Mereka tertawa satu sama lain, senior dan bos. Aku yang memandangi mereka dari balik meja bar tertegun kagum. Seperti ada atmosfer yang menaungi mereka berdua. Tidak ada ruang untuk orang lain tak terkecuali aku. Baru kusadari bahwa bos hanya tertawa lepas ketika bersama senior, seperti bulan yang mendapat cahayanya dari matahari.
Tuan Neil―seorang head barista yang telah bekerja di kafe gerimis ini selama 30 tahun―lebih lama dari aku hidup di dunia ini, menyeringai lalu menepuk tipis bahuku. Ia hanya ingin datang menyapa. Kemudian dirinya berkutat lagi dengan biji-biji kopi yang akan ia siapkan untuk hari ini. Masih dengan memandangku dan sesekali menatap mereka, bos dan senior. Tuan Neil mendekatiku kembali, ia membisikkan sesuatu soal bos.
“Ini rahasia Bos,” katanya.
Aku langsung menoleh, tentu saja penasaran. Mataku memohon Tuan Neil segera merampungkan ucapannya.
“Dulu, sebenarnya Moon anak yang ceria …, kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya yang membuat dirinya berubah dingin dan berwajah masam,” lanjutnya.
“Ah, ya .. Tuan Neil, kau ‘kan telah bekerja sejak Moon kecil, apakah sejak kecil dia memang senang melihat bulan? tanyaku pada Tuan Neil.
Tak kusangka air muka Tuan Neil berubah―seperti berpikir―seakan mengabaikan pertanyaanku ia lantas membawa sekantung biji kopi pilihannya lalu menyuruhku untuk menggilingnya, rupanya ia ingin membuatkan kami kopi―untuk menemani sarapan.
“Sarapan dengan secangkir kopi hitam,” seringainya sambil terkekeh.
Lalu ia berbisik kembali.“Ketika peristiwa itu terjadi … tepat pada saat hari terjadinya gerhana bulan. Moon baru berulang tahun ke Sembilan, pada awal Desember diberi hadiah sebuah teleskop oleh orang tuanya, ia amat senang. Teleskop itu diseretnya kemana pun ia melangkah, dan malam itu … ia sedang asyik bersama teleskop kesayangannya memandangi bulan. Tubuhnya bergetar seketika, seseorang mengabarkan perihal kecelakaan. Kemudian Moon mendengar suara kakeknya meraung histeris lalu memukuli kotak pos merah tiada henti.” Cerita Tuan Neil sedikit tersendat, ia mengambil bubuk kopi yang telah kugiling, menciumi aromanya sambil memejamkan mata lalu membandingkan dengan bubuk kopi lama.
“Lantas reaksi Moon, apakah ia juga histeris?” Aku tak sabar dengan kelanjutan ceritanya.
Tuan Neil menatapku bimbang, entah ia bermaksud melanjutkan ceritanya atau tidak, mungkin saja ia takut senior dan bos akan dapat mendengar atau bahkan curiga melihat kami berbisik-bisik terlalu lama.
“Sepertinya bos dan senior tidak memperhatikan kita, Tuan Neil.” Sekali lagi kuyakinkan Tuan Neil untuk meneruskan ceritanya.
Jujur aku begitu penasaran dengan kisah masa lalu mereka. Sekali lagi melirik pada bos lalu kukatakan pada Tuan Neil.
“Apakah kau ada bersama Moon saat malam gerhana bulan?” tanyaku penasaran, arah pertanyaanku menjurus pada situasi gerhana bulan di malam tersebut, karena hal itulah yang mendasari keajaiban pada kotak pos merah di Kafe Gerimis.
“Hari itu kami sangat sibuk, pita-pita menjuntai menyambut gemerlap tahun baru, terompet-terompet tergantung di dinding kafe. Kami sedang bersiap-siap sebaik mungkin untuk menyambut pelanggan yang merayakan tahun baru di kafe ini.” Mata Tuan Neil menerawang.
Moon amat serius dan tak mau diganggu dengan teleskopnya. Saat orang tuanya berpamitan Moon melambaikan tangan dengan antusias dan mengatakan akan menunggu mereka untuk makan malam bersama. Kata-kata terakhirnya pada mereka adalah, “Jangan terlambat untuk makan malam bersama, atau kalian kukirim ke bulan!” itulah ancaman yang Moon tak sangka menjadi nyata. Malam itu, waktu makan malam telah terlewat, dering telepon terakhir untuk Moon dari orang tuanya telah ia abaikan, Moon hanya terdiam kecewa, dan beberapa jam kemudian berita itu sampai di telinganya. Ia mengira telah mengutuk dan mengirimkan orang tuanya ke bulan akibat tak menepati janji makan malam. Setiap kali merenung melihat bulan ia akan langsung merasakan kehadiran orang tuanya dalam bayangan bulan yang ia lihat.
“Bukan main, bagaimana rasa traumanya,” celetukku.
“Hmm ya, selain sudah ditakdirkan Tuhan kecelakaan itu terjadi, sepertinya mobil memang melaju sangat kencang untuk dapat cepat tiba di Kafe Gerimis. Menurut berita keesokan harinya, sopir membanting setir untuk melindungi seorang anak kecil yang menyeberang jalan di malam gelap, akhirnya mobil justru tertabrak truk bermuatan jerami yang sangat besar. Konon katanya anak kecil itu selamat dan tidak luka secuil pun, hanya tiga orang dalam mobil yang meninggal seketika dalam tragedi itu. Keanehan tak cukup sampai di situ, anak kecil itu mengaku dia tidak sedang menyeberang, melainkan menolong seekor kucing hitam yang terjebak di tengah jalan, dan alasannya berada di jalan raya pada malam hari karena perintah seseorang di dalam surat yang di terimanya.”
