Hujan semakin deras, kilat menyambar. Aku dan Moon memutuskan untuk cepat berbalik menuju ruangan kafe. Menoleh sesaat pada kotak pos merah, bertanya-tanya apakah kucing hitam masih mematung di sana. Betapa terkejutnya aku karena melihatnya telah bergerak lincah pada dinding pertokoan. Bayang gelapnya sesekali tertimpa cahaya kilat bersamaan iringan gemuruh yang masih menggelegar. Kudorong kursi roda Moon cepat. Menarik napas lega di balik pintu bertirai bunga berwarna putih. Tangan Moon yang menggigil akibat dinginnya hujan segera melemparku pada ingatan bahwa kini aku harus cepat mengeringkan tubuhnya. Sigap mencari handuk, tanpa memikirkan diriku sendiri aku langsung mengelap tubuh Moon yang basah. Tangan kanan Moon masih menggenggam kertas surat yang sedikit basah, walaupun telah disembunyikan di balik selimut.
“Moon,” kataku pelan meminta izin mengelap wajahnya dengan handuk kering.
Ia yang sedang berpikir mengiyakan dengan cara mencondongkan muka ke arahku yang berjongkok di hadapannya. Perasaanku membuncah, sadar sepenuhnya aku masih sangat menyukainya bahkan menyayangi Moon lebih dari diriku sendiri.
Tiba-tiba aku berpikir mengenai ayah dan ibuku. Takdir mereka bertemu, membuatku terlahir ke dunia, namun takdir perpisahan merekalah yang membuatku akhirnya bertemu dengan Moon. Sungguh takdir dari Tuhan adalah yang terbaik. Ada alasan dalam setiap kejadian. Bodohnya aku yang tak memahami. Percaya pada nyanyian gerimis sama saja menggiring diriku terjebak dalam permainan kucing hitam. Kebodohan yang sama yang telah dilakukan oleh kakek gerimis di masa lalu.
“Salli, ada yang aneh di surat ini!” ujar Moon membuyarkan pikiranku.
Pandanganku langsung beralih dari wajah Moon ke surat yang sedari tadi berada dalam genggamannya.
“A-apa itu moon?” tanyaku tak mengerti, tidak menemukan keanehan dalam amplop surat tersebut. Lalu tiba-tiba …
“Lihatlah!” Moon membalik amplop surat dan kutemukan tulisan nama kami menggunakan pena tinta, tertulis rapi dengan rangkaian huruf yang teramat kami kenali. Bukan, bukan tulisan Kenny lagi, melainkan … ini tulisan Moon sendiri.
“Pada tahun 2001, usiaku sembilan tahun ‘kan Sali? Pastinya gaya tulisanku sudah menetap dan tidak lagi berubah-ubah, ya!?”
“Bisa saja itu terjadi, Moon.” Aku mulai menangkap maksud ucapannya, “bi-bisa saja dirimu yang sembilan tahun yang menerima surat kita.”
Tercenung sebentar, lalu gerakan jemari Moon mulai membuka kertas surat. Benar saja, di sana kembali tertera nama ‘Moon dan Salli’.
Kepada Moon dan Salli di tahun 2024
Aku sendiri yang menerima suratku dari masa depan. Aku tidak terkejut sama sekali. Kurasa kalian berdua sering hadir dalam mimpiku. Kini aku mengerti arti nyanyian gerimis yang kakek ajarkan memang mengandung unsur magic. Aku merasa tertarik dengan keterikatan kita, aku yang disebut masa lalu dan kalian adalah masa depanku sendiri. Sering pula aku merenungkan keanehan ini sembari melihat bulan. Oh ya, tepat hari ini aku berulang tahun, yeah, 4 Desember 2001. Senang sekali karena aku mendapat hadiah teleskop dari orang tuaku. Aku memiliki kakek yang di ‘cap gila’ oleh sebagian orang dan misiku dari kalian adalah memberitahunya untuk menerima seorang anak dan membiarkan takdir yang terjadi. Sesungguhnya aku tak tahu takdir apa itu, tapi baiklah akan kusampaikan pesan kalian kepadanya.
Moon, di tahun 2001
Aku menatap ekspresi Moon sekali lagi, memastikan ia baik-baik saja. Pastinya merasa aneh jika membaca surat dari dirimu sendiri bukan? Moon terlihat tegar, bila surat kami terbaca oleh Moon pada tanggal 4 Desember itu artinya di masa itu Moon kecil masihlah anak yang ceria, belum kehilangan orang tua kandungnya secara bersamaan. Apakah kami masih berkesempatan untuk mengubah tragedi kecelakan tersebut? Entahlah, hmm, kurasa tidak! Sudah cukup belajar dari masa lalu, kenyataannya takdir hanyalah berputar-putar ke tempat yang sama. Aku tidak terkecoh lagi, begitu juga Moon yang kuperhatikan tak ada niatan membahas kematian orang tuanya. Moon telah menerima takdir sepenuhnya.
“Jadi dirimu di masa lalu sering memimpikan wujud kita dewasa, Moon?” tanyaku penasaran.
“Hmm, ya. Mungkin itu sebabnya aku merasa telah lama mengenalmu saat kita pertama kali bertemu, Salli.”
“Deja vu, hmm ….” gumamku lirih, “sepertinya aku pun mengalami hal itu Moon, saat pertama kali menginjakkan kaki di kafe gerimis ini.”
Woosh … woosh …
Drrr … drrr …
Kreek … kreek …
Suara-suara kegaduhan menghampiri kami yang asyik mengobrol. Hembusan angin kencang, derak jendela juga pintu yang terbuka akibat angin. Pukul dua dini hari, bukannya reda hujan justru semakin lebat. Aku dan Moon terkesiap. Kafe ini seperti diserbu ribuan kilat.
