Hari ini tidak ada jadwal kuliah. Lumayan berhemat karena aku harus menempuh perjalanan panjang untuk tiba di kampusku. Sebuah kampus negeri di kota Jogja. Memang tidak setiap hari aku mengikuti kelas. Semester ini aku hanya mengambil beberapa mata kuliah pokok. Semuanya berhubungan dengan kondisi keluarga dan pekerjaaanku di Kafe Gerimis. Aku tinggal di sebuah kota kecil di pinggiran Jogja. Kota di mana rumahku dan Kafe Gerimis berada. Jarak tempuh lumayan jauh. Namun, terasa cepat karena aku menggunakan kereta listrik. Hanya sekitar empat puluh lima menit.
Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar bahwa ayah tinggal dekat daerah kampusku. Tetapi tak satu kali pun ia muncul mencariku di kampus. Padahal pembayaran UKT seharusnya masih menjadi tanggung jawabnya.
Bos mengetuk lembut meja di ruangan Pantry, membuyarkan lamunku perihal pembayaran UKT.
“Kenapa bengong, Salli?”
“Ti-tidak, ah aku hanya mengantuk.” Aku sedikit tergagap.
Hooaam …
Aku berpura-pura menguap.
Bos tersenyum, aku jadi dag dig dug.
Sebuah amplop cokelat di sodorkan perlahan.
“Gajianmu, Salli!”
Mataku berbinar senang. Aku hampir melupakannya. Ini gajiku bulan November. Tapi kok aneh, amplop ini lebih terasa tebal dari biasanya.
“Kurasa ini salah Bos, ini bukan amplopku, sangat tebal.” ujarku bingung.
Bos mengambil posisi duduk santai menyandarkan bahunya yang lebar pada kursi jati dengan lekukan tinggi pada sandarannya. Bos terlihat berwibawa. Seketika nyaliku menciut. Aku selalu insecure berada dekat bos. Mungkin kemiskinan membuatku rendah diri.
“Itu benar bagianmu Salli, aku memberi bonus karena kau sering kerja lembur, dan juga karena aku telah melarangmu bekerja di luar kafe.”
Bos memang telah melarangku mengambil pekerjaan tambahan di toko kelontong, sebagai gantinya ia berjanji akan membayarku lebih. Ibu menggantikanku bekerja di toko bunga, katanya sayang jika kesempatan bekerja dilewatkan. Sedangkan pekerjaan bersih-bersih di toko lain terpaksa aku tinggalkan. Aku juga tidak mau ibu mengambil pekerjaan itu, terlalu berat untuknya.
“Tapi tetap saja Bos, ini terlalu banyak.”
“Untuk pembayaran UKT-mu, Salli!”
Bos menunjukkan jari telunjuknya persis di depan wajahku agar aku diam dan menerima. Oh, perasaanku campur aduk. Aku sangat ingin menerima. Tapi rasanya aneh jika bos menanggung biaya kuliahku juga. Sedangkan sebagian besar waktu makanku berada di sini telah ditanggung olehnya.
“Tidak semua untukmu Salli, sisihkan untuk adik dan ibumu berobat.” ucap bos menambahkan.
Aku semakin terpana. Rasa malu meliputi. Anehnya aku masih saja memegang amplop tersebut erat.
“Aku memang berencana akan mengumpulkan pembayaran UKT tesebut pada bulan Januari. Setidaknya masih ada waktu dua bulan bagiku menabung sebagian dari penghasilan. Tetapi bos justru memberikan sekarang. Rasa-rasanya aku tak perlu mengurangi SKS yang harus terambil.”
“Berkuliah saja dengan baik, Salli.” katanya santai.
“Tapi.., dengan begitu aku akan sering berada di kampus Bos,” ucapku terbata.
“Itu lebih baik, Salli.” jawabnya dingin. Matanya menerawang sejenak seperti memikirkan sesuatu.
Bos tersenyum tipis lalu berdiri hendak meninggalkan ruangan. Aku pikir bos kembali ketus, namun aku salah, diacaknya rambut pada pucuk kepalaku sambil berlalu. Akibatnya, dadaku berdesir tak karuan. Apakah bos ingin menggodaku atau hanya iseng, tahukah ia ... perbuatan isengnya sangat membuatku salah tingkah. Oh Tuhan, sekali lagi kau kirimkan hal baik untukku, melalui manusia baik yang mengelilingi hidupku sekarang, apakah ini ujian-Mu atau pertolongan-Mu Tuhan?
Mungkin saja Tuhan ingin aku berpikir ulang tentang niat terselubungku ingin mengakhiri hidup dengan cara mengubah masa lalu.
***
Lagi, gangguan kecemasan ini muncul tiba-tiba. Sebelah tangan merasakan tremor. Kedua mataku bergegas mencari sosok senior, mengharapkan senyuman darinya menenangkan jiwa yang gelisah. Selama ini hanya senior yang mengetahui tentang anxiety ini. Namun hingar bingar kafe di malam itu meredam niatku. Sosok senior tertutup pelanggan kafe yang mengerumuni dirinya bermain gitar. Ini malam minggu, tentu saja ramai. Aku beringsut menjauh, menepi sendiri dari keramaian mencari tempat sepi. Tidak akan ada yang mengerti. Perasaan berkecamuk timbul tenggelam tanpa sebab. Rasa ingin menangis dan berteriak. Rasa kesal sekaligus marah. Aku terdiam. Tubuh menegang dan kaku namun isi kepalaku begitu berisik. Sebelum aku mengacau lalu menjatuhkan banyak barang, lebih baik aku berlari, ingin meluapkan. Poster Min Yoongi menjadi tujuanku, sayangnya ada banyak gadis muda berfoto di sana, aku kembali mencari tempat lain, merogoh saku kemeja berharap menemukan ponselku tapi sayangnya tidak, ponsel tertinggal di atas meja pantry.
Lalu di taman belakang, aku melihat punggung itu, punggung pria yang termenung menatap bulan. Ketika ia menoleh beradu pandang dengan linang air mataku. Ia langsung mengerti, kali ini sorot matanya tidak galak atau dingin. Ada hangat yang tidak kupahami. Tapi rasanya aku tidak takut mendekatinya. Seperti ada magnet di bawah cahaya bulan. Apalagi setelah tanpa basa-basi bos memerintah.
“Menangislah di punggungku!”
Aku mematuhinya tanpa ragu. Entah mengapa air mata terus meluncur tanpa terkendali. Ia kembali merenung menatap bulan dengan wajahku yang bersembunyi di balik punggungnya. Biasanya, reaksi senior akan langsung menghibur jika anxiety ini kambuh, sibuk membuat tertawa agar hatiku merasa lebih baik. Akan tetapi, bos tidak tersenyum seperti matahari, ia tetap sedingin bulan. Ia hanya membiarkanku mengeluarkan segala cemas, takut, gelisah yang terjadi beberapa menit. Kami tanpa bicara. Hanya berdua. Hening. Setelah itu aku meninggalkannya kembali sendirian berdiri menatap bulan dengan punggungnya yang basah oleh air mata.
Dear seseorang di tahun 2001
Sekarang aku baru menyadari ternyata tidak semua bentuk dukungan merupakan perhatian yang terlihat. Seperti Bos pemarah yang sering mengawasiku dengan mata tajam dan galak karena aku begitu ceroboh, ia meneriaki aku yang memecahkan piring karena takut aku terluka.
Salli, 2023
Bersambung