Ibu dari Miya adalah mantan kekasih kakek yang direbut oleh sahabatnya sendiri. Akhirnya kakek menikahi wanita Jepang berdarah campuran Polandia. Pantas saja Moon begitu tinggi dan rupawan seperti neneknya. Dari Moon aku tahu istri kakek meninggal saat melahirkan ibu dari Moon. Lantas orang tua Miya yang juga adalah kakek dan nenek buyutku … meninggal akibat kecelakaan maut setelah pertengkaran yang terus menerus terjadi dikarenakan kecemburuan kakek buyut yang demikian besar.
Dari kisah masa lalu itu aku menyimpulkan. Kakek tak mau takdir yang sama berulang di Kafe Gerimis ini. Ia memutuskan dengan cepat jika Moon harus bahagia dengan pilihannya tanpa harus berebut cinta dengan adik angkatnya. Kakek pastilah orang yang pandai. Ia pastinya mengetahui dan mencurigai kematian satu persatu kelima putrinya berhubungan dengan kisah masa lalu dan kucing hitam yang rutin datang menemuinya. Kucing hitam mengajari nyanyian gerimis dan menyuruhnya membangun kotak pos merah dengan dalih syarat melindungi keluarga dari keserakahan masa lalu.
Kakek seperti gila sendiri karena ia menghukum dirinya sendiri. Penyesalan tak berujung. Mendapatkan kesuksesan namun harus kehilangan orang-orang yang disayangi.
Ada banyak sekali kisah rumit di dunia yang disebabkan oleh hawa nafsu. Kisah kakek yang berambisi dan rakus pada harta benda, sahabatnya yaitu kakek buyutku yang merebut kekasih kawan sendiri, Miya yang tumbuh penuh amarah dan memberikan kucing peliharannya energi negatif yang demikian besar, ayahku yang tak berhasil meredam nafsunya pada wanita, dan aku yang sempat tersesat berniat mengakhiri hidup.
Pada akhirnya, hawa nafsu tetap akan kalah dengan segala kebaikan yang direstui Tuhan.