Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat untuk Tahun 2001
MENU
About Us  

Suasana Kafe Gerimis siang ini tidak begitu ramai. Hanya ada aku dan bos di dalam kafe. Sementara senior dan Tuan Neil sedang pergi ke pusat kota untuk membeli bahan roti. Bos terlihat tenang berada di meja kerjanya, memeriksa pembukuan keuangan kafe dan sesekali membuat catatan penting. Wajahnya tampak serius. Ada tiga pelanggan yang juga menikmati ketenangan sambil membaca buku. Mereka tidak datang bersama, menikmati kopi di mejanya masing-masing. Bertegur sapa seperlunya saja karena memang saling mengenal. Penduduk kota kecil ini―penyuka kopi―pastilah pernah bertandang di Kafe Gerimis ini yang memang telah berdiri selama puluhan tahun, apalagi yang menjadi pelanggan setia, mungkin karena itulah mereka mulai familiar dengan rupa sesama pelanggan.

Seseorang yang menggunakan topi pet warna coklat, memintaku mematikan musik, alasannya karena ia ingin lebih fokus memahami isi buku bacaannya. Huuh, gerutuku, kenapa ia tidak pergi ke perpustakaan kota saja. Aku melihat pada bos, meminta persetujuannya dan bos hanya memberi anggukan tanda setuju, bos memang selalu mengutamakan kenyamanan pelanggan. Terutama para lansia seperti tiga pelanggan itu. Dua pelanggan lainnya pun menyetujui untuk mematikan musik. Oh, hanya aku sendiri yang menginginkan alunan musik saat ini.

Keheningan ini membuatku salah tingkah, bahkan aku seolah mendengar tarikan napasku sendiri. Aku merasa tak nyaman. Aku hanya duduk di balik meja bar menantikan pelanggan lain datang, menekan perutku yang tiba-tiba berbunyi dan membuatku malu. Inilah yang aku tak sukai dari keheningan, aku tak dapat menyamarkan bunyi kelaparan. Hampir pukul dua siang dan perutku sudah sangat keroncongan. Ini akibat ulahku sendiri, menolak ajakan bos untuk makan siang berdua. Entahlah, aku terlalu canggung. Aku ingat, masih ada satu sandwich buatan senior sisa sarapan tadi pagi. Aku baru saja akan mengambilnya ketika bunyi ‘klang’ menghentikan langkahku. Bukan hanya langkah tetapi aku seperti menahan napas sejenak.

KLAANG …

Lonceng batu di atas pintu masuk kafe kembali berbunyi.

Bunyi itu menggema di ruangan yang sepi. Semua orang tertuju pada arah pintu. Termasuk bos yang langsung berdiri. Bos berjalan menghampiri sosok di pintu itu, melewati aku yang tidak bereaksi. Ia menganggukan badannya hormat dan mempersilakan tamunya masuk. Sementara aku masih menyusun langkah apa yang sebaiknya kulakukan untuk merespon kedatangan sosok tamu yang tak terduga tersebut.

Bukan tamu bos, sebenarnya tamuku. Karena orang yang berdiri di pintu itu adalah ayahku.

Ayah tersenyum menyapaku. Aku seperti menemukan wajahnya kembali. Tidak seperti ia yang tempo hari membisu.

Bos memberi kode padaku agar duduk bersama ayah. Di tempat yang sama seperti dua pekan lalu, aku dan ayah kembali duduk berhadapan. Kali ini aku tidak membuat kopi. Bos yang membuatkannya.  Arabica  Coffee untuk ayah dan susu putih hangat untukku―mataku saja hampir melotot karena gelas susu putih hangat itu―kenapa bukan Ice Americano saja Bos? keluhku dalam hati. Yeah, walaupun susu putih hangat adalah favoritku tetap saja rasanya aneh meminumnya di situasi begini. Bos menambahkan muffin, menghidangkan di atas meja, padahal tak ada yang memesan.

Seharusnya, aku yang lapar tergiur dengan muffin banana itu, tetapi sayangnya tidak, rasa laparku lenyap seketika. Bahkan susu hangat favoritku hanya kusesap sedikit.

“Bagaimana kabarmu?” tanya ayah mulai membuka suara. Huh, kenapa baru ia tanyakan sekarang, gerutuku dalam hati. Aku memberi anggukan dan berkata―

“Seperti yang Ayah lihat, kabarku baik.”