“Bagaimana ini, Moon?” tanyaku cemas dan takut.
“Cuaca buruk, tak apa Salli… tenanglah ada aku di sini.” Moon coba menenangkanku.
Sedikit ragu aku menghampiri pintu, takut-takut meraih gagang pintu hendak menutupnya, tetapi belum juga aku berhasil menutup pintu dengan melawan angin tiba-tiba ….
Jlaar … petir menyambar kotak pos merah di halaman kafe. Sontak aku menjerit, belum sempat berbalik ke arah Moon, sesosok tubuh telah lebih dulu berlari cepat melewati aku yang kebingungan, sosok tubuh itu berlari ke arah kotak pos merah yang kini hangus terbakar.
Aku mengejarnya, sosok itu berdiam terpaku di depan kotak pos merah. Tubuh kami berdua kembali diguyur hujan, yang lebih membuatku merinding ketika menyadari sosok itu adalah Moon yang kini berdiri dengan ke dua kaki.
“Moon, “ panggilku bergetar.
Wajah basah Moon menoleh, sorot mata tajam mengarah padaku.
“I-itu …” tunjukku pada kedua kakinya.
Moon mengikuti arah jari telunjukku, lalu ia sendiri hampir melonjak kaget. Kedua kakinya kokoh berdiri menghunjam tanah basah. Tanpa alas kaki. Yeah, tentu saja … terakhir aku melihatnya masih duduk di atas kursi roda.
Mata Moon mengerjap tak percaya. Pupil matanya melebar karena senang, lega bercampur haru. Aku menangis sejadi-jadinya, berhambur memeluk tubuh basahnya.
“Kita berhasil, Moon!” seruku senang.
“Iya Salli, iya!” serunya tak kalah gembira, bibirnya tak henti-henti mengucap syukur. Tangannya erat merangkul tubuh kecilku.
Kembali sadar bahwa kami berangkulan di depan bekas sambaran petir, aku dan Moon sama-sama sadar dan menarik diri, tersipu malu. Kemudian aku menunjuk bekas kotak pos merah.
“Dia telah hancur tak berbentuk, keajaiban berakhir ‘kan .., Moon?”
“Sudah selesai, Salli!”
“Apakah kita kembali ke tahun 2023?” tanyaku lagi.
“Kurasa tidak.” Moon melirik jam tangan digital di pergelangan tangannya di mana tertera waktu saat ini―jam dan tahun berupa angka.
Moon berkata lagi, “Kurasa keajaiban kucing hitam tidak sampai membawa kita kembali masa lalu, perjalanan waktu hanyalah oleh surat melalui kotak pos merah ini, dan lihatlah sekarang, kotak pos merah ini telah hancur, perjalanan waktu surat-surat menembus waktu telah usai, Salli.”
“Bagaimana nasib kucing hitam?” tanyaku asal. Membuatku sebal sendiri, tak sepantasnya aku mengkhawatirkannya.
“Kurasa ia tak mengusik kita lagi,” ujar Moon mantap.
“Yeah, kupikir juga begitu. Bagaimanapun juga kucing hitam telah membuatku sadar bahwa selama ini aku keliru bila menyesal dilahirkan ke dunia.”
“Benar sekali, Salli! Aku pun baru saja melepaskan sisi diriku yag terjebak ke dalam rasa bersalah bertahun-tahun akibat kematian orang tua.”
Hujan mulai mereda, fajar hampir menyingsing, kelelahan mendera aku dan Moon, tetapi kami tidak tertidur. Setelah berganti pakaian dan meminum susu hangat, perasaanku menjadi lebih baik. Padahal sebelumnya aku sempat merajuk pada Moon karena lagi-lagi ia membuatkan susu untukku alih-alih kopi hitam panas seperti untuk dirinya sendiri.
Hati kami begitu berdebar menantikan pagi menjelang. Orang pertama yang membuka pintu adalah petunjuk bagi kami bagaimana ingatan orang-orang di masa kini. Seperti Moon yang telah menerima takdir kematian orang tuanya, aku pun telah merelakan perpisahan ayah dan ibuku. Meskipun berpisah, bukan berarti kami tidak menjadi sebuah keluarga. Soal sifat ayah yang buruk, aku mulai memahami sebagai perubahan karakter seseorang yang telah mengarungi masa-masa kekecewaan. Semua manusia menjalani garis takdirnya masing-masing.
Sekali lagi, takdir memang sudah ketentuan dari semesta, namun menjadi jahat atau baik itu adalah pilihan tiap manusia dengan segala risikonya. Rupanya ayahku hanyalah salah satu manusia yang tak lulus dalam ujian nafsunya. Ibuku yang berhati lembut tak perlu kupaksakan untuk menghabiskan waktu bersama orang yang gagal dalam menghargai ketulusannya. Yeah, itulah keputusanku. Saat bertelepati bersama kucing hitam beberapa jam lalu. Aku hanya ingin kembali pada kehidupan sebenarnya. Bukan ingatan palsu dalam diri orang-orang yang menjadi asing. Untuk adikku Tian, meskipun tourette syindrome akan menetap pada dirinya, akan kuusahakan pengobatan semaksimal mungkin. Lebih baik semua orang kembali pada takdirnya masing-masing. Senior yang menyukaiku jauh lebih baik dari pada kakak lelaki yang kulihat dengan pandangan canggung, bukan?
Aku dan Moon adalah main character sesungguhnya. Kami yang memulai dan kami pula yang menuntaskan surat-surat perjalanan waktu yang kini terbungkam dalam ingatan kami saja.