Dear seseorang di tahun 2001
Apakah di dalam hidup yang kau jalani ada hal yang sangat memalukan dan ingin kamu hapus dari ingatan?
Yeah, hazukashii koto. Hayakawa Sensei mengatakan itu adalah hazukashii koto. Beliau sering mengatakan padaku agar aku tidak terus menerus menyesali hal yang ingin kuhapus dari ingatan, tetapi bagaimana aku menjadikan hal yang memalukan terjadi padaku sebagai pelajaran hidup.
Aku yang ceroboh memang sering dihukum sensei. Aku mengalaminya baru-baru ini. Berkat dua lelaki dari Kafe Gerimis itu. Senior yang selalu tersenyum dan bos yang baru saja terlihat sisi lain dari dirinya.
Semalam mataku sulit terpejam. Alhasil kantung mata hitam menghiasi pagi hariku. Ditemani kaus kusut sekaligus rambut semrawut. Berlarian tergopoh melewati Kansas (kantin sastra) diiringi sahut-sahutan mahasiswa yang tengah mengisi perut keroncongan.
Kutepis perasaan lapar akibat tercium aroma tempe goreng yang baru matang, menghardik pula keinginan menyeruput es jeruk yang menggiurkan di atas meja-meja Kansas. Oh ya, tempe goreng Kansas merupakan makanan favorit kami mahasiswa sastra, khususnya bagi mahasiswa asing yang ada di kampusku. Kata mereka enak sekali. Bagiku yang sudah biasa menyantapnya tetap lumayan kesal kalau tidak kebagian.
Berawal dari menyukai Manga (komik jepang) aku memilih prodi Sastra Jepang sebagai jurusan kuliahku. Prodi ini terkenal disiplin dan tegas, tentu saja ... apalagi ada Hayakawa Sensei sebagai dosen pengampu beberapa mata kuliah penting. Kurasa kali ini aku mendapat masalah besar.
Aku melewati mata kuliah choukai, kuharap kali ini aku masih sempat memasuki kelas dokkai.
Langkahku terbirit-birit, aku lega sesampainya di pintu masuk kelas dokkai bertepatan dengan Hayakawa Sensei yang akan memasuki kelas. Ugh, saat itu, aku benar-benar merasa kacau.
Hampir tak ada jeda waktu untuk merasa lega karena berhasil mengikuti dokkai, aku kembali was-was. Di dalam kelas, Hayakawa Sensei menagih ringkasan teks paus lamalera yang seharusnya telah tertulis rapi dengan huruf kanji.
Jari-jariku meremas kaus kusut, keringat dingin bercucuran. Semalam pikiranku terlalu sibuk oleh senior dan bos. Dua wajah itu terus menari-nari di pelupuk mata dan saat ini begitu kusesali. Tugas paus lamalera!? Oh, aku sungguh melupakannya.
Aku menggigit bibir, berdebar kencang ketika Hayakawa Sensei memanggilku ke depan kelas. Teman-teman menyoraki aku yang tengah bingung. Sensei yang sangat disiplin itu memprotes penampilanku yang awut-awutan, dan tentu saja mencecar tanya, ‘mengapa karangan paus lamalera belum diserahkan?’
Terbata aku mencari alasan. Tergagap, berkeringat dingin, rasanya ingin tenggelam ke perut bumi saat itu juga. Tak ada alasan yang bisa kuungkap, apapun itu akan dituduh sebagai kebohongan. Sensei terlalu pintar untuk itu. Lagipula tidak mungkin aku cerita alasan sebenarnya, sialnya pada situasi itu aku masih sempat membayangkan sosok senior dan bos berubah menjadi paus lamalera yang berlompatan di laut bebas.
Bagaimana aku menghadapi ini?
Satu senior saja cukup membuat otakku berisik, apalagi kini bos merangsak masuk ke dalam ingatan.
Salli, 2023
***
Aku melihatnya, kucing hitam itu. Kembali muncul dengan pongah dengan gaya berjalannya yang konsisten elegan. Bersamaan dengan itu gerimis mulai menyerbu diriku yang masih terbengong-bengong dekat kotak pos merah yang baru saja aku intip. Penasaran, karena itu aku mengintipnya. Aku baru saja mengantarkan surat curahan hatiku kepada seseorang di tahun 2001. Memasukkan pada kotak pos merah dengan hati-hati, sedang sepasang mataku sigap mengawasi adanya pergerakan dalam kotak pos merah itu. Namun sayang erangan kucing hitam membuatku terkecoh, tepat saat aku menoleh telingaku mendengar bunyi ‘kleek’ ketika akhirnya kudapati isi kotak pos merah telah kosong. Wajahku pucat, sekaligus takjub. Apakah artinya keajaiban ini bukan hanya ilusi dan rumor belaka?
Kurasa kotak pos merah telah mengantarkan surat-surat itu melalui lorong waktu, kuharap dalam dimensi waktu yang berbeda surat itu telah terbaca. Aku menunggu surat balasannya.
Aku juga berharap ia tidak menganggap ini hanya candaan semata.