“Apa Ibu dan Tian sehat?” tanyanya lagi.

“Ya,” jawabku singkat. Sebenarnya ingin aku ceritakan tentang penyakit Tian, namun kuurungkan niatku. Kurasa saat ini aku hanya perlu tahu apa tujuan ayah menemuiku.

Ayah menarik napas berat, dikeluarkannya sebatang rokok namun disimpan kembali ketika ia menyadari ruangan kafe ini ber-AC. Pelanggan yang merokok memang disediakan khusus di kursi kafe bagian belakang menghadap taman tempat biasa bos merenung melihat bulan.

“Salli, kau pantas membenciku, aku bukannya ingin meminta maafmu karena kutahu pasti percuma, kau tak akan memaafkan.”

Ucapan ayah itu langsung membuatku muak. Ia masih terlalu gengsi untuk sekadar meminta maaf. Kenapa ia menyimpulkan sendiri bahwa aku tak akan memaafkannya. Kurasa ayah hanya menutupi rasa malunya dari keluarga.

Baiklah, aku akan memberikan kesempatan ayah mengungkapkan isi hati, aku hanya perlu mendengarkan, bukan? Tanpa sadar aku enggan menatap ayah, pandanganku justru tertuju pada kaca jendela yang terus berderak terhantam angin. Langit siang ini kelam, sekelam hatiku menyambut ayah. Seperti mau hujan. Namun tetes gerimis belum juga jatuh menyiram bumi, hanya angin yang sibuk menghantam ke sana ke mari. Aku mencemaskan senior dan Tuan Neil. Alih-alih memperhatikan ayah yang masih saja menyampaikan rasa kekhawatirannya. Kenapa ya, sekarang tidak lagi mudah percaya dengan apa yang dikatakan ayah? Berhadapan dengannya ekspresiku terlihat sama seperti ekpresi Tian sehari-hari―datar.

“Salli, aku sungguh tak ingin seperti ini. Ayah akui … Ayah yang salah, aku bukannya ingin melindungi siapa pun, cukup salahkan saja aku!” ujar ayah tanpa kumengerti maksud dari ucapannya. Mungkin ia tak ingin aku menyerang wanitanya.

“Sampai saat ini aku masih mencintai ibumu, sebenarnya aku juga tak ingin meninggalkannya,” sesalnya lirih.

“Tapi kau memilih wanita itu dan meninggalkan kami, Ayah!!” nada suaraku meninggi.

“Bukan begitu Salli, aku tak ingin keluargaku melihat diriku yang payah ini, dan aku tak ingin menyakiti kalian lebih dalam.”

“Berkali-kali Ibu memberikan kesempatan untuk Ayah memperbaiki diri, lalu mengapa Ayah tidak bisa berpisah dengan wanita itu?” tanyaku sewot.

“Aku pernah berusaha, dan aku tidak bisa berhenti.” Ayah menunduk, aku membuang muka.

“Kau sudah dewasa, Salli, kurasa kau tahu perasaan tak bisa dipaksakan.”

“Tapi ada yang namanya adab dan etika, Ayah! Juga rasa bertanggung jawab.”

Ayah menutupi mukanya dengan kedua tangan.

“Aku meninggalkan ibumu karena aku menyayanginya, Salli. Dia tak pantas bersama orang sepertiku!” lanjut ayah hampir menangis.

 Ayah memang mudah menangis jika emosional, karena itu sekarang aku tidak akan pernah percaya pada lelaki yang mudah mengeluarkan air mata. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ibu mengajari untuk merelakan yang terjadi. Rasanya berbicara dengan ayah seperti ini membuat kata ‘menerima’ itu semakin dekat. Hatiku semakin kosong karena beban berat yang selama ini mengganjal mulai lebur. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Tergelitik ingin menanyakan pada ayah.

“Dari yang kudengar, pacarmu itu istri orang, Ayah … apa itu benar?” tanyaku menyelidik.

Respon ayah sedikit terkejut, tapi ia lantas mengangguk.

“Sedang proses cerai dengan suaminya, Salli. Suaminya selingkuh dengan teman kantornya.”