Merinding. Tubuhku meremang. Lagi-lagi sebuah surat dan kucing hitam. Semua ada dalam nyanyian gerimis yang diciptakan Kakek Gerimis, apakah kisah lagu itu mengandung kunci jawaban dari segala misteri yang terjadi?
“Esok malamnya, ketika terompet-terompet ditiupkan dan letupan kembang api menggema. Ada seorang anak kecil yang mengunci dirinya di dalam kamar. Kakek Gerimis terus mematung menatap kotak pos merah. Keriuhan malam tahun baru tak dibatalkan, itu perintah Kakek Gerimis. Ia justru ingin menutup duka dalam keramaian. Meskipun ia dan sang cucu merutuki nasib semalaman.”
Tuan Neil menghela napas, “Kuingat betul. Moon tidak menangis, air matanya kering, ia hanya terdiam membisu, tubuhnya membeku dan sejak itu ia memang jarang tersenyum.”
“Bukankah kehadiran Sun menghiburnya, Tuan Neil?”
“Huuft ya, tapi tetap saja, bayangan rasa bersalah itu menghantuinya sepanjang masa.”
“Jadi bos menyalahkan dirinya sendiri,” gumamku.
Tuan Neil mencolek lenganku, memberi kode untuk diam, wajahnya memberitahu bahwa ada seseorang berjalan menghampiri kami.
“Moon! Kau mau kopi?” Tuan Neil menawarkan kopi pada bos, yang diikuti dengan gelengan kepala bos. Tatapannya beralih padaku. Sebuah tatapan yang bisa kuartikan sebagai bentuk peringatan terselubung. Ya, aku merasa seolah bos mendengar pembicaraan kami, bila tidak tentunya telinganya menjadi panas dan ia yang peka merasa ada seseorang yang membicarakan dirinya. Kata ibuku, bila kita sedang jadi pusat perhatian orang lain tubuh kita akan meremang dan bila kita dibicarakan orang lain bisa saja jantung kita berpacu amat kencang.
Dear seseorang di tahun 2001
Aku sedikit malu mendengar rahasia pria bulan ini. Hampir semua manusia pernah menganggap dunia tidak adil pada dirinya. Ternyata ada banyak yang lebih merasakan getir kehidupan. Aku tidaklah sendirian. Ini tentang rasa kehilangan. Bagaimanpun cara manusia mencegah, waktu terus bergulir tidak peduli betapa banyak manusia kehilangan satu persatu hal berharga dalam hidupnya.
Salli, 2023
Malam harinya, aku kembali melihat bayangan punggung berdiri menatap bulan. Kali ini kuberanikan diri mengambil tempat di sisinya. Ia tersenyum menyambutku. Kami banyak mengobrol malam itu. Ia mengatakan bahwa melihat bulan adalah obat bagi lukanya. Cukup dengan melihat bulan ia menyembuhkan hati yang sesak akibat rasa kehilangan.
Bos juga berkata bahwa ia takut bahagia, hatinya terasa berat dan kembali takut kehilangan seseorang yang disayang ketika merasa bahagia. Rasa itulah yang tertinggal di benaknya selama bertahun-tahun. Perasaan bahagia yang ia rasakan di hari mendapat teleskop sebagai hadiah ulang tahun yang dirayakan beberapa pekan sebelum kecelakaan terjadi. Namun, sayangnya berakhir pedih akibat kehilangan orang yang dicintai.
Perasaan yang meninggalkan jejak, yang perlahan menipis namun takut terulang.
Sungguh aku sadar telah salah menilainya selama ini. Terlebih aku tahu sekarang, mengapa bos begitu menaruh perhatian pada adik lelakiku yang memiliki sindrom tourette. Itu semua karena ia seperti melihat dirinya di masa lampau. Memiliki trauma akibat dari rasa kehilangan.
***
Menikmati detik, menit, hingga beberapa jam berlalu di malam yang cerah seperti ini, bermandikan cahaya bulan yang menyirami pecinta ling-lung sepertiku, menjadikan keasyikan tersendiri terlebih temanku berbincang adalah Moon, sang pria bulan.
“Bagaimana kuliahmu, Salli?” tanya bos membuat topik pembicaraan.
“Sangat baik, berkat kau, Bos!” Aku mengacungkan ibu jari terhadapnya.
“Hssh, di sini kita hanya berdua, panggil saja Moon!” perintahnya kemudian.
“Hah, eh, aku merasa malu,” ucapku sambil menggaruk kepala.
Moon terkekeh, “Kenapa harus malu, aku kan tidak menggigitmu,” cetusnya polos.
Aku yang tidak polos, alih-alih membalas candanya, aku justru membayangkan Moon di bawah sinar bulan menggigit leherku layaknya seorang vampir. Heh, apa sih, selorohku dalam hati. Geli sendiri dengan apa yang aku bayangkan.
“Hmm, apa kau mau pergi berjalan-jalan denganku, Salli?” tanya bos tiba-tiba.
“Ke mana Moon?”
“Ke mana saja, kita berdua, hanya kita berdua!” ucapnya tegas.
Aku terhenyak, tak percaya pada apa yang barusan kudengar. Apakah itu artinya Moon mengajakku kencan? Atau aku saja yang terlalu berani mengartikan begitu.
Sekian detik aku terdiam, menatapnya dan memberikan senyum terbaikku, lantas mengangguk setuju, mengiyakan.