“Salli!”
Tuan Neil memanggil, aku yang masih takjub dengan kotak pos merah terpaksa menyudahi penyelidikanku. Tuan Neil nampak gusar dan mengerutkan kening. Biasanya dia tidak menunjukan emosi dan yang lebih anehnya lagi, Tuan Neil beberapa kali mencuri pandang pada kotak pos merah. Aku menangkap sinyal tidak suka di kedua matanya.
“Bos ingin bicara denganmu.” Tuan Neil seakan memberi perintah. Telunjuknya menunjuk arah kafe.
Aku yang hanya mengangguk, langsung berjalan menuju ruangan kafe. Meninggalkan Tuan Neil yang masih terlihat kosong menatap halaman. Sama halnya dengan bos dan Kafe Gerimis ini, Tuan Neil sendiri adalah pribadi yang misterius dan sulit ditebak. Satu-satunya orang yang mudah bercerita tentang hal apapun hanyalah senior. Itupun, ia akan mengalihkan pembicaraan jika aku banyak bertanya tentang Kafe Gerimis ini padanya.
Memasuki ruangan kafe, aku terkesima dengan apa yang kulihat. bos dan senior, akh tidak itu adalah Moon dan Sun, mereka tengah tertawa bersama seolah waktu hanya berputar pada dunia mereka, sementara cahaya senja yang diterpa buliran gerimis menembus ruangan dari sisi jendela yang terbuka menampilkan bayangan indah untuk keduanya.
Seketika aku menjadi malu, merasa kerdil diantara kedua sosok rupawan itu. Mengutuki pola berpikirku yang terlalu percaya diri seolah mereka menaruh rasa padaku. Jangan-jangan selama ini, kebaikan dan keramahan senior seperti halnya yang ia berikan pada Moon. Aku melihat tatapan Sun pada Moon penuh kasih sayang.
Tubuhku tidak bergerak sama sekali. Lalu tiba-tiba Tuan Neil sudah ada di sampingku. Menunjuk dengan dagunya pada senior dan bos sementara kedua tangannya penuh dengan tumpukan celemek yang akan ia letakkan di laci pantry.
“Kasih sayang mereka melebihi saudara kandung,” ujarnya.
“Iya,wajarlah mereka saudara sepupu.” Jawabku lugas.
Tuan Neil menggeleng, menyangkal ucapanku.
“Mereka tidak sedarah, Sun dibawa kemari saat usianya enam tahun dan ketika itu Moon masih berusia sembilan tahun.” Keterangan Tuan Neil membuatku terkejut. Ini berbeda dari cerita senior yang mengaku memiliki kakek yang sama dengan Moon, yaitu Kakek Gerimis pemilik awal dari Kafe Gerimis ini. Semula kukira cerita ini mengada-ada, bahwa kakek itu disebut gerimis karena ia pemilik dari kafe gerimis ternyata keliru, rupanya kakek itu bernama ‘Gerimis’ sehingga menamai usaha kafenya dengan nama gerimis. Sungguh tidak terduga bukan?
Bos dan senior menyadari kehadiran kami, senior langsung mengembangkan senyumnya. Melambaikan tangan padaku yang masih terpaku.
“Bos kau memanggilku?” Aku yang melihat bos menatapku dan Tuan Neil bergantian, langsung melempar tanya.
Rasanya aku menangkap anggukan Tuan Neil pada bos, entahlah, tapi yang pasti bos langsung berdeham dan mengiyakan. Pandangan matanya masih mengikuti Tuan Neil yang berjalan mendahuluiku menuju pantry.
Hmm, ada yang tak beres antara bos dan Tuan Neil. Aku yang tidak pintar saja langsung memahami itu hanya cara mereka mencari alasan menjauhkanku dari kotak pos merah.
Terlebih bos berbicara berputar-putar soal ‘lagi-lagi biji kopi’ yng harus kupisahkan. Aku mendengus kesal. Merasakan kejanggalan tapi tak tahu apa.
Mungkin karena terus melamunkan kejanggalan, kecerobohanku kembali muncul. Sekuat tenaga aku mengangkat kantung biji kopi yang ternyata ringan, tubuhku oleng seketika, menabrak tumpukan loyang pastry yang baru saja dilap senior pada meja beroda, tubuhku ikut terdorong bersama loyang-loyang yang mulai berjatuhan menabrak meja bar dan tentu saja biji kopi dalam kantung terbuka itu berhamburan di atas meja bar. Sementara aku terjatuh terduduk di bawah meja bar bersama loyang yang berserakan. Mataku terpejam sesaat, bukan sakit karena terjerembab, tetapi malu karena adegan konyol itu persis terjadi di hadapan dua lelaki yang tinggal di isi kepalaku akhir-akhir ini.
Benar-benar ‘hal memalukan yang ingin kuhapus dalam ingatan’ terjadi kembali. Adegan itu ditutup oleh dua kepala yang muncul perlahan dari atas meja bar, tentu saja itu ... bos dan senior.
***
Bersambung