“Whaaaat??? Daebak!!” spontan tanganku langsung bertepuk tangan. Gemuruh di hati membuat tepukanku keras menyindir.

“Jadi dia berselingkuh denganmu karena diselingkuhi suaminya, begitu??” tanyaku berapi-api.

Sungguh, aku tak habis pikir, tapi lagi-lagi melihat ayah menganggukan kepala membuatku muak. Aku tak menyangka, ‘ketidak dewasaan’ ayah sampai membuatnya ling-lung dan mau saja menjadi bagian dari proyek balas dendam wanita itu kepada suaminya.

“Lantas, apa Ayah datang menemuiku karena ingin membahas tentang menceraikan Ibu secara negara?” tanyaku seraya mengamati perubahan mimik raut muka ayah. Sayangnya, ayah hanya terdiam. Aku memang sudah curiga, pasti ada alasan kuat ayah sengaja mendatangiku. Mereka memang resmi bercerai dari sisi agama, tapi satu sama lain belum ada yang menggugat ke pengadilan. Ibu meminta ayah yang mengurus, namun setahun ini ayah pergi begitu saja dan tak pernah muncul. Baru kali ini, ia berbicara denganku tentang kekasihnya itu.

“Apa kau akan menikahinya, Ayah? Pacarmu itu?”

“Entahlah.” Ayah mengedikkan bahunya, jawabannya tak jelas, ayah benar-benar tak memiliki tujuan.

“Kenapa kau tega lakukan ini pada Ibu, Ayah?”

“Aku terjebak nafsu, Salli. Aku memang pria payah yang tak pandai bersyukur.” Jemari ayah mulai meremas-remas rambut di kepalanya, tandanya jika percakapan ini diteruskan ayah bisa saja akan memukuli kepalanya sendiri seperti yang biasa ia lakukan ketika emosinya memuncak.

Huh, sayangnya Ibu melarangku untuk mengumpat.

***

Tik … tik ….

Duarr …!

Hujan diselingi petir menjadi pemandanganku di tepian jendela. Dagu kuletakkan di atas dua telapak tangan yang telungkup.

“Bagaimana Tuan Neil dan Sun ya, Moon?” tanyaku pada bos tanpa mengalihkan pandanganku pada bulir hujan yang menghantam jendela. Aku memang khawatir pada mereka bedua yang tak kunjung pulang berbelanja dari pusat kota.

“Mereka pasti berteduh di suatu tempat!” jawaban bos membuatku memonyongkan bibir. Tak kusangka ia melihatnya.

“Sudahlah, tak perlu risau, mereka pintar. Pasti mereka berdua tengah menikmati teh hangat dan beberapa kudapan lezat sembari menunggu hujan reda.” Bos mencoba membuatku tenang.

Aku tak menanggapinya, tatapanku masih sayu mengamati hujan disertai angin yang semakin lebat. Gelegar petir mengimbangi di antaranya. Tanpa sadar aku bergidik, entah karena dingin atau gelisah. Rupanya bos menangkap gelagat anehku, ia datang mendekat. Membawa selimut rajut lalu diselimutkan pada badan kecilku yang meringkuk di kursi dekat jendela.

Terhenyak pada perhatiannya yang begitu tiba-tiba, aku lantas mendongak, kami bersitatap. Ada suasana yang tidak dapat aku deskripsikan.

“Jagalah badanmu agar tetap hangat!” ucap bos, “atau kau mengkhawatirkan hal lain?” tanya bos menyelidik.

“Ti-tidak, Moon!” sentakku sambil melengos dan aku cukup terkejut dengan reaksiku yang tidak santai. Bos tersenyum. Kedua tangannya masih berpegangan pada lengan kursiku. Aku merasa semakin kerdil meringkuk pada kursi dan terbungkus selimut.

Duarr …!

Gelegar petir membuat bos tersentak, entah apa yang barusan ia lamunkan. Setidaknya suara petir itu berhasil mengubah posisi tangannya. Kali ini bersidekap, masih menatapku, aku jadi kikuk dibuatnya. Apa sih yang bos pikirkan?

“Aku lebih senang kau memanggilku ‘Moon’ dibanding panggilan lain,” ujarnya kemudian.

