Suasana Kafe Gerimis siang ini tidak begitu ramai. Hanya ada aku dan bos di dalam kafe. Sementara senior dan Tuan Neil sedang pergi ke pusat kota untuk membeli bahan roti. Bos terlihat tenang berada di meja kerjanya, memeriksa pembukuan keuangan kafe dan sesekali membuat catatan penting. Wajahnya nampak serius. Ada tiga pelanggan yang juga menikmati ketenangan sambil membaca buku. Mereka tidak datang bersama, menikmati kopi di mejanya masing-masing. Bertegur sapa seperlunya saja karena memang saling mengenal, penduduk kota kecil ini yang menyukai kopi pastilah pernah bertandang di Kafe Gerimis ini yang memang telah berdiri selama puluhan tahun, apalagi yang menjadi pelanggan setia, mungkin karena itulah mereka mulai familiar dengan rupa sesama pelanggan.
Seseorang yang menggunakan topi pet warna coklat, memintaku mematikan musik, alasannya karena ia ingin lebih fokus memahami isi bacaan bukunya. Huuh, gerutuku, kenapa ia tidak pergi ke perputakaan kota saja. Aku melihat pada bos, meminta persetujuannya dan bos hanya memberi anggukan tanda setuju, bos memang selalu mengutamakn kenyamanan pelanggan. Terutama para lansia seperti tiga pelanggan itu. Dua pelanggan lainnya pun menyetujui untuk mematikan musik, oh hanya aku sendiri yang menginginkan alunan musik saat ini.
Keheningan ini membuatku salah tingkah, bahkan aku seolah mendengar tarikan napasku sendiri. Aku merasa tak nyaman. Aku hanya duduk di balik meja bar menantikan pelanggan lain datang, menekan perutku yang tiba-tiba berbunyi dan membuatku malu. Inilah yang aku tak sukai dari keheningan, aku tak dapat menyamarkan bunyi kelaparan. Hampir pukul dua siang dan perutku sudah sangat keroncongan. Ini akibat ulahku sendiri, menolak ajakan bos untuk makan siang berdua. Entahlah, aku terlalu canggung. Aku ingat, masih ada satu sandwich buatan senior sisa sarapan tadi pagi. Aku baru saja akan mengambilnya ketika bunyi ‘klang’ menghentikan langkahku. Bukan hanya langkah tetapi aku seperti menahan napas sejenak.
Klaang …
Lonceng batu di atas pintu masuk kafe kembali berbunyi.
Bunyi itu menggema di ruangan yang sepi. Semua orang tertuju pada arah pintu. Termasuk bos yang langsung berdiri. Bos berjalan menghampiri sosok di pintu itu, melewati aku yang tidak bereaksi. Ia menganggukan badannya hormat dan mempersilakan tamunya masuk.
Bukan tamunya, sebenarnya tamuku. Karena orang yang berdiri di pintu itu adalah ayahku.
Ayah tersenyum menyapaku. Aku seperti menemukan wajahnya kembali. Tidak seperti ia yang tempo hari membisu.
Bos memberi kode padaku agar duduk bersama ayah. Di tempat yang sama seperti dua pekan lalu, aku dan ayah kembali duduk berhadapan. Kali ini aku tidak membuat kopi. Bos yang membuatkannya. Arabica Coffee untuk ayah dan susu putih hangat untukku, mataku saja hampir melotot karena gelas susu putih hangat itu, ‘kenapa bukan Ice Americano saja Bos?’, keluhku dalam hati. Yeah, walupun susu putih hangat adalah favoritku tetap saja rasanya aneh meminumnya di situasi begini. Bos menambahkan muffin, menghidangkan di atas meja, padahal tak ada yang memesan.
Seharusnya, aku yang lapar tergiur dengan banana muffin itu, tetapi sayangnya tidak, perut laparku lenyap seketika. Bahkan susu hangat favoritku hanya kusesap sedikit.
“Bagaimana kabarmu?” Ayah mulai membuka suara. Huh, kenapa baru ia tanyakan sekarang, gerutuku dalam hati. Aku memberi anggukan dan berkata,
“Seperti yang Ayah lihat, kabarku baik.”
“Apa Ibu dan Tian sehat?” tanyanya lagi.
“Ya,” jawabku singkat. Sebenarnya ingin aku ceritakan tentang penyakit Tian namun kuurungkan niatku. Kurasa saat ini aku hanya perlu tahu apa tujuan ayah menemuiku.
Ayah menarik napas berat, dikeluarkannya sebatang rokok namun disimpan kembali ketika ia menyadari ruangan kafe ini ber-AC. Pelanggan yang merokok memang disediakan khusus di teras kafe bagian belakang, menghadap taman tempat biasa bos merenung melihat bulan.
“Salli, kau pantas membenciku, aku bukannya ingin meminta maafmu karena kutahu pasti percuma, kau tak akan memaafkan.” Ucapan ayah itu langsung membuatku muak. Ia masih terlalu gengsi untuk sekedar meminta maaf. Kenapa ia menyimpulkan sendiri bahwa aku tak akan memaafkannya. Kurasa ayah hanya menutupi rasa malunya dari keluarga.
