“Ibu tidak apa?” tanyaku pada ibu berkali-kali, sementara kedua tanganku sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper.
“Tentu saja, Salli. Apa yang sebenarnya kau khawatirkan ada ayahmu, kakak dan adikmu di sisi ibu,” jawab ibu santai.
Entahlah, aku merasa semua ini aneh. Bukankah ini yang selama ini aku inginkan? Keluarga yang hangat, tetapi mengapa aku merasa semua ini palsu. Bahkan hatiku tetap tidak tenang meninggalkan ibu bersama ayah kembali.
Bahkan aku merasa senyum ibu bukanlah ibu yang sebenarnya, keluargaku sekarang seolah tidak nyata melainkan mimpi yang kuciptakan dengan keajaiban kotak pos merah.
“Ibu, bila ada sesuatu hal yang mengganggumu, cepat hubungi aku, ya!” pintaku pada ibu setengah memaksa.
“Okey, baiklah Salli!” Ibu menunjukan ibu jarinya tanda setuju.
Aku berpamitan dengan Tian di teras rumah, ia duduk melamun. Sekarang ini Tian tidak mengalami sindrom apa pun. Tetapi ia tidak ceria lagi seperti kemarin. Kembali murung seperti kondisi sebelumnya. Bahkan kini Tian seperti orang kebingungan.
“Kau kenapa?” tanyaku heran.
“Hmm, Salli … apa bosmu tetap akan datang ke rumah kita saat kau tak ada?” pertanyaan yang sama sekali tidak kutebak meluncur dari bibirnya.
“Kenapa kau menanyakan itu?” Keningku mengernyit.
Tian mengedikkan bahunya, “Entahlah, aku merindukannya saja.”
“Bukankah ada Sun dan Ayah?” tanyaku lagi.
“Mereka asing.”
“Tian!! bicara apa kau!?” Kedua mataku melotot pada Tian yang memonyongkan bibir. Sebenarnya apa yang dikatakan Tian ada benarnya juga, aku pun merasakan ingatan palsu pada diri tiap orang ini―asing. Lantas Tian, bukankah ia juga termasuk yang terhapus ingatannya? Lalu mengapa ia dapat merasakan keanehan sepertiku.
“Aku akan menghubungi Moon agar datang menemuimu, Tian!” ujarku akhirnya.
“Benarkah, Salli?” Matanya mengerjap senang. Aku mengangguk dan memberikan jari kelingkingku sebagai tanda ikatan janji.
Selanjutnya, aku memang benar-benar menghubungi Moon, kukatakan padanya bahwa, “Tian terhapus ingatannya, tetapi tidak lagi merasakan hal yang sama bersama Ayah. Pada Sun, Tian menyukainya tapi tetap saja lebih suka padamu Moon!” ucapku jujur.
Di seberang telepon kudengar Moon mendesah, “Apa semua ini benar, Salli? Apa yang telah kita lakukan untuk mengubah masa kini?” Moon mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku galau. Cukup lama keheningan melanda kami, aku tak mampu menjawabnya. Aku berkata untuk jangan terlalu khawatir sebelum akhirnya menutup sambungan telepon.
Setelah menghubungi Moon, aku pun menghubungi Tuan Neil. Degup jantungku seperti berlompatan. Aku memang menginginkan sesuatu dari Tuan Neil. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan Moon. Aku berniat menuntaskan misteri ini. Selubung kotak pos merah dan cara kerjanya. Terutama tentang keajaiban yang kami rasakan ini, apakah ini nyata, ataukah hanya delusi semata, atau memang akan terjadi sementara saja.
Tuuuts … biip ….
“Ya, hallo Tuan Neil, apakah barang yang kuminta sudah kau dapatkan?” tanyaku tak sabar, “baiklah aku segera mengambilnya, iya, akan kubawa ke Yokohama bersamaku!”