Akh, aku baru menyadarinya. Dari tadi membiarkan diriku menyebut ‘Moon’. entah mengapa saat berdua begini aku lebih nyaman memanggilnya Moon.

“Oh, ya Moon. Boleh aku meminta sesuatu, I-ini bukan hal serius … hanya saja ingin kuungkapkan.”

Sorot mata Moon terlihat kaget tetapi mengiyakan dengan anggukan.

“Bulan Februari tahun depan, usiaku 20 tahun. Jadi sebaiknya baik kau atau Senior, tidak lagi memberiku susu putih hangat.”

“HA-HA-HA ….” tawa Moon membahana, ia terpingkal dan tak dapat menahan rasa geli pada hal serius yang kuucapkan. Mataku melotot, merasa sebal ia meremehkan permintaanku.

“Bagiku ini penting, Bos! Bukan candaan, aku serius!” seruku, pura-pura menggerutu.

“Akh, ya, ya, Salli! Baiklah, kau sudah dewasa ya sekarang, padahal saat pertama kali datang kau baru saja lulus SMA,” ucap bos dengan mata mengerling. Entah apa maksud dari kerlingan pada matanya itu.

“Hmm, bila aku telah dewasa maka kau-” sengaja aku menggantungkan kalimatku, ingin menggodanya.

“Tua, ya, ya aku memang sudah tua,” tukasnya tertawa.

Aku memiringkan kepalaku, sebenarnya bukan itu maksud kelanjutan dari ucapanku. Ia salah sangka, maksudku adalah … apakah ia bisa berhenti  menganggapku anak kecil dan memandangku sebagai wanita?

“Memang berapa usiamu, Bos?” tanyaku penasaran.

“Akh, kau tidak memanggil Moon lagi!” ucapnya merajuk, “tanggal 4 Desember tahun ini, 31 tahun.”

“Woouw, tetapi kau tidak terlihat tua, Moon!”

“Jadi … aku terlihat bagaimana?”

“Tampan.”

Jawaban barusan adalah jawaban terjujur, terlontar begitu saja tanpa filter. Aku baru menyadarinya, saat wajah Moon dan aku sama-sama bersemu merah.

Kami sama-sama memandangi kaca yang berderak akibat hantaman angin. Moon tidak lagi tertawa, masih bersedekap dan menyenderkan tubuhnya pada tepian jendela. Kami berhadapan, hanya saja aku masih duduk meringkuk pada sebuah kursi. Merapatkan selimut rajut yang Moon berikan.

Hmm, bulan depan tanggal empat ya, Moon?” tanyaku bergumam mengenai hari lahir bos, entah mengapa aku terus mengingatnya.

“Jangan ucapkan apa pun di hari itu!” serunya, “atau aku akan marah padamu!”

Menatap sorot mata tajamnya, kutahu ia bersungguh-sungguh. Meskipun sedikit heran, kubiarkan saja permintaannya tanpa bertanya. Jika bos sampai melarang itu artinya … ada sesuatu hal yang membuat luka di hari ulang tahunnya itu. Aku mengangguk menyetujui. Bos membuang muka ke arah jendela, melihat dahan pohon yang bergoyang-goyang juga dedaunan berguguran akibat berkelahi dengan angin dan deras hujan.

Percakapan singkat kami, berhasil membawaku tak lagi memikirkan pertemuan dengan ayah tadi siang. Aku dan Moon kini hanya menikmati pemandangan hujan yang turun dari balik jendela.

Sesungguhnya, aku ingin sekali melupakan pertemuan dengan ayah. Seandainya aku bisa ….

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Temu Yang Di Tunggu (up)
19568      4076     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Laci Meja
499      337     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
Marry Me
472      334     1     
Short Story
Sembilan tahun Cecil mencintai Prasta dalam diam. Bagaikan mimpi, hari ini Prasta berlutut di hadapannya untuk melamar ….
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
276      225     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
love is poem
1639      967     4     
Romance
Di semesta ini yang membuat bahagia itu hanya bunda, dan Artala launa, sama kaki ini bisa memijak di atas gunung. ~ ketika kamu mencintai seseorang dengan perasaan yang sungguh Cintamu akan abadi.
Crystal Dimension
326      226     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Sherwin
379      256     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
14991      2980     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...
DarkLove 2
1307      624     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Story of April
2570      916     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…