Baiklah, aku akan memberikan kesempatan ayah mengungkapkan isi hati, aku hanya perlu mendengarkan bukan, tanpa sadar aku enggan menatap ayah, pandanganku justru tertuju pada kaca jendela yang terus berderak terhantam angin. Langit siang ini kelam, sekelam hatiku menyambut ayah. Seperti mau hujan. Namun, tetes gerimis belum juga jatuh menyiram bumi, hanya angin yang sibuk menghantam kesana kemari. Aku mencemaskan senior dan Tuan Neil. Alih-alih aku memperhatikan ayah yang masih saja menyampaikan rasa kekhawatirannya. Kenapa ya, sekarang tidak lagi mudah percaya dengan apa yang dikatakan ayah? Berhadapan dengannya kini ekspresiku terlihat sama seperti ekpresi Tian sehari-hari, datar.
“Salli, aku sungguh tak ingin seperti ini. Ayah akui Ayah yang salah, aku bukannya ingin melindungi siapapun, cukup salahkan saja aku.” ujar ayah tanpa kumengerti maksud dari perkataannya. Mungkin ia tak ingin aku menyerang wanitanya.
“Sampai saat ini aku masih mencintai Ibumu, aku juga tak ingin meninggalkannya.” sesalnya lirih.
“Tapi kau memilih wanita itu dan meninggalkan kami, Ayah!” Nada suaraku meninggi.
“Buka begitu Salli, aku tak ingin keluargaku melihat diriku yang payah ini, dan aku tak ingin menyakiti kalian lebih dalam.”
“Berkali-kali Ibu memberikan kesempatan untuk Ayah memperbaiki diri, lalu mengapa Ayah tidak bisa berpisah dengan wanita itu?” tanyaku sewot.
“Aku pernah berusaha,dan aku tidak bisa berhenti.” Ayah menunduk, aku membuang muka.
“Kau sudah dewasa Salli, kurasa kau tahu perasaan tak bisa dipaksakan.”
“Tapi ada yang namanya adab dan etika, Ayah! Juga rasa bertanggung jawab.”
Ayah menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Aku meninggalkan ibumu karena aku menyayanginya Salli, dia tak pantas bersama orang sepertiku.” lanjut ayah hampir menangis.
Ayah memang mudah menangis jika emosional, karena itu sekarang aku tidak akan pernah percaya pada lelaki yang mudah mengeluarkan air mata. Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ibu mengajarkanku untuk merelakan yang terjadi. Rasanya berbicara dengan ayah seperti ini membuat kata ‘menerima’ itu semakin dekat. Hatiku semakin kosong karena beban berat yang selama ini mengganjal mulai lebur. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Tergelitik ingin menanyakan pada ayah.
“Dari yang kudengar, pacarmu itu istri orang, Ayah, apa itu benar?” tanyaku menyelidik.
Respon ayah sedikit terkejut, tapi ia lantas mengangguk.
“Sedang proses cerai dengan suaminya, Salli, suaminya selingkuh dengan teman kantornya.”
“Whaaaat??? Daebak!!” spontan tanganku langsung bertepuk tangan. Gemuruh di hati membuat tepukanku keras menyindir.
“Jadi dia berselingkuh denganmu karena diselingkuhi suaminya?” tanyaku berapi-api.
Sungguh, aku tak habis pikir, tapi lagi-lagi melihat ayah menganggukan kepala membuatku muak. Aku tak menyangka, ke-tidak dewasa-an ayah sampai membuatnya ling-lung dan mau saja menjadi bagian dari objek balas dendam wanita itu kepada suaminya.
“Lantas, apa Ayah datang menemuiku karena ingin membahas tentang menceraikan ibu secara negara?” Aku memang sudah curiga, pasti ada alasan kuat ayah sengaja mendatangiku. Mereka memang resmi bercerai dari sisi agama, tapi satu sama lain belum ada yang menggugat ke pengadilan. Ibu meminta ayah yang mengurus, namun setahun ini ayah pergi begitu saja dan tak pernah muncul. Baru kali ini, ia berbicara denganku tentang kekasihnya itu.
“Apa kau akan menikahinya, Ayah? Pacarmu itu?”
“Entahlah.” Ayah mengedikkan bahunya, jawabannya tak jelas, ayah benar-benar tak memiliki tujuan.
“Kenapa kau tega lakukan ini pada ibu, Ayah?”
“ Aku terjebak nafsu, Salli. Aku memang pria payah yang tak pandai bersyukur.” Jemari ayah mulai meremas-remas rambut di kepalanya, tandanya jika percakapan ini di teruskan ayah bisa saja akan memukuli kepalanya sendiri seperti yang biasa ia lakukan ketika emosinya memuncak. Huh, sayangnya ibu melarangku untuk mengumpat.
***
Bersambung